NotesWhat is notes.io?

Notes brand slogan

Notes - notes.io

CACTUS

Auntie Hong’s home stay

“Inrin~” panggil Donghae saat memasuki ruang tamu. Seorang gadis bercelemek terlihat di dapur.

“Oh, Donghae, kau sudah pulang?” sapa gadis itu, Inrin, dari pintu dapur. Tangannya masih sibuk mengaduk sesuatu di baskom bening dalam pelukannya.

“Kemarilah, aku punya kejutan untukmu,” jawab Donghae yang memilih untuk menghampiri Inrin. Donghae meletakkan baskom yang dipegang Inrin, lalu menarik tangannya ke teras.

“Kaktus?” gumam Inrin saat mendapati tiga pot kaktus di bagasi mobil Donghae yang terbuka.

“Bantu aku membawanya ke atas,” ujar Donghae sebelum mengambil dua pot berukuran sedang yang segera memenuhi tangannya. Inrin mengambil sisanya, kemudian menutup bagasi mobil dan berlari kecil menyusul Donghae.

“Kenapa harus kaktus?” tanya Inrin ketika menata tiga pot putih itu berjajar di rak pendek.

“Entah. Aku hanya teringat padamu saat melihat kaktus,” sahut Donghae ringan. Dia berjalan mundur, lalu tersenyum senang melihat jajaran kaktus yang ditata Inrin.

“Begitu? Jelek sekali, kau menyamakanku dengan kaktus,” protes Inrin sambil melipat tangan di depan dadanya, bibirnya mengerucut lucu, membuat Donghae mengulum senyumnya.

“Aku lapar,” kata Donghae, lagi-lagi menarik tangan Inrin ke dapur. Inrin menggerutu pelan, tapi tidak menolak untuk mengikuti langkah Donghae ke dapur rumah tinggal mereka.

“Aku tadi sedang membumbui nasi untuk onigiri,” ujar Inrin menunjuk baskom bening yang tergeletak di hadapan Donghae.

“Lagi? Belajarlah memasak, aku tidak mau menu makanku hanya onigiri kalau nanti kita sudah menikah,” kata Donghae yang langsung dilempar serbet oleh Inrin. Donghae menangkap serbet itu sambil tertawa kecil.

“Aku tidak seburuk itu, Hae. Lagipula, siapa yang mau menjadi istrimu?” sahut Inrin. Dia kembali menyibukkan diri menyelesaikan onigirinya. Donghae tersenyum dan mengangkat bahu, lalu mulai memandangi Inrin karena tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya selagi menunggu.

“Berhentilah menatapku,” ucap Inrin, risih karena diperhatikan seperti itu.

“Kenapa?” tanya Donghae, tidak juga melepas tatapannya dari mata Inrin, keheranan.

“Kau tidak ingin ganti baju? Kupikir makan kita akan lebih baik tanpa bau monitor yang melekat di kemejamu,” sahut Inrin mengalihkan pembicaraan seraya berdiri membelakangi Donghae untuk mengambil stoples nori. Wajahnya mulai merona, dan dia tidak ingin Donghae tau.

“Bau monitor? Astaga,” gumam Donghae setengah terkekeh saat berjalan ke kamarnya di lantai atas.

.

Jam di kamar Donghae baru menunjukkan pukul 5 KST, tapi Donghae sudah terduduk dengan mata setengah terpejam. Dia merentangkan tangannya dan menggerak-gerakkan tubuhnya sebentar.

Dua menit kemudian, Donghae sudah berdiri di depan kamar Inrin, berniat membangunkannya seperti biasa. Donghae mengetuk pintu bercat hijau kalem di hadapannya.

“Inrin, kau sudah bangun?” tanyanya di sela ketukan pelannya.

Hening.

Donghae kembali mengetuk pintu itu lebih keras sambil kembali memanggil si empunya kamar.

“Inrin, aku Donghae, boleh aku masuk?” tanyanya lagi. Ketika tidak juga terdengar sahutan dari dalam kamar, akhirnya Donghae memutuskan untuk membuka pintu tersebut. Tidak terkunci.

Donghae tersenyum saat dilihatnya Inrin masih tertidur dengan selimut yang sudah jatuh ke lantai. Dia mangambil selimut itu, lalu melipatnya dan meletakkannya di ujung tempat tidur Inrin.

“Rin, sudah pagi, ayo bangun,” bisik Donghae di dekat telinga Inrin. Inrin hanya menggeliat.

“Bangun,” kata Donghae lagi, kali ini sambil menepuk-nepuk pelan bahu Inrin. Lagi-lagi, Inrin hanya menggeliat. Donghae mengangkat alis heran. Biasanya, hanya dengan mendengar suaranya, Inrin akan langsung bangun. Tapi ini?

Sudah hampir setengah jam Donghae berusaha membangunkan Inrin tanpa hasil. Mulai dari menggelitik pinggang Inrin, meniup-niup poni Inrin, menyalakan lampu di meja kecil dekat tempat tidur Inrin, sampai memeluk Inrin yang berakhir dengan Donghae ikut tertidur lagi.

Satu jam kemudian, sebuah ide terlintas di benak Donghae setelah dia kembali bangun. Donghae tersenyum misterius sambil mulai mendekatkan wajahnya pada wajah Inrin.

Cup. Cup.

Dua kecupan kilat di kedua kelopak mata Inrin langsung membuatnya terbangun. Mata hitamnya yang belum fokus hanya menangkap sosok Donghae yang tengah tersenyum.

“Waa! Apa yang kau lakukan?!” seru Inrin, terlompat kaget saat menyadari apa yang baru terjadi.

“Membangunkanmu,” jawab Donghae polos. Dia tertawa melihat Inrin yang sibuk mengusap-usap kelopak mata yang tadi diciumnya. Dia tau, Inrin paling benci dicium, oleh ayahnya sekalipun.

“Ck,” decak Inrin sebal. Pipinya menggembung, membuat Donghae tertawa geli karenanya.

“Ayo mandi. Kau tidak suka membuat adik-adik kita menunggu lama kan?” ujar Donghae sebelum mengacak rambut Inrin dan beranjak keluar kamar.

.

Satu jam kemudian, Inrin sudah sibuk di dapur, lengkap dengan pakaian kerja plus celemeknya. Donghae sedang di kamarnya, mengecek materi presentasi, juga dengan setelan kerjanya.

“Inrin eonni, eonni masih ingat rumus jumlah suku ke-n deret geometri? Aku lupa,” ucap Krystal dari ruang keluarga. Di hadapannya terbuka sebuah buku kumpulan soal matematika. Ya, pagi ini, bocah termuda di rumah itu akan menghadapi ujian matematikanya.

“Hingga atau tak hingga?” tanya Inrin sambil menata bekal untuk keenam penghuni rumah tinggal milik Hong ahjumma itu.

“Hingga, nun. Rasionya minus sepertiga,” kali ini Sehun yang menyahut. Dia juga akan menghadapi ujian matematika seperti Krystal, dan dihadapannya terdapat kertas coretan untuk menghitung.

“Sn samadengan a dikalikan 1 minus r pangkat n dibagi dengan 1 minus r. Masa sudah lupa?” tanya Inrin setelah memberikan jawaban pada Krystal dan Sehun. Dua pelajar itu berpandangan.

“Uh, aku rasa otak kami sudah dipenuhi rumus statistika,” ujar Sehun sambil mengendikkan bahu.

“Statistika memang sialan, tapi kalau mengerti, kalian akan ketagihan. Aku pernah merasakannya,” timpal Tiffany yang baru keluar dari kamarnya. Dia membawa tas selempang yang berisi diktat kuliahnya. Krystal dan Sehun tertawa kecil karena ucapan Tiffany.

“Selesai!” desis Max lega setelah selesai memanggang setumpuk roti di hadapannya.

“Aku tidak mengerti bagaimana noona dan Donghae hyung betah mengurusi sarapan dan bekal semua orang,” katanya lagi. Inrin menoleh seraya tersenyum.

“Karena kami suka melakukannya,” ujar Inrin. Lalu, dia meletakkan botol-botol kaca berisi selai dan madu di atas nampan. Max membawanya ke ruang makan berikut keranjang berisi roti yang tadi dipanggangnya.

Tidak butuh waktu yang lama untuk membuat meja makan segera penuh. Max, Krystal, Sehun, dan Tiffany duduk di tempat masing-masing, menyantap sarapan sambil berbincang. Inrin sudah hampir bergabung dengan mereka saat disadarinya bahwa Donghae tidak ada.

“Donghae~” panggil Inrin seraya berjalan menuju tangga.

“Ya?” sahut Donghae dari atas, tapi tidak menampakkan batang hidungnya.

“Mau bersarapan di atas?” tanya Inrin dari anak tangga paling bawah.

“Ide bagus. Butuh bantuan untuk membawanya?” Donghae balas bertanya, kali ini kepalanya menyembul dari kelokan di ujung tangga.

“Tidak, aku bisa sendiri,” kata Inrin sambil melepas celemeknya.

Inrin segera kembali ke dapur, lalu mengambil nampan yang lebih kecil dan meletakkan dua mug di atasnya. Setelahnya, dia mengolesi beberapa lembar roti panggang dengan madu – beberapa yang lain dengan selai kacang, kemudian menatanya di piring saji.

“Susu kalian masih di dapur. Mug kuning untuk Sehun, merah muda untuk Tiff, oranye untuk Krys, dan putih untuk Max,” ucap Inrin sebelum menginjak anak tangga pertama, “Ah. Tiff, jangan lupa antarkan sarapan Hong ahjumma,” tambahnya sebelum menghilang di ujung kelokan tangga.

Krystal, Sehun, dan Max berpandangan, lalu tersenyum. Mereka meneruskan makan dalam diam, hal yang sangat jarang terjadi.

.

Inrin meletakkan nampan di meja pendek, lalu menghampiri Donghae yang berdiri menghadap sisi dinding yang terbuat dari kaca, tempat favorit mereka berdua di rumah tinggal itu. Inrin menyodorkan mug biru muda pada Donghae. Dia sendiri memegang mug hijau muda.

“Sedang apa?” tanya Inrin.

“Berpikir,” kata Donghae sambil menerima mug yang menguarkan uap hangat beraroma cokelat.

“Tentang?” tanya Inrin lagi. Donghae memandang Inrin sambil tersenyum simpul.

“Kau,” ucapnya sebelum menyesap cokelat panasnya.

“Aku?” Inrin mengangkat alis, heran karena Donghae masih memikirkannya padahal masih ada rapat penting dengan kliennya nanti. Donghae mengangguk seraya menunjuk jajaran pot kaktus yang kemarin dibawanya.

“Kau tau sesuatu tentang kaktus? Dia menyimpan banyak air. Bukan, bukan untuk dirinya sendiri. Dia hanya menyimpannya, untuk siapapun yang datang kepadanya,” ucapan Donghae membuat kening Inrin berkerut. Itu tidak berhubungan dengan dirinya.

“Lalu?” tanya Inrin sambil menyesap susu vanilanya perlahan.

“Sebentar. Aku belum selesai,” kata Donghae, “Tapi kaktus berduri. Mungkin itu yang membuatnya tidak terlihat semenyenangkan tanaman hias lain. Kaktus itu misterius, agak terlupakan, tapi istimewa,” lanjutnya sambil menggoyangkan mugnya pelan.

Tidak ada tanggapan berarti. Inrin mengetuk-ngetuk mug dengan jemarinya, menimbulkan suara berdenting halus di tengah keheningan yang tidak sengaja mereka ciptakan.

“Kenapa diam?” tanya Donghae setelah Inrin tidak juga memberi tanggapan.

“Oh, kupikir kau belum selesai,” ucap Inrin seraya mengangkat wajahnya, menampakkan matanya yang membulat tanpa dosa pada Donghae.

“Sudah.”

“Apa hubungannya denganku?” tanya Inrin yang sebenarnya dari tadi memikirkan kaktus yang diceritakan Donghae. Donghae menoleh cepat. Senyum kecil terkembang di wajahnya.

“Hey, jawablah, jangan hanya tersenyum begitu,” Inrin menyikut pelan lengan Donghae.

“Kau benar-benar ingin tau?” tanya Donghae sambil beranjak ke meja pendek, tempat Inrin meletakkan sarapan mereka berdua. Inrin mengikutinya.

“Aku tidak mau pikiran tentangku memecahkan konsentrasimu saat meeting,” sahutnya. Lagi-lagi, Donghae menjawabnya dengan senyuman kecil.

“Jadi?” tanya Inrin sambil menggigit roti selai kacang yang dipegangnya.

“Kaktus itu analogi dari dirimu,” ujar Donghae. Matanya tertuju pada roti madu yang dicelupkannya ke dalam coklat panas di mug birunya.

“Aku?” Inrin menghentikan kunyahannya. Sebelah alisnya kembali terangkat, heran.

“Dengan siapa lagi aku bicara?” timpal Donghae sebelum menyuapkan roti ke dalam mulutnya.

“Oh,” ucap Inrin yang tampak masa bodoh. Kemudian keduanya terdiam, sibuk menghabiskan roti yang mulai mendingin.

“Hanya itu?” Donghae mengelap bibirnya dengan serbet makan di sisi nampan.

“Apanya?” tanya Inrin seraya menoleh pada Donghae. Donghae mengangkat bahu dan menyandarkan punggungnya ke sofa.

“Setelah aku bicara panjang lebar, hanya itu reaksimu? Kau menyebalkan.”

“Kau lebih menyebalkan,” jawab Inrin ringan. Tangannya meraih mug hijau muda di meja pendek.

“Hah?” Donghae menegakkan punggungnya.

“Kau bilang ‘kaktus tidak semenyenangkan tanaman hias lain’. Jadi kau bilang aku menyebalkan?” ujar Inrin yang meminum susu vanilanya sambil melirik sekilas ke arah Donghae.

“Kenyataannya?” tangkis Donghae santai.

Inrin melirik Donghae. Dia kembali meminum susu vanilanya tanpa memberikan tanggapan berarti pada Donghae, hal yang selalu dilakukannya kalo merasa kesal.

“Hey, aku bercanda,” ujar Donghae sambil menyikut lengan Inrin pelan.

“Aku tau,” sahut Inrin singkat.

“Kau selalu bilang begitu,” kata Donghae yang terdengar seperti setengah merajuk.

“Aku kan cenayang,” ucap Inrin, lagi-lagi singkat.

“Benarkah?” tanya Donghae. Ada kalanya Donghae sangat polos sehingga gampang dibodohi.

“Bohong,” kali ini Inrin menyunggingkan senyum geli.

“Tapi kenapa kau tau?” tanya Donghae lagi.

“Karena aku memang tau,” ujar Inrin seraya mengangkat bahu.

“Begitu?”

“Hm. Kecuali satu hal,” Inrin meletakkan mugnya yang sudah kosong ke meja pendek.

“Apa?” tanya Donghae.

“Arti ‘air’ dari analogi kaktusmu.”

Donghae tersenyum mendengarnya. Dia yakin Inrin yang sangat polo situ tidak bisa menebaknya.

“Kenapa diam?” tanya Inrin seraya menatap Donghae.

“Pikirkanlah. Beritau aku kalau kau sudah tau jawabannya,” ucap Donghae masih tersenyum.

“Tentang ‘air’ itu?” tanya Inrin lagi.

“Tentu saja.”

“Kenapa tidak kau beritau saja sekarang?”

“Kau mau kita terlambat?”

“Ya Tuhan! Sudah jam delapan!” Inrin melirik jam tangannya dan langsung berdiri karena kaget.

“Bodoh,” gumam Donghae, cukup keras untuk didengar Inrin, tentu saja.

“Kau…”

“Apa? Sana bersiap, aku akan membereskan ini,” suruh Donghae sambil berdiri dan mulai membereskan meja pendek di hadapannya.

“Tidak. Setidaknya kau berguna,” ucap Inrin. Dia melangkah cepat ke arah tangga.

“Memang,” sahut Donghae usil, membuat Inrin memutar matanya sambil mendesis kesal.

.

Somewhere in Seoul

Pagi ini, jalanan Seoul terasa sedikit padat, setidaknya menurut Donghae dan Inrin yang terbiasa berangkat setengah jam sebelum jam sibuk Seoul dimulai.

Lihat saja, baru sepuluh menit berkendara, mereka sudah dua kali terjebak lampu merah.

Donghae mengetuk roda kemudi, tampak bosan sementara Inrin menunduk, sibuk mengecek email lewat ponselnya. Sampai Donghae teringat sesuatu yang membuatnya tersenyum kecil.

“Tadi kau tidak lengkap mengutip kalimatku,” ucap Donghae memecah keheningan yang menyelimuti mobil mereka. Inrin menengadah, sedikit bingung dengan topik yang dibicarakan kekasihnya itu.

“Kaktus?” tanyanya setelah akhirnya berhasil menangkap maksud Donghae.

“Hm,” sahut Donghae sambil kembali melajukan mobilnya. Lampu lalu lintas baru saja berganti hijau saat Inrin bertanya.

“Seharusnya bagaimana?” tanya Inrin lagi, kali ini menutup aplikasi email pada ponselnya.

“Kau lupa menyertakan kata ‘terlihat’,” ucap Donghae tetap berkonsentrasi mengemudikan mobilnya. Jalanan Seoul benar-benar padat, dan sebenarnya Donghae sedikit gugup karena tidak terbiasa berkendara saat jam sibuk dengan seseorang di bangku penumpangnya.

Dalam hati, Inrin mencari kalimat yang tadi dikutipnya, yang sekarang dibicarakan Donghae. ‘Kaktus tidak semenyenangkan tanaman hias lain. Mungkin itu,’ pikir Inrin setengah yakin.

“Hanya itu?” tanyanya.

“Kau ini editor. Meskipun kecil, satu kata bisa mengubah arti keseluruhan,” Donghae mengangkat bahu. Tanpa disadarinya, Inrin tersenyum kecil mendengarnya.

“Hm. Kau benar. Maaf,” ujar Inrin, ikut mengangkat bahu seperti Donghae.

“Tidak masalah,” sahut Donghae singkat.

“Hari ini kau meeting sampai jam berapa?” tanya Inrin.

“Sebelum jam makan siang seharusnya sudah selesai,” kata Donghae setelah mengingat jadwalnya.

“Oh.”

“Kenapa?” tanya Donghae.

“Tidak,” ucap Inrin sambil merapikan pakaian kerjanya yang sebenarnya sudah rapi. Gedung kantornya sudah dekat, sebentar lagi mereka akan sampai.

“Kau tau?” tanya Donghae lagi.

“Apalagi?” Inrin balik bertanya. Tidak biasanya Donghae masih mengajaknya bicara ketika mereka sudah mendekati kantor Inrin.

“Tentang ‘air’ dari cerita kaktusku. Satu kata itu tidak akan berarti kalau aku memberitaumu sekarang,” ucap Donghae sambil mulai menepikan mobilnya.

“Kenapa?” tanya Inrin. Sebelah alisnya kembali terangkat. Heran.

“Begitulah. Selamat bekerja,” ujar Donghae seraya mengusap kepala Inrin.

“Kau aneh.”

“Sampai jumpa saat istirahat siang, sayang,” kata Donghae tanpa mengacuhkan ucapan Inrin.

“Baiklah. Hati-hati,” kata Inrin sambil bersiap membuka pintu mobil.

“Kau juga,” jawab Donghae.

“Ups, hampir lupa,” Inrin membalikkan badannya sehingga kembali menghadap Donghae.

“Apa?” tanya Donghae seraya menoleh pada Inrin.

Cup.

Sebuah kecupan kilat mendarat di pipi kanan Donghae. Sebenarnya bukan benar-benar kecupan, Inrin hanya menempelkan bibirnya sesaat, tapi itu cukup untuk membuat Donghae terlongo heran.

“Rin?” panggil Donghae setelah sadar dari keheranannya.

“Sampai jumpa saat istirahat siang. Aku pergi,” sahut Inrin sebelum membuka pintu mobil dan kembali menutupnya. Dia membungkuk sedikit untuk tersenyum pada Donghae.

Ketika punggung Inrin mulai menjauh, Donghae tersenyum kecil seraya melajukan mobilnya ke kantornya, sekitar 10 menit perjalanan dari kantor Inrin tadi.

.

[sender: LDH]

dear miss No, aku meminta maaf, meeting berjalan lebih lama dari yang ku perkirakan.

[sender: IR]

dimengerti, mr. Lee. sampai jumpa saat pulang nanti.

[sender: LDH]

ck. kau tau betapa kesalnya aku sekarang,

[sender: IR]

sudahlah. atau kau mau kita makan malam di luar? aku akan memberitau Tiff.

[sender: LDH]

begitu? baiklah, jam 6 tepat?

[sender: IR]

deal. bersemangatlah, hae.

[sender: LDH]

ya, kau juga, rin. ilu.

.

Auntie Hong’s home stay

“Wah!” seru Tiffany seraya berlari ke ruang keluarga, tempat dimana seluruh penghuni rumah tinggal berkumpul. Minus Donghae dan Inrin, tentu saja.

“Ada apa?” tanya Max yang duduk di sofa. Sehun dan Krystal yang masih belajar kompak menoleh.

“Inrin eonni mengirim SMS padaku. Dengar. ‘Tiff, aku dan Hae akan makan malam di luar. Kau bisa minta bantuan Hong ahjumma untuk memasak. Kami akan pulang sedikit terlambat’,” ucap Tiffany membaca pesan singkat yang dikirimkan Inrin.

“Akhirnya mereka kencan juga,” Sehun dan Krystal menjawab dengan nada datar, tapi tidak mampu menyembunyikan senyum lebar mereka.

“Berani taruhan, yang mengajak makan malam duluan pasti Inrin eonni,” celetuk Krystal. Dia melipat kakinya di sofa, membiarkan buku-bukunya berserakan di karpet bersama Sehun.

“Setuju. Donghae oppa selalu kurang inisiatif,” timpal Tiffany yang duduk di sandaran sofa tempat Max duduk.

“Tadi kalian ikut mendengar pembicaraan mereka saat sarapan?” tanya Max tiba-tiba. Sehun, Krystal, dan Tiffany berpandangan, kemudian mengangguk hampir bersamaan.

“Analogi kaktus terlalu sederhana untuk seorang Inrin noona,” ucap Max lagi. Sehun mengangkat bahu, tapi dalam waktu yang sama, dia membenarkan.

“Kata ‘air’ yang dimaksud Donghae oppa, itu cinta, kan?” tanya Tiffany tidak yakin.

“Aku tidak yakin, tapi aku rasa memang cinta. Entahlah,” kata Max diikuti anggukan Krystal.

“Sebenarnya, kemarin malam Donghae hyung ke kamarku. Dia bilang akan melamar Inrin noona hari ini,” ucap Sehun sontak membuat Max, Tiffany, dan Krystal terbatuk.

“Apa?” tanya Krystal meyakinkan.

“Kau sudah mendengarnya,” kata Sehun sambil melipat selembar kertas menjadi bentuk hati.

“Astaga! Inrin eonni pasti senang sekali!” seru Tiffany. Tangannya mendekap bibirnya, takut dia akan berteriak saking senangnya.

“Donghae oppa dan Inrin eonni tidak pernah bisa ditebak. Kenapa tiba-tiba sekali?” gumam Krystal yang masih tidak percaya.

Selama beberapa saat, mereka berempat sibuk membicarakan Donghae dan Inrin. Mulai pertaruhan tidak penting tentang Inrin akan menangis atau tidak, sampai menebak-nebak bagaimana Donghae melamar Inrin dengan kata-katanya.

“Aku lapar,” cetus Sehun.

“Aku ingin makan ayam,” timpal Krystal.

“Aku tidak bisa memasak,” sahut Max yang langsung mendapat lemparan bantal.

“Pesan ayam cepat saji saja,” usul Sehun sambil memainkan ponselnya.

“Siapa yang membayar?” tanya Max.

“Max oppa!” seru Tiffany dan Krystal bersamaan. Mereka berdua ber-high five sementara Sehun menghela napas lega. Dia melemparkan ponselnya pada Max, yang ditangkap dengan akurat meski gerutuan jelas terdengar dari bibir Max.

.

A café, somewhere in Seoul

“Aku menunggu,” ucap Donghae dengan kedua tangan saling menggenggam di atas meja. Di hadapannya, Inrin masih terlihat kaget atas permintaannya menjadi pendamping hidupnya.

Keduanya terdiam menatap kotak beledu biru berisi sebuah cincin perak sederhana yang merupakan pasangan dari cincin yang bertengger manis di jari manis Donghae.

Inrin menghela napas dalam, lalu meraih cincin itu dan meletakkannya di telapak tangan Donghae. Donghae segera merasa kecewa, sampai dilihatnya Inrin menyodorkan tangan kirinya.

“Kau tidak akan membiarkanku mengenakan cincin itu sendiri, kan?” tanya Inrin seraya tersenyum.

Donghae menghela napas lega. Dia memakaikan cincin perak itu ke jari manis Inrin. Pas.

“Aku mencintaimu,” ucap keduanya bersamaan. Mereka terdiam, lalu tertawa kecil karenanya. Malam itu, Seoul memasuki musim gugur. Daun pertama yang jatuh cukup menjadi saksi Donghae dan Inrin yang kini menjadi sepasang tunangan.

.

.

Finish
     
 
what is notes.io
 

Notes.io is a web-based application for taking notes. You can take your notes and share with others people. If you like taking long notes, notes.io is designed for you. To date, over 8,000,000,000 notes created and continuing...

With notes.io;

  • * You can take a note from anywhere and any device with internet connection.
  • * You can share the notes in social platforms (YouTube, Facebook, Twitter, instagram etc.).
  • * You can quickly share your contents without website, blog and e-mail.
  • * You don't need to create any Account to share a note. As you wish you can use quick, easy and best shortened notes with sms, websites, e-mail, or messaging services (WhatsApp, iMessage, Telegram, Signal).
  • * Notes.io has fabulous infrastructure design for a short link and allows you to share the note as an easy and understandable link.

Fast: Notes.io is built for speed and performance. You can take a notes quickly and browse your archive.

Easy: Notes.io doesn’t require installation. Just write and share note!

Short: Notes.io’s url just 8 character. You’ll get shorten link of your note when you want to share. (Ex: notes.io/q )

Free: Notes.io works for 12 years and has been free since the day it was started.


You immediately create your first note and start sharing with the ones you wish. If you want to contact us, you can use the following communication channels;


Email: [email protected]

Twitter: http://twitter.com/notesio

Instagram: http://instagram.com/notes.io

Facebook: http://facebook.com/notesio



Regards;
Notes.io Team

     
 
Shortened Note Link
 
 
Looding Image
 
     
 
Long File
 
 

For written notes was greater than 18KB Unable to shorten.

To be smaller than 18KB, please organize your notes, or sign in.