NotesWhat is notes.io?

Notes brand slogan

Notes - notes.io

Episode 4

* Scene 1

[Son Jinhee]

ㅡ 🎥 ㅡ

Jinhee kini lebih tertarik untuk memperhatikan jendela chat di layar ponselnya. Mengabaikan Yumi, yang dia tahu juga mengantisipasi hal serupa dengannya. Tapi setelah beberapa menit berlalu, diantara mereka hanya diisi keheningan dan layar ponselnya telah menghitam.

Jemarinya menekan tombol fingerprint. "Yumi, angka 1 ini tak kunjung hilang."

Lagi, Jinhee memperlihatkan ponselnya kepada Yumi.

"Lalu bagaimana? Seojung mengabaikan pesanku, padahal kau butuh pertolongan," ujarnya dengan raut wajah polos, tak merasa bersalah sedikitpun. "Bukankah dia sahabatmu?"

"Waktumu untuk meminta pertolongan habis."

Gadis yang kini ketara menyiratkan raut wajah kecewa itu kembali mengantongi ponselnya.

"Begitu ya yang namanya sahabat? Harusnya dia peduli padamu, 'kan kalian bersahabat."

Jinhee sejujurnya merasa kecewa, target utamanya adalah Seojung. Dia sama sekali tak peduli pada Yumi, anak 'emas' itu hanya berperan sebagai pancingan. Tapi ternyata si ikan tak menerima umpannya, mungkin bukan jenis umpan seperti ini yang diinginkan Seojung.

"Mungkin Seojung tak benar-benar mau bersahabat denganmu. Dia hanya merasa kasihan, atau hanya ingin memanfaatkanmu." Frasa terakhir dia ucapkan setengah berbisik dengan seringai tipis pada bibirnya.

Saatnya untuk mengakhiri pertunjukkan.

"Sepertinya kau tidak berharga bagi Park Seojung."

Tangan kanannya naik untuk menepuk pundak Yumi sekali sebelum berbalik meninggalkan toilet.

Mungkin Yumi bukan sesuatu yang disayangi Seojung.

[Han Yumi]

"Sepertinya kau tidak berharga bagi Park Seojung"

Deg!

Ada rasa sakit yang berkecamuk di dada saat tiap frasa dari tubir seorang Song Jinhee merasuki rungu. Bukan sembarang sakit, lebih menusuk dari dingin yang menyapa kulit luar miliknya, lebih menyesakkan dari seluruh makian yang dilontarkan ketiga rekan.

Benarkah Seojung hanya memanfaatkan dirinya? Apa Seojung sama seperti yang lain, manusia munafik berwajah manis dan berhati busuk?

Langkah tungkai milik Jinhee terdengar menjauh, meninggalkan Yumi dalam keheningan. Sebuah seringai samar perlahan terlihat di wajah dara yang kini bahkan tak sanggup berkata sepelan apapun.

Ia rasanya ingin tertawa, menertawakan si bodoh Han Yumi yang bahkan hingga akhir masih berharap Seojung akan datang menolongnya. Menertawakan seorang Han Yumi yang dengan mudahnya percaya pada seorang Park Seojung yang mungkin memang hanya menganggapnya pecundang.

Yumi menundukkan kepalanya dalam, cukup dalam hingga ukiran seringai tak lagi dapat terlihat. Batinnya berteriak, menggantikan tubir yang tak lagi mampu.

"Kau menyedihkan Han Yumi. Sahabat? Ia hanya satu lagi koleksi manusia munafik, sama seperti Jinhee."

[Goo Sanghyuk]

Sanghyuk bersiul pelan, cukup terdengar keras sekarang— mengingat koridor ruang latihan yang ia lewati sudah sepi.

Ia baru saja selesai membereskan latihannya dengan Yumi, sementara sang dara sudah keluar terlebih dahulu. Sanghyuk bisa memaklumi, mungkin ia harus menemui ibunya.

Soal tarian memalukan yang ia tampilkan untuk Han Yumi tadi— Sanghyuk sudah tak mau mengingatnya lagi. Beruntungnya tak ada kamera ataupun orang lain saat itu.

Sanghyuk mendongakkan kepalanya, yang entah sejak kapan tertunduk, saat ia mendengar derap langkah lain tak jauh darinya, terdengar lebih dari satu orang.

Teruna bersurai hitam kelam tersebut hanya melengos saat tahu bahwa mereka adalah teman-teman Yumi yang tak begitu dekat dengannya— Sanghyuk hanya sering melihat wajahnya. Walaupun mereka tampak berseri saat ini pun, Sanghyuk tetap tampak tak perduli.

"Kau lihat ekspresi Yumi tadi? Lucu sekali, hahaha."

Kalimat yang /entah bagaimana bisa/ menembus plug earphonenya membuat langkahnya terhenti sejenak.

Ekspresi? Yumi? Lucu?

Diliriknya para gadis yang sudah berjalan melewati dirinya sejak tadi tersebut. Tiba-tiba saja perasaan tak enak tentang dara bermarga Han tersebut.

Pasti terjadi apa-apa.

Langkahnya yang semula pelan berubah menjadi lebih cepat— berlari mencari gadis manis tersebut. Pandangannya mengedar, mengecek tiap ruang yang ada— namun sosok Han Yumi tak kunjung ia temukan.

"Hhh," Deru nafas Sanghyuk tampak tak beraturan akibat ia berlari. Teruna menjulang tersebut berhenti di depan kamar mandi wanita, menumpu lututnya dengan kedua tangan.

Tak berlangsung lama bagi Sanghyuk untuk menghela nafas— suara isakan terlebih dahulu memenuhi rungunya.

Jaehyun melirik ruang kamar mandi sebelahnya— entah kenapa ia punya prasangka kuat kalau suara tersebut datang dari bilik kecil tersebut. Langkahnya mendekat sembari tangannya terulur untuk mendorong pintu kayu tersebut, melihat sosok yang tengah bermuram durja disana.

Tidak dikunci.

Kepalanya melogok kedalam, melihat siapa yang terduduk lemas disana.

Sedetik kemudian, matanya terbelalak.

"Han Yumi—?!"

[Han Yumi]

Suara itu.

Yumi tahu benar empunya. Langkah kakinya, sepatunya, perlahan terdengar mendekat, perlahan dapat tertangkap ujung netra walau tengah menunduk.

Rasa lega hampir merasuk dalam benak sang dara. Hampir, sebelum perkataan Jinhee kembali terngiang di rungu, membentuk asumsi yang terpoles bagai realita.

Goo Sanghyuk pasti sama saja dengan Seojung. Kebaikannya hanya sebuah wujud kepalsuan.

"Pergi!" ucap sang dara lirih tanpa sedikitpun mendongakkan pandang pada lawan bicara. Genggaman pada tubuh ia eratkan kala udara dingin kembali menusuk tiap sisi figur, bersamaan kelopak yang ia tutupkan paksa.

Ini lebih baik. Mungkin sejak awal ia tak perlu percaya siapapun.

Tak ada hentak langkah kaki, hanya sunyi memenuhi bilik tempat sosok Han Yumi terkulai lemas. Perlahan Yumi memberanikan diri untuk membuka kedua netra.

Sosok Sanghyuk masih di sana, tepat di hadapannya. Tak menjauh barang sejengkal pun, justru semakin dekat.

"Kau tak bisa mendengar? Kubilang pergi!" teriak Yumi parau.

[Goo Sanghyuk]

Sanghyuk masih tertegunㅡ bibirnya tak mengucap apapun.

Semenjak ia melihat Yumi menangis di depan ruang latihan saat itu, ia pikir itu untuk yang terakhir kalinya Sanghyuk melihat Yumi menangis. Namun apa yang ia lihat sekarang?

Sosok yang ia /ehem/ sayangi sedang dalam titik terlemahnyaㅡ terkulai lemas dengan air kotor membalur tubuhnya. Sial, pelakunya pasti ketiga gadis yang ia temui itu.

"Pergi!"

Sentakan dari bibir sang dara yang masih tampak bergetar karena kedinginan dan tangisnya membuat Sanghyuk ikut tersadar dari lamunannya.

Namun tidak, seorang Goo Sanghyuk tak sebodoh itu untuk meninggalkan Yumi dengan keadaan serapuh ini.

Maka Sanghyuk memilih untuk membuka bilik kamar mandi lebih lebar agar badannya bisa masuk, dan mendekati sang dara.

Teriakan lain dari Yumi tak ia perdulikan. Suaranya terdengar hendak menangis lagi, membuat Sanghyuk dengan cepat berjongkok di depan sang dara, dan menariknya kedalam dekapan hangatnya.

Tak peduli akan aroma air kotor yang masih melekat dengan kuat di tubuh Yumi, Sanghyuk tetap mendekapnya dengan lembut.

"Aku sudah gila jika aku meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini." bisiknya, mengusap lembut surai lepek sang dara.

Karena Sanghyuk mengerti, yang seorang Han Yumi butuhkan saat ini hanyalah sebuah pelukanㅡ dan teman cerita.

[Han Yumi]

Han Yumi tersentak tatkala lengan sang adam merengkuh tubuhnya lembut. Rasa dingin yang menyelimuti diri kini berganti kehangatan, perlahan turut meruntuhkan dinding kokoh di benak.

Tangisan miliknya pecah, tak mampu lagi terbendung walau mati-matian coba ia tahan.
Yumi tak pernah ingin seorang pun melihatnya dalam keadaan ini. Seolah mengerti, rengkuhan sang adam kian mengerat, menyembunyikan isak pilu dari tangisan sang dara.

Tak ada kata terucap di antara keduanya, hanya sentuhan lembut jemari milik Sanghyuk di pucuk kepala, menemani sisa malam Yumi dalam kehangatan.

* Scene 2

[Park Seojung]

Sepasang manik karamel yang tersembunyi dalam kelopak Seojung membeliak, manakala penglihat itu menelan bulat-bulat potret kejadian yang dialami Yumi. . . kemarin malam?

Praktis Seojung menerobos ke luar sekalipun rambutnya usai mandi belum dirapikan dengan sempurna.

Gadis itu tidak sedikitpun peduli, karena ada yang jauh lebih penting dibanding penampilan saat ini.

Di ujung lorong dekat kelas pertama, pada akhirnya Seojung bertemu Yumi; setelah sebelumnya dibuat bingung karena gadis itu tak ada di kamarnya.

Sontak Seojung mengikis jarak yang tersisa dengan agak tergesa.

"Yumi-yaa, aku baru melihat ponsel." Terang Seojung dengan wajah merah menahan hela yang kelewat memburu.

Alih-alih dihadiahi rengekan atau setidaknya makian, Seojung justru dibuat makin merasa bersalah saat Yumi hanya melengos tanpa menyuarakan apa-apa.

"Kau tidak apa-apa?" Pekik gadis itu spontan, sesaat sebelum Yumi berlalu dari hadapannya.

"Seojung meringis. "Bodoh." Makinya, pada diri sendiri.

Bagaimana bisa Yumi baik-baik saja setelah diperlakukan seperti kemarin?

Untuk beberapa waktu setelah dibiarkan tergugu, Seojung menghela napas berat, seolah-olah dengan cara seperti itu sesal yang menyesaki rongga dadanya bisa ikut menguap.

Jemari gadis itu lantas meremas sisi-sisi celananya tanpa ampun; menahan geram sebelum genggamnya merogoh kantong dan mengeluarkan ponsel yang terakhir kali ia lempar ke dalam.

Menekuri sekali lagi hasil kiriman Jinhee, Seojung membiarkan tungkai menghantarnya sampai tempat dimana Yumi semalam dibully.

[Son Jinhee]

Tangannya meraih knop pintu bilik toilet yang telah dia gunakan. Kepalanya menoleh saat dia melangkah keluar, mendapati figur yang dia kenali.

Kakinya otomatis berhenti saat mendapati target yang dia inginkan semalam.

'Kenapa baru muncul sekarang?'

Jinhee tak segera mengusik Seojung, dia terdiam mengamati gadis itu. Sejenak dia terlempar ke dalam lamunannya. Hal-hal yang selalu muncul kala dua orang tersebut ada dalam jangkauan pandangannya, yang tak pernah bisa dia cegah. Dan pada saat yang bersamaan, melemahkan pertahanannya.

Apa yang Haejoon cari dari Seojung?

Apa yang ada dalam diri Seojung dan tidak padanya?

Memikirkan hal itu membuat dadanya kembali sesak. Hanya kalimat sederhana dengan kombinasi Haejoon dan Seojung akan berhasil membuatnya bereaksi.

"Oh, Park Seojung," dia melafalkan nama tersebut dengan suara terkejut, yang dibuat-buat tentunya.

Sebuah seringai terlukis di bibirnya. "Park Seojung, kenapa tidak datang kemarin malam?"

Masih dengan seringainya, Jinhee berusaha memperlihatkan ekspresi kecewa yang ketara palsu.

"Sayang sekali, padahal aku menunggu dan ingin melihatmu marah."

[Park Seojung]

Netra Seojung dipenuhi kabut tipis ketika potongan gambar yang dikirim Jinhee padanya soal kejadian semalam menyesaki isi kepala dan menyuburkan rasa bersalahnya.

Dipandanginya lantai dingin yang jadi saksi bisu kesakitan Yumi malam tadi, hingga bola karamel itu bergerak perlahan ke arah salah satu bilik dan menemukan profil sang pembuat onar, di sana.

Raga Seojung gemetar disambut pertanyaan meremehkan Jinhee yang kembali menyulut emosinya.

“Kau gila, Son Jinhee.” Balas Seojung, untuk kali pertama menatap gadis di depannya tak lagi dengan pandangan bersahabat. Bahkan, iris cokelatnya dipenuhi amarah. “Memangnya apa salah Yumi padamu?”

Mungkin Seojung masih bisa menekan emosi jika Jinhee memiliki iktikad baik untuk memberi penjelasan atau setidaknya menunjukkan sedikit saja rasa bersalahnya.

Namun alih-alih menjawab, gadis itu justru pilih memasang ekspresi yang sama dan memperlakukan Seojung sesuka hatinya. Praktis, Seojung terpancing menunjukkan kalau dirinya masih manusia.

“Aku kasihan padamu,” tutur Seojung kemudian.

Netranya ganti menumbuk sepasang milik Jinhee yang sejak awal tak pernah gentar menatapnya dengan angkuh. Lalu, Seojung melanjutkan, “Kau tersesat.”

“… Yang kau punya saat ini bukanlah impian.”

Memberi jeda bukan berarti Seojung ingin menikmati mimik Jinhee setiap kali ia melontar opininya. Hanya saja, gadis itu tak terbiasa merunduk oleh amarah seperti yang saat ini tengah dialaminya.

“Impian tidak membuat orang melakukan hal buruk. Tapi kau—” Seojung menatap Jinhee seraya menggeleng kecil, heran. “Karena sangat ingin bersinar, kau jadi menghancurkan orang lain.”

“Kau sangat menyedihkan dan karena itu aku menemanimu.”

Sejenak, Seojung memejamkan mata saat berusaha mengisi pasokan oksigen dalam paru-parunya sebelum menyambung luapan kekesalannya tanpa jeda.

“Jangan pikir aku tak tahu bagaimana kau sebenarnya, Son Jinhee.”

“Aku tahu!

“…Dan membiarkanmu, sebab aku kasihan.”

Seojung juga masih punya rasa marah.

[Son Jinhee]

"Aku?" Jinhee menyeringai. "Aku gila ya..."

"Tidak, aku masih merasa cukup waras."

Dahinya mengerut. "Hmm..." dia berpura-pura berpikir keras dengan tampang menyebalkan.

"Yumi tidak salah apa-apa."

Bibirnya mengulas senyum manis, meski langsung digantinkan dengan eskpresi wajah dingin. "Tapi kau."

Jinhee berjalan mendekati Seojung dengan air muka yang sama sekali tak berubah.

Tungkainya menutup, berhenti tepat satu langlah di hadapan gadis bermarga Park tersebut. "Masalahnya ada pada dirimu," telunjuknya naik menekan bahu kanan 'temannya' itu.

"Kau tahu singa betina?" Kedua tangannya bergerak menyilang di depan dada.

"Bukan berarti aku menyamakan diri dengan singa." Jinhee bergumam pelan.

"Mereka akan berubah dan menyerang siapapun yang menginjakkan kaki di teritorinya."

Hazel si gadis menatap tajam sepasang netra lain di hadapannya.

"Dan kau mengusik teritoriku."

Hatinya sedikit bergetar saat tiba-tiba Haejoon melintas di benaknya. Ya, Seojung telah menganggu wilayahnya. Diam-diam dia merasa sesak, Jinhee mendengus keras sebagai pelampiasannya. Seojung mungkin melihatnya dalam bentuk lain, misalnya untuk merendahkan gadis itu. Tapi sebenarnya tidak.

Wajahnya makin mengeras kala mendengar kalimat Seojung yang saling bersusulan ditangkap indranya.

Seojung telah menyerang titik penting lainnya.

"Kasihan?" Jinhee tertawa kecil, bukan jenis tawa yang diinginkan kebanyakan orang. Tawanya murni untuk merendahkan Seojung.

"Apa yang kau tau tentang diriku?" desisnya.

[Park Seojung]

Kening Seojung berkerut dalam selagi pemiliknya coba menahan ledakan emosi yang menggelegak di dada karena kata demi kata yang dilontar Jinhee dan tingkah memuakkan sang ‘kawan’ yang berlagak tak punya dosa.

Kelopak sang dara mengerjap dua kali saat Jinhee meringsek maju mengunci jalannya. Spontan, Seojung mengalihkan pandang; bukan semata-mata karena nyalinya rontok, namun merasa hampir gagal menekan rasa kesal dalam dirinya.

“Mengusik teritorimu?” Seojung mencibir untuk pertama kali di depan gadis yang pernah ia anggap teman terbaik.

Ganti, manik karamel putri Park itu tak gentar menyoroti Hazel yang lebih dulu menyalak dengan caranya sendiri.

"Kau sendiri yang mengaku ada di tempat yang tak akan pernah bisa kujangkau,” ujarnya, tersenyum tipis teringat ucapan Jinhee tempo hari saat mengacaukan latihan kelompoknya.

“Jadi sekarang kita sudah satu level?”

Gadis itu baru saja coba meniru persis tingkah laku Jinhee. Impas, ‘kan?

Salah satu kuasa Seojung ambil posisi, menggusur telunjuk Jinhee yang menekan bahunya saat ini, lalu mengubah senyumnya jadi seringai.

“Dengar, ya, Son Jinhee.” Seojung diam-diam mencuri napas saat sekali lagi bersiap melempari Jinhee dengan amunisi.

“Mulai sekarang, aku tak akan mengasihanimu lagi,” tutur gadis itu, meski yakin Jinhee malah akan bersorak senang untuk ucapannya ini.

“Ketika kau kesakitan, aku pastikan akan ada di sudut yang lain…”

Kalah pada rasa marah, Seojung mengangkat wajah dan berontak dari kungkungan lengan Jinhee.

“… Untuk menertawakanmu.”

* Scene 3

[Seo Haejoon]

Huh.

Hah.

Huh.

Hah.

Suara deru nafasnya terdengar cukup jelas di telinganya sendiri, namun ia beruntung karena microphonenya tak begitu sensitif untuk menangkap suara tersebut. Entah mengapa, senyumannya tiba-tiba saja mengembang kala mendengar suara riuh tepuk tangan penonton yang mampu menyaingi suara deru nafasnya sendiri.

"Bravo! Kalian benar-benar menaikkan tingkat ekspektasiku," ujar salah seorang juri, membuat Haejoon dan teman-temannya tentu merasa senang di dalam hati, mereka membungkukkan tubuhnya.

"Yang tadi itu adalah penampilan yang luar biasa, kalian memijakkan kaki dengan baik di awal perjalanan kalian," ujar sang presdur dari agensinya yang juga menjadi salah satu juri di dalam survival show tersebut.

Haejoon bersama yang lainnya kembali membungkukkan tubuhnya dan mengatakan terimakasih. Fokus Haejoon sebentar terbang ke arah para penonton yang juga terlihat cukup riuh seakan mengiyakan ucapan para juri, hingga tiba-tiba namanya disebut oleh sosok pria yang sangat berpengaruh itu.

"Seo Haejoon."

Haejoon spontan mengalihkan atensinya pada sang presdir yang duduk jauh lurus di depannya. "Ne?" tanya Haejoon dengan hati-hati.

"Kerja bagus, kamu sangat luar biasa malam ini," ujar sang presdir sambil tersenyum. Membuat jantungnya seolah mencelos hingga ke kakinya.

"Gamshahamnida, sajangnim!" Ujarnya dengan sangat bersemangat, ia tak bisa lagi menahan senyumannya.

Apakah ini adalah sebuah start yang bagus?

[Kim Jinwoo]

"Seo Haejoon. Kerja bagus, kamu sangat luar biasa malam ini."

Terima kasih kepada pengeras suara yang ada pada ruangan ini. Kalimat yang tidak pernah Jinwoo pikirkan akan terucap sebelumnya kini justru terdengar dengan kencang. Ia memalingkan wajahnya, sekadar untuk berdecak dan mengeluarkan raut wajah penuh ketidaksukaannya. Tentu saja, setelah ia yakin kalau tidak ada yang melihatnya. Prosesi itu tidak berlangsung lama. Kim Jinwoo, selaku mentor dari grup 9 yang berisikan Haejoon serta 3 trainee lain, kini turut melangkah ke tengah panggung dan memberikan rangkulan akrab kepada trainee tertua dalam grup tersebut; Haejoon.

"Gamsahamnida, Sajangnim! Talenta yang dimiliki Haejoon hyong memang sudah tidak perlu diragukan lagi," ungkapnya dengan senyum sumringah yang ia pertontonkan kepada presdir Hero Entertainment serta juri lain. Setelahnya, Jinwoo mempererat rangkulannya dan sedikit menggoncang tubuh Haejoon hyong dengan senyuman yang belum kunjung luntur. Ketiga trainee lain tampak heran, namun pada akhirnya mereka pun merapat dan ikut saling merangkul satu sama lain.

'Sial,' pikirnya saat menyadari kejadian tersebut. Tingkahnya justru membuat mereka semua bersatu.

Meski begitu, tak ada sesekonpun ia lewati untuk melenyapkan senyumannya. Jinwoo harus tetap menjaga imej baiknya di depan para petinggi agensi, walau perasaan kesal dan terancam mulai timbul akibat kenyataan bahwa Haejoon hyung bisa saja segera membalapnya dan mengalahkannya.

* Scene 4

[Son Jinhee]

[ 🎥 ]

Jantungnya terasa tak pernah berdetak secepat ini dalam hidupnya. Tapi Jinhee tak merasa sakit, dia menikmati setiap debaran cepat di dadanya itu.

Duduk bersama anggota kelompoknya menunggu giliran untuk tampil, momen ini menjadi momen bahagianya. Sebelum nanti, hal paling membahagiakan dalam hidupnya akan terjadi, tampil di panggung. Ya, bukankah itu impian semua trainee? Termasuk dirinya, dia merasa mimpinya semakin jelas, tampak terang di hadapannya.

"Son Jinhee-ssi."

Jinhee mendongak saat seseorang memanggilnya. Seorang perempuan dengan kartu bertuliskan staff yang terkalung di lehernya itu tertangkap pandangan.

"Ya?"

"Bisakah kita berbicara sebentar?"

"Tentu saja." Dengan senyum ramah, dia mengangguk, menyetujui permintaan salah satu staff agensi yang sepertinya bertugas untuk mengurus acara survival kali ini.

Jinhee mengekori langkah staff perempuan tersebut. Mereka berdua keluar dari ruang tunggu dan berhenti di lorong depan ruangan yang nampak sibuk.

"Jinhee-ssi." Jeda di antara kalimat si staff tak membuat senyum sang gadis luntur. "Saya menerima perintah langsung dari Presdir bahwa beliau tidak mengizinkan anda untuk tampil malam ini."

Lengkungan pada kurva bibirnya langsung menghilang seketika.

"Grupmu tetap akan tampil, tapi maaf, anda tak bisa ikut bersama mereka."

"N-ne?"

Kakinya melemas, seakan tulangnya diloloskan satu persatu. Pada kenyataannya dia terpaku dengan otaknya yang terasa macet.

Dia salah dengar 'kan?

"Sebaiknya kau memisahkan diri dengan grupmu, pergilah ke toilet dan lihatlah berita yang dirilis Dispatch dua jam lalu." Kalimat yang sarat akan rasa iba itu ditutup dengan dua tepukan di bahu kanannya sebelum staff tersebut pergi.

Seperti robot, dia berjalan menuju toilet dengan linglung. Masih berusaha mencerna keadaan, dan di sisi lain berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja.

Nyatanya, semua tidak baik-baik saja saat Jinhee mengeluarkan ponsel dan mengecek berita di bilik toilet paling ujung.

Detik itu juga dunianya runtuh.

'BREAKING: A Member of Rookie Boygroup Spotted Kiss A Trainee From The Same Company'

Bola matanya terus bergulir membaca satu persatu kalimat yang tertulis di artikel serta tanggapan yang ditinggalkan oleh netizen. Yang semuanya adalah komentar negatif.

'Kim Jinwoo? Bukannya dia baru saja debut? Daebak, berani sekali dia berbuat seperti itu.'

'Skandal dari visual grup? Bukannya dia juga seorang maknae? Sayang sekali.'

'Selamat, karir kalian berdua di dunia entertaiment telah berakhir.'

'Seorang gadis murahan sepertinya hanya ingin menumpang popularitas milik Jinwoo.'

'Son Jinhee, b*tch.'

Ponselnya terlepas begitu sata dari genggaman, menyapa dinginnya ubin toilet.

Tubuhnya bergetar, detak jantungnya kini terasa berhenti. Menyebabkan rasa sesak yang amat menyakitkan. Bulir air mata telah mengalir di pipinya sejak tadi.

Dia ingin berteriak untuk menghilangkan rasa sakit yang mencekalnya. Tapi tak ada satupun suara yang tersengar.

Di bilik toilet itu, raganya memberontak kesakitan. Jiwanya meraung, mencari pelampiasan sesak yang luar biasa.

Dia menangis tanpa suara, diantara reruntuhan mimpinya.

* Scene 5

[Park Seojung]

Disaat kebanyakan orang tengah dibuat berdebar menunggu giliran, sementara sebagian lainnya bersorak girang karena sudah disambangi kelegaan, Seojung justru makin gelisah begitu turun dari panggung. Bukan karena penampilan grupnya yang mengecewakan, namun karena selentingan berita yang baru saja ia dengar.

Sepasang manik karamel gadis penyandang marga Park itu bergerak resah menekuri barisan aksara yang tertuang dalam laman paling populer dan banyak dikunjungi di situs agensinya; berita tentang skandal yang menjerat Kim Jinwoo dan Son Jinhee, sahabatnya.

Kontan, kejadian seminggu lalu saat Seojung balas memutus pertemanan dengan Jinhee menyeruak dalam imaji dan meninggalkan sebersit sesal di hati gadis itu. Tanpa sadar, Seojung menepuk-nepuk bibirnya sendiri yang kurang ajar meluncurkan hujatan untuk Jinhee pekan lalu.

‘Aku tak akan mengasihanimu lagi!’

“Tsk.”

Seojung memejamkan mata saat berusaha menekan sesak yang menyerang rongga dadanya. Kalau bisa, ia sangat ingin menarik ucapannya di hadapan Jinhee dan mengakui terang-terang kalau ia mengkhawatirkan sahabatnya.

[Seo Haejoon]

"Youngil-ah!" Teriak Haejoon sambil mengedarkan panggilannya. Haejoon beberapa kali memutar tubuhnya untuk mencari sosok pemuda bernama Youngil tersebut.

Sang adam berdecak kesal karena tak bisa menemukan temannya itu. Padahal pemuda itu lah yang beberapa menit lalu merengek-rengek minta diambilkan minuman segar di vending machine. Haejoon melempar-lempar pelan salah satu kaleng minuman segar yang ada di kedua tangannya sambil berjalan. Sudah berniat untuk menghabisi isi dari kedua kaleng minuman tersebut sendirian.

Namun langkahnya berhenti mendadak ketika netranya menangkap sebuah objek yang familiar berada tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.

"Park Seojung?" gumamnya bertanya mungkin pada udara.

Tungkainya tiba-tiba bergerak menghampiri sang gadis tanpa dikomandoi oleh otaknya. Berhubung sudah berada disana, Haejoon akhirnya memutuskan untuk berjongkok di depan Seojung yang sedang memejamkan matanya. Pemuda itu menempelkan kaleng minuman segar pada kening Seojung.

[Park Seojung]

'Park Seojung?’

Baritone seseorang baru saja berhasil menarik Seojung dari kemelut yang menyergapnya tanpa ampun. Praktis, membuat gadis itu melebarkan kelopak yang kemudian mempertemukan obsidiannya dengan sepasang penglihat milik pria di bawah pandangannya, Seo Haejoon.

“Oh, oppa.”

Seojung mengusap keningnya yang ditempeli jejak basah embun minuman kaleng Haejoon. Lantas, netranya mengerjap cepat begitu cemasnya makin membumbung.

“Oppa!” Sergah Seojung seraya meremas pelan bahu Haejoon.

“Haejoon oppa, apa yang akan terjadi pada Kim Jinwoo dan Son Jinhee?” Meski tak yakin Haejoon tahu persis jawabannya, setidaknya Seojung tahu Haejoon pasti sama pedulinya.

Sekali lagi, iris karamel gadis Park itu bergerak gelisah. “Apa presdir benar-benar marah besar?”

[Seo Haejoon]

Baru saja merubah posisinya menjadi duduk bersila dan mendaratkan bokongnya di lantai, Haejoon sudah diserang oleh sebuah pertanyaan yang cukup berat untuk dijawab oleh sosok dara dihadapannya.

'Haejoon oppa, apa yang akan terjadi pada Kim Jinwoo dan Son Jinhee?'

Haejoon menarik nafasnya, lalu menghembuskannya dengan berat. "Ah, kau sudah dengar beritanya?" Tanya Haejoon sambil menatap ke arah ujung tali sepatunya.

Sejujurnya, Haejoon sudah terlalu lelah untuk membahas persoalan ini; seakan ia menghadapi sebuah masalah baru lagi. Haejoon pun tak suka melihat Seojung merasa terbebani bergitu.

Pemuda bernama Seo Haejoon itu hanya bisa mengangkat bahunya, "Entahlah," ujarnya lalu mengalihkan pandangan pada Seojung. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Kenapa kau khawatir? Bukankah tempo hari Jinhee menamparmu, dan sekarang kalian sudah tak berteman lagi?" Tanya Haejoon penasaran sambil sedikit mengerutkan keningnya.

Sosok gadis bernama lengkap Park Seojung itu terlihat kebingungan atas pertanyaan yang barusan dilontarkan oleh Haejoon. Seojung terlihat akan mulai berucap lagi, namun tiba-tiba sesuatu melintas di otak Haejoon dan langsung mengalir lewat mulutnya begitu saja.

"Kau benar-benar gadis yang baik." Seo Haejoon mengangkat kaleng minuman segar yang ada di tangan kanannya, "Bagaimana pun juga, kau dan Jinhee pernah seperti kaleng ini dan penutupnya. Ah, analogi yang buruk," ucapnya sambil memejamkan matanya dan sedikit menggelengkan kepalanya.

Haejoon kembali membuka matanya dan
menatap ke arah Seojung, "Dengar, Jinhee sedang jatuh, dia butuh seseorang untuk di sampingnya. Kau bisa jadi orang itu, Park Seojung," lanjutnya sembari menepuk bahu sosok gadis dihadapannya itu sebanyak beberapa kali.

Lelaki itu hanya bisa tersenyum di hadapan Seojung. Namun jauh di dalam hatinya, ia pun merasa kesal sekaligus sedih karena Haejoon pun masih belum bisa menerapkan hal tersebut dan kembali menjalin hubungan baiknya dengan Jinwoo. Senyumannya perlahan memudar dan berubah menjadi masam kala memikirkan hal tersebut.

* Scene 6

[Kim Jinwoo]

[ 🎥 ]

Kemarin, artikel pemberitaan tentang dirinya dirilis oleh salah satu media terkemuka seantero Korea Selatan. Bagi segelintir orang atau artis dengan nama yang sudah tinggi melambung, mungkin ini bukanlah perkara sulit untuk dikesampingkan. Tetapi, Jinwoo? Ia hanyalah seorang rookie idol yang mana karirnya masih diibaratkan seperti berjalan di kepingan es pipih yang dapat kapan saja hancur.

Perguliran hari membuat ia terpaksa dihadapkan dengan keputusan yang mau tak mau harus ia terima. Baik dari pihak HERO Entertainment, sang manager, maupun anggota BREAK lain setuju akan pilihan kalau lebih baik seorang Kim Jinwoo mengambil hiatus dari kegiatan grup sepanjang promosi ini. Berarti, untuk sementara waktu tidak akan ada lagi maknae dan visual dari BREAK. Dan naasnya, ternyata itu baru sepersekian persen tanggungan yang harus ia terima akibat artikel —coret, perilakunya. Ia juga tidak diperkenankan untuk mengikuti comeback selanjutnya, padahal mereka sudah menyicil mempersiapkan ini dan itu. Bahkan yang terburuk ... meski ia tergolong setengah hati melakukannya, Jinwoo pun diberhentikan statusnya sebagai seorang mentor dalam survival show RAISE.

Astaga, Tuhan. Adakah yang lebih buruk dari ini?

Jinwoo menghabiskan pagi-siangnya untuk mengurung diri di kamar. Meringkuk, berkeringat, menggigil. Ia sama sekali tidak keluar kamar, baik untuk ke kamar mandi, minum, apalagi untuk makan.

"Apa yang harus aku lakukan? Apa— apakah ini sudah berakhir? Karirku.... Ah, Jinhee. Bagaimana dengan Jinhee? Jinhee.... Jinhee...." Pandangan matanya mengedar, ia memperhatikan sekeliling kamarnya dengan sikap awas. Kalau diperhatikan, penampilan Jinwoo sungguhlah kacau. Rambutnya berantakan, matanya memerah, kantung hitam menghiasi wajah, bibirnya kering dan pucat. Berbagai macam pikiran negatif memenuhi benaknya, membuat mata terasa panas dan sesak di dada. Tiba-tiba saja, pandangan matanya berhenti di ransel yang sering ia gunakan dulu. Terbesitlah keinginan untuk kabur dan meninggalkan realita, meski ia tahu betul kalau itu tidak akan berhasil.

Alhasil, ia merangkak dan beranjak bangun. Dimasukkannya dua potong pakaian yang mudah tergapai tangannya, dompet, serta gadget dan alat penambah dayanya. Ia juga menyambar hoodie dan sebuah snapback untuk memanipulasi penampilannya. Masker wajah pun tak luput ia gunakan. Tidak ada tujuan pasti, intinya ia ingin ke luar dan menjauhkan diri dari orang-orang yang akan mempertanyakan atau mengolok kabarnya.

Sepasang kaki jenjang itu berjalan dengan ringkih dan ragu, sebisa mungkin ia menghindari kontak mata dengan siapapun di hadapannya. Hingga tanpa ia sadari, langkah itu membawanya menuju sebuah hotel sederhana setelah ia berjalan sekitar empat puluh menit lamanya. Setelah mengatur deru napasnya, Jinwoo pun melesat masuk ke dalam dan memesan satu kamar yang sesuai dengan nominal uang miliknya.

Sesampainya di kamar hotel, ia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang dengan ransel yang sudah ia lepas sebelumnya. Tangannya pun merogoh ke dalam saku hoodie guna mengambil ponsel yang sedari tadi ia anggurkan. Ada banyak sekali panggilan tak terjawab serta pesan di sana. Jemarinya bergerak lincah untuk mengusap layar, memeriksa satu per satu pesan yang ia terima. Isinya beragam, entah itu dari sang manager, rekan satu grupnya, bahkan dari ibunya sekalipun. Tidak ada satupun niat dari dalam diri untuk membalas pesan tersebut, apalagi menghubungi ulang.

Matanya terpejam, mencoba menenangkan diri. Sampai tiba-tiba pikiran akan Jinhee kembali hinggap. Gadisnya itu, bagaimana kabarnya? Apa dia mengalami kesulitan yang sama ... atau bahkan lebih parah?

Jinwoo mengangkat tubuhnya dan duduk di tepi ranjang, ia mencoba menelpon Jinhee. Satu kali.... Dua kali.... Tiga ka— panggilan telponnya diputus sepihak tanpa sempat diangkat sebelumnya. "Jinhee-ya...," gumamnya parau. Tidak menyerah, Jinwoo pun terus mencoba menghubungi Jinhee dan secara terus-menerus pula panggilan telponnya diputuskan.

"AAARGH!" Teriaknya frustasi sembari mengacak-acak rambutnya yang sudah terbebas dari snapback. Ia melemparkan ponselnya hingga membentur kepala ranjang. Di saat itulah ia melihat adanya telpon hotel, yang lalu ia pergunakan untuk kembali menghubungi Jinhee. Sialnya, hasilnya tetaplah sama. Jangankan jawaban, diangkat pun tidak.

Silaunya sinar mentari menjelang terbenam membuat Jinwoo memicingkan mata dan berjalan menuju jendela. Sesaat akan menutup tirai, ia mendapati adanya telpon umum di depan hotel yang sedang ia tempati. Apa ini yang disebut Dewi Fortuna sedang berpihak kepadanya? Tanpa sempat menggunakan snapback dan maskernya lagi, Jinwoo berlari ke luar kamar untuk menuju telpon umum itu. Apapun caranya, ia harus mendapatkan kabar dari Jinhee untuk mengetahui keadaannya. Harus. Apapun caranya, ia tidak boleh berhenti mencoba.

* Scene 7

[Son Jinhee]

[ 🎥 ]

Komentar-komentar yang tertulis di artikel itu kian menghantui Jinhee, malah makin bertambah banyak daripada awal ketika artikel itu dirilis. Dan dia tak bisa menahan diri untuk tidak membaca komentar untuknya satu persatu.

Belum ada artikel konfirmasi dari Hero, yang dia tunggu sekaligus menjadi mimpi buruknya.

Bagaimana dengan perjuangannya selama ini?

Apakah semuanya benar-benar berakhir?

Jinhee makin meringkuk di sudut kamar mandi asramanya. Dia takut, Hero mungkin tak akan memperpanjang kontrak traineenya. Hanya karena sebuah artikel, jalan menuju mimpinya tertutup rapat.

Dia marah pada dirinya sendiri. Jinhee telah dengan sukarela berjalan menuju mimpinya selama bertahun-tahun, bahkan dia merangkak tanpa lelah. Kini saat sinar itu telah ada di hadapannya, semuanya meredup seketika.

Matanya telah memerah, tapi cairan bening itu tak kunjung berhenti menuruni pipi si gadis. Menangisi puing-puing mimpinya.

Tangan kirinya terkurai lemah di samping tubuh, juga tak henti mengeluarkan cairan merah. Terasa kebas dibanding luka di hatinya. Pun saat mata pisau menyentuhnya tadi, semuanya mati rasa.

Selama ini Jinhee berotasi pada mimpi. Mimpi adalah dunianya. Maka saat dunianya hancur, tak ada lagi alasan untuk tetap hidup.

[Park Seojung]

Berangkat dari saran yang dicetus Haejoon usai tampil semalam, Seojung bergegas menuju kamar Jinhee dan berniat memastikan langsung keadaan terakhir sang kawan; baik fisik maupun psikisnya yang sudah dipastikan sangat tertekan atas skandal yang menjeratnya tanpa peringatan.

Seperti biasa, suasana sekitar tak bisa disebut lengang. Begitu banyak yang berlalu lalang, meski tak satupun yang dikenal Seojung dengan baik seperti Haejoon, Yumi, apalagi Jinhee yang saat ini tengah ia cari.

Disergap firasat tak nyaman, gadis penyandang marga Park itu mempercepat langkah hingga sepasang tungkainya berhenti di depan pintu kamar tujuan.Tanpa banyak pikir, Seojung lekas mengulurkan tangan dan mengetuk sopan pintu di hadapan.

Beruntung, Seojung tak dibuat menunggu lama soal tanggapan. Meski sayang, sang penyambut bukan sosok yang waktu ini ia khawatirkan.

“Soeul eonnie,” ujar Seojung langsung, gagal menutupi raut cemas yang terlampau kentara mendominasi paras.

“Ya? Kau pasti mencari Jinhee, ‘kan?” Tebak teman sekamar Jinhee yang dipanggil Seojung ‘eonnie’ seraya tersenyum tipis.

Setelahnya, Seojung mengangguk sebagai jawaban.

Soeul tersenyum lagi, lantas mulai menggeser tubuh dan membuka jalan untuk Seojung masuk ke kamar yang ia huni.

“Jinhee sedang di kamar mandi kalau kau tak keberatan menunggu,” terang Soeul yang kembali disambut anggukan pasti Seojung.

Cukup lama keduanya dikepung hening dan Jinhee belum jua menunjukkan tanda-tanda segera rampung dengan kegiatan apapun yang dilakoni gadis itu di dalam kamar mandi. Hingga pada akhirnya, sunyi dipecah Soeul yang memilih angkat bicara, “Jinhee tidak makan dan tidak bicara sama sekali padaku atau teman sekamar lain.”

Tercekat, Seojung merubah fokus dan sepenuhnya memperhatikan tuturan gadis di depannya saat ini.

“Kami pun tak bisa melakukan apa-apa untuk menghibur Jinhee karena kami tidak terlalu dekat dengannya.”

Bingung harus memberi respon seperti apa perihal cerita tentang salah satu kawan terbaiknya, Seojung hanya menggigiti bagian bawah bibirnya sampai ketika Soeul mendekat dan meremas bahunya lembut.

“Semua orang tahu kalau kau dan Jinhee bersahabat walaupun akhir-akhir ini terlihat seperti bermusuhan. Tapi, aku senang mengetahui kau masih sangat peduli padanya.”

Serupa dengan tuturan Haejoon semalam, ucapan Soeul sukses membuat niat Seojung kian teguh untuk tidak membiarkan Jinhee sendiri dalam kesakitan.

Hampir dua puluh menit berselang sejak pertama Seojung bertamu dan Jinhee tak kunjung keluar. Dihantui rasa cemas berlebihan ditambah ungkapan Soeul jikalau Jinhee memang sudah cukup lama ada di dalam, Seojung memberanikan diri berjalan ke arah kamar mandi dan memastikan sendiri apa yang dilakukan Jinhee di dalam.

“Son Jinhee!” panggil sang dara, mengetuk tak sabar pintu kamar mandi di hadapannya.

Ketukan kelima yang tak bersambut membuat Seojung gusar dan pilih memutar gagang pintu. Eh? Tidak dikunci?

Keduanya; Seojung dan Soeul sama-sama mengernyit tatkala bau anyir darah menyesaki penghidu begitu tungkai mereka melangkah ke dalam kamar mandi dengan luas tak seberapa.

… Dan alangkah terkejutnya mereka, mendapati Jinhee merosot frustasi dengan pergelangan tangan terus-terusan memuntahkan darah segar.

“Astaga Son Jinhee!” pekik Soeul kalut, menyusul Seojung yang lebih dulu menghambur ke arah Jinhee dan berusaha menutup luka yang dibuat Jinhee.

“Aku akan telepon ambulans, jadi kau harus bertahan—”
“Eonnie!” sergah Seojung, menggeleng cepat.

“Kalau agensi atau orang lain sampai tahu akan hal ini, segalanya akan semakin kacau, eonnie,” ujar gadis itu panik.

“Jadi, lebih baik eonnie hubungi taksi dan biar kita saja yang mengantar Jinhee ke rumah sakit.”

[Son Jinhee]

Indranya dapat menangkap suara samar yang menyerukan namanya. Tapi setelah itu semuanya gelap.

***

Kelopaknya terbuka bersamaan dengan bau menyengat yang menyerang penciuman. Dan segala rasa sakit mulai mengecupi seluruh tubuhnya.

Spontan erangan kecil lolos dari bibirnya.

"Seojung?"

Tanpa suara, sosok itu menekan bel di dekat tempat tidur. Tak lama seorang dokter muncul dibalik pintu. Sementara laki-laki berjas putih itu memeriksanya, Seojung berjalan menjauh.

Dokter menjelaskan banyak hal, tapi otaknya berkhianat meski hazelnya terfokus pada figur di hadapannya.

Jinhee hanya bisa menangkap kalimat terakhir. "... sayatannya tak terlalu dalam. Kau bisa pulang setelah cairan infus ini habis."

Dari sudut matanya, dia bisa melihat Seojung berbincang dengan dokter yang terlihat ada di usia 30-an itu sembari mengantarnya ke pintu.

Setelah itu dia tak berani lagi untuk mendaratkan pandangan pada wujud gadis Park tersebut.

Sejujurnya dia malu. Keadaannya sangat terpuruk sekarang. Dan Seojung ada di sini, melihat Jinhee pada fase paling rendah dalam hidupnya.

Dia sendiri mengakui bahwa tindakannya sangat bodoh, sama sekali bukan tipe seorang Jinhee. Hanya saja apalagi yang bisa dia lakukan jika dunia sudah berbalik memunggunginya?

[Park Seojung]

Debar yang sempat berpacu gila-gilaan akhirnya normal juga begitu Seojung mendengarkan tuturan dokter soal kondisi kesehatan Jinhee saat ini. Tidak parah, namun ditaksir berakibat fatal jikalau ia dan Soeul terlambat membawa gadis Son itu tadi.

Selesai berbincang dengan sang dokter, Seojung lekas menghampiri tempat tidur Jinhee dan melayangkan tatapan sebal pada rekannya.

“Ya! Son Jinhee!” Serunya, berlagak galak.

Gagal, tapi.

Setelahnya, Seojung justru tertunduk menekuri lantai dingin yang dipijaknya. Baru setelah merasa cukup tegar untuk angkat bicara, gadis itu kembali menumbuk hazel kembar Jinhee dengan iris berkaca-kaca.

“Kenapa kau melakukan itu, eoh?” Tuntutnya, mengulurkan salah satu kuasa untuk meremas pelan bahu kanan Jinhee; berusaha menyampaikan rasa pedulinya.

“Kau benar-benar ingin mati karena masalah ini?” Tantang Seojung lagi, menatap Jinhee tak kalah frustasi.

Membuang jauh gengsi dan melupakan sakit hati yang sejujurnya juga sudah menguap pergi, Seojung merapat ke arah Jinhee dan merengkuh raga ringkih gadis yang sampai detik ini ia akui sebagai salah satu teman terbaik.

“Aku tahu rasanya berat. Tapi, aku sudah memutuskan akan ada di sini, di sampingmu.”

Membiarkan bulir bening membuat alurnya sendiri di atas dua belah pipi, Seojung terisak sebagai wajah rasa cemas yang mencekik nadinya sejak tadi.

"Jadi, mari kita hadapi bersama, Son Jinhee,” urainya, tersenyum disela tangis.

* Scene 8

[Goo Sanghyuk]

Sanghyuk kembali menunduk kebawah untuk yang kesekian kalinya, memperhatikan bagaimana jari mereka bertautan dibawah sana.

Kedua tungkai kembar mereka tetap melangkah, menelusuri trotoar yang cukup sepi saat itu. Teruna bersurai hitam kelam itu memang mengajak Yumi untuk makan es krim selepas survival show berakhir.

Mungkin yang dingin dan manis dapat membuat mood gadis Han ini menjadi lebih baik. Apalagi dirinya langsung tereliminasi di babak pertama.

Namun, apa yang ia lihat sekarang?

Senyum manis Yumi dan tawanya yang renyah lah yang ia lihat sepanjang perjalanan. Sanghyuk mengernyit heran, bukankah dia harusnya sedih?

"Hey," Sanghyuk menyikut tangan sang dara, membuat manik /indah/nya menatap lurus milik Sanghyuk sendiri.

"Apa kau sekarang menjadi gila saking frustasinya?"

[Han Yumi]

Es krim di awal musim dingin? Ide siapa lagi kalau bukan milik Goo Sanghyuk.

Yumi tak ingat bagaimana jemari keduanya dapat bertautan. Tetapi tak tampak buruk, hangat dan terasa nyaman untuknya. Sang dara bahkan beberapa kali mengayunkan lengan keduanya, bersamaan dengan gelak tawa serta langkah yang tersalurkan dari tumit.

"Aku tidak frustasi. Justru lega dengan hasil yang ada. " Ucapnya seraya mendaratkan sentilan pelan tepat di kening sang adam. Kekehan lain lolos dari tubir Yumi tatkala menatap ekspresi khas di wajah Sanghyuk.

"Aku mungkin memang tak pantas berada di acara itu. Kejadian lalu pun ... memang keterlaluan, tetapi tampaknya pantas untukku." Tuturnya seraya diiringi helaan napas panjang.

Yumi tak pernah berkata apapun sejak hari itu, baik pada Seojung maupun Jinhee. Mungkin lebih baik begitu.

Pandangan kini ia arahkan pada langit kebiruan. Hembusan nafas kembali terdengar samar, teriringi senyuman yang terlambung dari sudut bibir sebelum kalimat lain terlontarkan.

"Aku akan keluar dari Hero Entertainment."

Yumi tidak bercanda, bahkan dirinya telah mengantongi izin dari Ayahnya. Sang dara telah menceritakan banyak hal pada beliau, bagaimana para trainer terlalu memanjakannya, dan reaksi dari beberapa trainee.

Semua hal, kecuali kejadian malam itu. Yumi tak ingin membuat kegaduhan lain. Dirinya bahkan tak ingin siapapun tahu tentang kepergiannya dari Hero, kecuali Sanghyuk tentunya.

"Tetapi bukan berarti impianku selesai disini. Aku akan mencoba audisi di agensi lain, mengulang semuanya perlahan dari awal." tuturnya pelan seraya mengalihkan netranya pada sosok di sisi.

Wajah Yumi tampak berseri, seolah beberapa beban di pundaknya kini berkurang. Jemari miliknya perlahan bergerak, mengusap lembut surai hitam milik sang adam.

"Terimakasih atas banyak hal, Goo Sanghyuk."

[Goo Sanghyuk]

"Ah— begitukah?"

Sentilan dari tangan mungil Yumi ia terima setelahnya. Alih-alih mengeluh sakit, Sanghyuk justru tersenyum; apalagi mendengar kekehan yang lolos dari bibir sang gadis.

Setelah semua yang mereka lewati, bahkan senyuman dan tawa Yumi masih menjadi favoritnya.

"Terimakasih..?" Sanghyuk menoleh saat merasakan jemari sang gadis mengusap surainya. "Kau tidak perlu berterima kasih padaku. Aku tak melakukan apapun, Yumi."

Hening menyelimuti mereka setelah itu, hanya terdengar suara bot yang mereka pakai bergesekan dengan trotoar yang tertutup salju tipis tersebut. Hingga akhirnya mulut Sanghyuk terbuka untuk mengatakan sesuatu,

"Kalau begitu, ini seperti acara perpisahan, kan? Kurasa kita tak akan bertemu lagi setelah ini karna kita tak lagi berada di atap yang sama."

... Benar, kan? Tugasnya sebagai 'Malaikat Pelindung' bagi seorang Han Yumi sudah selesai. Saat tugasnya sudah selesai, maka ini waktu bagi dirinya untuk pergi. Walaupun ketidakrelaan melingkupi hatinya saat ini.

* Scene 9

[Park Seojung]

Beban yang memberatkan pikiran Seojung satu minggu terakhir lambat laun menipis sementara Jinhee sudah mendapat penanganan yang tepat di Rumah Sakit—meski Seojung tak begitu yakin tentang perasaan sang kawan saat ini.

Hanya satu yang masih senantiasa menyesaki rongga dadanya hingga sekarang; rasa bersalahnya pada Yumi yang tak kunjung bisa ditemui, makin subur dan mengakar.

Sebuah helaan napas berat lolos dari bilah bibir Seojung tatkala ingatan gadis itu memutar kembali kejadian tempo hari yang melibatkan dua teman terbaiknya. Sejujurnya, masih ada kesal yang tersisa setiap kali teringat perlakuan buruk Jinhee hari-hari sebelumnya. Namun, pada akhirnya Seojung tidak pernah bisa benar-benar mengabaikan Jinhee di waktu-waktu terburuknya.

Getaran konstan yang berasal dari dering ponsel di sisi kanan tempat duduknya menghancurkan lamunan Seojung seketika. Membuat sang dara menoleh dan dengan segera meraih benda pipih canggih itu begitu retinanya menyoroti tulisan ‘아빠' menandak-nandak di layar yang menyala.

“Ya, appa?”

Raut wajah Seojung yang sudah keruh makin terlihat berantakan setelah terdiam selama beberapa saat.

Sejurus kemudian, iris karamel si gadis Park mulai dipenuhi kabut-kabut tipis saat ia melontar tanya dengan suara goyah, “aku harus bagaimana…?”

Tidak terlalu lama Seojung dan ayahnya terlibat pembicaraan dua arah; hanya kurang lebih sepuluh menit yang didominasi perdebatan kecil, sampai akhirnya Seojung pasrah meletakkan kembali ponsel dengan genggam /sedikit/ gemetar.

Rupanya, sang ayah baru saja mengabari jika ibunya sedang sakit di rumah. Tidak parah, memang. Namun, tetap saja Seojung yang notabene anak tunggal dan terhitung dekat dengan sang ibu diliputi kecemasan mendengar berita sakitnya wanita yang telah melahirkan dan merawatnya hingga seperti sekarang.

Seolah belum puas menyiksa Seojung hanya dengan pikiran kalut soal kondisi kesehatan sang ibu, panggilan kawan-kawan kelompoknya menyentak gadis itu karena sebentar lagi tiba giliran mereka yang naik ke pentas untuk pertunjukan kedua.

Kepala Seojung terkulai di punggung sofa. Sementara itu, sang dara coba meneguhkan hati agar bertahan setidaknya sampai penampilan kelompoknya.

Tidak!

Sekalipun ia dibuat teramat cemas untuk orang tuanya, Seojung tetap tidak bisa mengecewakan teman kelompok yang mati-matian memeras peluh bersamanya sejauh ini.

Lagipula, ia tadi sudah sempat berbicara sebentar dengan ibunya.

Yap!

‘Semua akan baik-baik saja, Park Seojung!’ sugesti sang dara.

* Scene 10

[Seo Haejoon]

Hatinya berdegup kencang.

Entah berdegup karena ia sedang bahagia, atau merasa gugup karena tiba-tiba saja sang presdir memanggilnya.

Pemikiran-pemikiran seperti 'Apakah aku se-spesial itu?' atau 'Apa yang akan dia lakukan padaku?' sudah berputar-putar di dalam pikirannya. Sosok bernama Seo Haejoon itu tentu tak bisa menahan wajahnya untuk tak mengukir senyum.

Sang adam menarik nafasnya dalam sebelum mengetukkan tangannya pada pintu kayu dihadapannya sebanyak tiga kali dan akhirnya memutar knob pintu tersebut.

Baru ia membuka pintu itu, dirinya sudah disambut hangat oleh sang presdir yang tersenyum begitu manis namun seperti memiliki makna terselubung dibaliknya, membuat Haejoon semakin bertanya-tanya.

"Seo Haejoon," sapa sang presdir dengan cerah.

"Annyeonghasimnika," balas Haejoon se-sopan mungkin sambil membungkukkan tubuhnya.

"Silahkan, silahkan duduk." Seperti yang dipintahkan, Haejoon hanya tersenyum dan sekejap membungkukkan tubuhnya sebelum duduk di sofa yang hanya berjarak sekitar delapan langkah dari tempatnya berdiri semula.

Yang lebih tua duduk di hadapannya dengan lebih nyaman. Sementara Haejoon duduk dengan sangat kaku dan hati-hati, takut kalau tanpa sengaja perbuatannya bersifat lancang. "Penampilanmu masih membekas di pikiranku; terlalu berkesan."

Haejoon terkekeh canggung dan untuk kesekian kalinya membungkukkan tubuhnya. "Terima kasih, sajangnim." Ujarnya singkat, tak tahu lagi harus berkata apa.

"Ekspresimu, gerak-gerikmu, bahkan mannermu diatas panggung. Benar-benar mencerminkan seorang profesional, kutebak kau sudah mendapat banyak pengalaman, ya?"

Haejoon terdiam beberapa detik—menyusun kalimat balasan—sebelum akhirnya mengangguk. "Ya, saya selalu mendapat pengalaman baru dari evaluasi bulanan."

"Namamu juga cukup melejit, namamu bertahan di peringkat pertama selama 9 jam sebagi keyword yang paling dicari di mesin pencari 'hijau'."

Kali ini Seo Haejoon hanya mengusap tengkuknya canggung, ia kehabisan kalimat untuk merespon sang atasan. Disisi lain, tanda tanya di pikirannya tumbuh semakin besar, entah mengapa.

"Performa excellent, sikap seperti profesional, memiliki banyak pengalaman, dan sepertinya sudah banyak pula gadis yang terpikat olehmu diluar sana," pandangan sang presdir semakin tajam tertuju pada matanya. Pria itu memajukan posisi tubuhnya dan semakin mengintenskan tatapannya pada Haejoon, membuat yang ditatap merasa sedikit terusik.

"Kau sedang berada di puncaknya saat ini, Seo Haejoon."

Haejoon menelan ludahnya. Apakah itu murni sebuah pujian? Tidak. Haejoon tidak yakin itu hanyalah sebuah pujian belaka. Seorang presdir yang sibuk dengan anak asuhan yang sedang melejit sepertinya tidak akan mau repot-repot membuang waktunya memanggil trainee 'abadi' seperti Haejoon hanya untuk memujinya.

"Jangan tegang begitu, aku tidak akan memakanmu." Ujar yang lebih tua bergurau diikuti kekehan, bermaksud untuk mencairkan suasana namun kalimat barusan nampaknya tak memiliki dampak apapun bagi Haejoon.

"Begini saja," ujarnya dengan nada yang tiba-tiba berubah menjadi serius lagi.

Ini dia.

Haejoon mengerutkan keningnya, tanpa harus berucap pun nampaknya sang lawan bicara mengerti apa akna gesturnya barusan.

"Aku berikan kau kesempatan untuk menolong temanmu, Kim Jinwoo, dan meraih mimpimu untuk debut."

Haejoon terdiam, tak mengerti lagi apa maksud dari sang atasan.

"Seperti yang kau tahu, Break sedang berada di batas terendah mereka saat ini." Pria yang lebih tua itu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dengan lebih nyaman. "Dan kau, namamu hanya akan bertahan selama dua-tiga minggu."

Belum mau berucap, Haejoon masih terdiam menunggu kelanjutan dari penjelasan sang atasan.

"Kemudian nanti akan ada trainee baru yang berusaha keras dan mencuri perhatian publik, kau akan berguling kebawah." Ujarnya sambil menggerakan tangannya untuk menambah penekanan dari kalimatnya.

Pria itu menyilangkan kakinya, "Akan selalu begitu. Itulah teknis sebuah survival show," ia memberi jeda sekitar beberapa sekon.

"Roda berputar, Haejoon-ssi."

Pelan dan penuh penekanan, lurus menusuk menuju ke hati, sekaligus membangkitkan adrenalinnya. "Dan pada akhirnya, tak ada yang bisa menjamin bagaimana nasibmu dimasa depan." Lanjutnya sambil mengangkat bahu dan menggelengkan kepalanya.

"Aku memberikanmu jalan yang mudah. Mundurlah dari survival show itu dan kau bisa debut sebagai member baru Break. Dengan begitu, namamu akan melambung dengan lebih lama, performamu yang seperti itu pun nampaknya bisa menjamin masa depanmu bersama Break, kau juga bisa melepas gelar trainee 'abadi' mu."

Pilihan yang cukup menggiurkan, namun juga berat. Tapi saat ini Haejoon bukan sedang menimbang-nimbang pilihan apa yang seharusnya ia ambil. Secara spontan, pemuda itu mendelikkan matanya, berusaha menggali pikiran sang lawan bicara. Haejoon berusaha untuk memecahkan, permainan apa yang sedang dimainkan sang presdir saat ini. "Jadi," pria itu menarik nafasnya dalam,

"Apa pilihanmu, Seo Haejoon-ssi?"

* To Be Continued *
     
 
what is notes.io
 

Notes.io is a web-based application for taking notes. You can take your notes and share with others people. If you like taking long notes, notes.io is designed for you. To date, over 8,000,000,000 notes created and continuing...

With notes.io;

  • * You can take a note from anywhere and any device with internet connection.
  • * You can share the notes in social platforms (YouTube, Facebook, Twitter, instagram etc.).
  • * You can quickly share your contents without website, blog and e-mail.
  • * You don't need to create any Account to share a note. As you wish you can use quick, easy and best shortened notes with sms, websites, e-mail, or messaging services (WhatsApp, iMessage, Telegram, Signal).
  • * Notes.io has fabulous infrastructure design for a short link and allows you to share the note as an easy and understandable link.

Fast: Notes.io is built for speed and performance. You can take a notes quickly and browse your archive.

Easy: Notes.io doesn’t require installation. Just write and share note!

Short: Notes.io’s url just 8 character. You’ll get shorten link of your note when you want to share. (Ex: notes.io/q )

Free: Notes.io works for 12 years and has been free since the day it was started.


You immediately create your first note and start sharing with the ones you wish. If you want to contact us, you can use the following communication channels;


Email: [email protected]

Twitter: http://twitter.com/notesio

Instagram: http://instagram.com/notes.io

Facebook: http://facebook.com/notesio



Regards;
Notes.io Team

     
 
Shortened Note Link
 
 
Looding Image
 
     
 
Long File
 
 

For written notes was greater than 18KB Unable to shorten.

To be smaller than 18KB, please organize your notes, or sign in.