Notes

Ini kuterangin sekilas, karena naturalistic fallacy erat kaitannya dengan Hume's Law yang muncul terlebih dahulu.
Jadi, David Hume ini mencetuskan sesuatu yang disebut sebagai 'Hume's Law', yang membahas permasalahan 'adalah-seharusnya'. Permasalahan adalah-seharusnya menekankan bahwa ada perbedaan besar antara 'adalah' dan 'seharusnya', sehingga 'adalah' tidak dapat mendefinisikan 'seharusnya'. Nah, mengenai 'adalah' ini merupakan hal yang erat kaitannya dengan sains. Kita mengetahui bahwa sains selalu berpusat pada sesuatu yang sesuai dengan kenyataan dan dapat didefinisikan secara absolut melalui berbagai eksperimen. Tetapi, sesuatu yang bersifat 'seharusnya' merupakan hal yang bersifat normatif/evaluatif. Hume menyatakan bahwa mengimplikasikan 'seharusnya' dari 'adalah' yang merupakan fakta/ketetapan adalah invalid, karena mau sebanyak apapun sebuah fakta dideskripsikan, tidak bisa memaksakan sesuatu yang bersifat 'seharusnya'. Jadi, tidak bisa memaksa 'harus begini karena begini'.
Contohnya, kalimat ini, 'Rumputnya sudah tumbuh tinggi', ini merupakan fakta. Nah, selanjutnya, 'sehingga, rumputnya harus dipotong'. Tentu saja tidak bisa disimpulkan seperti itu. Tentunya kita berpikir terlebih dahulu apa untung-dan-ruginya jika rumputnya dipotong. Bisa jadi rumputnya dipotong karena diketahui ada sarang ular; bisa jadi tidak dipotong karena (misalnya) akan dimakan oleh kambing yang lewat.

Menyambung dari Hume’s Law, apabila konsep moral didefinisikan dengan konsep natural, itu adalah naturalistic fallacy. Moore memberikan contoh seperti pada warna ‘kuning’. Ilmuwan dapat menjelaskan secara rinci ‘kuning’ itu apa--secara alami, kuning adalah warna yang didapat pada kira-kira 600 nm(lambda) gelombang cahaya. Tetapi, dengan definisi ini saja, kita tidak akan mengerti kuning itu seperti apa, ‘kan? Kita harus melihat contoh warna ‘kuning’, baru kita mengetahui kuning itu seperti apa.
Contoh lagi. Misalnya, sebuah cincin terbuat dari emas asli. Apakah cincin itu berharga? (tanyakan pada audiens) Iya, berharga. Bagaimana bisa tahu cincin itu berharga? Karena kita tahu, bahwa emas asli itu ‘berharga’.
Atau diambil dari sisi etika.”Contohnya seperti yang terjadi pada utilitarianisme, yang mendefinisikan bahwa “kebahagiaan terbanyak berasal dari jumlah terbanyak”. Tidak bisa seperti itu. Jika dikaitkan dengan trolley problem, ketika mayoritas akan memilih untuk mengorbankan satu orang demi menyelamatkan lima orang, ini sendiri sudah merupakan sesat pikir. Karena tetap harus dipikirkan juga fakta-fakta yang harus menjadi pertimbangan, misalnya, mengapa mengorbankan satu orang untuk menyelamatkan lima orang ketika faktanya, lima orang tersebut adalah koruptor, sedangkan yang seorang adalah orang religius berbudi luhur?

Moore memperkuat argumennya dengan metode ini: metode ‘open-question argument’. Argumen pertanyaan terbuka membuktikan bahwa suatu ‘goodness’ itu tidak sama dengan properti non-moral yang berupa, misalnya dalam contoh ini, naturalistik (hal yang bersifat pleasure). Karena tentunya ketika dihadapkan pada pertanyaan seperti yang ada pada slide ini, akan membuat kita berpikir. Apakah pleasure itu menyenangkan? Tetapi, apakah pleasure itu baik? Dengan pertimbangan pikiran, tentunya tidak semua hal yang pleasant itu merupakan hal yang baik, bukan begitu? Seperti kecanduan narkoba… kecanduan alkohol… Kita tahu bahwa hal itu pleasant bagi orang yang kecanduan hal-hal tersebut, tetapi hal-hal tersebut tidak lantas menjadi baik karena efek samping yang ditimbulkan.