NotesWhat is notes.io?

Notes brand slogan

Notes - notes.io

Serendipity



Serendipity
(n) finding something good without looking for it.
(n) keberuntungan yang menyenangkan.
(n) kamu.

____

Cerita sederhana tentang Azka dan Maidelara yang dikemas dalam untaian kata.




Story Begin


















1st. Shlimazl


Shlimazl
(n.) someone who is always unlucky.
Aku tahu bahwa aku memang bukan gadis yang bernasib paling baik di dunia ini.
Tapi siapa yang menyangka bahwa hariku akan berubah menjadi seperti, benar-benar buruk? Tidak, aku tidak pernah berpikir begitu barang sedetikpun, barang sedikitpun.
Barangkali memang salahku tidak pernah mempersiapkan untuk kemungkinan terburuk, tapi, oh ayolah, siapa juga yang akan tahu dengan pasti kesialan macam apa yang akan menimpamu, 'kan?
Maksudku, siapa juga yang akan menyangka bahwa, tugas yang kau kerjakan selama tiga hari berturut-turut, yang mana amat memakan waktu dan menyita waktu tidurmu yang berharga, akan mendadak lenyap sesaat setelah dikumpulkan? Sensasi yang kau dapatkan akan amat beragam; mulai dari sedih, bingung, kecewa, kesal, marah, dan sebagainya. Paket lengkap, memang.
Sekalipun kau menyangkanya; atau setidaknya sempat terbersit dalam pikiranmu kemungkinan terburuk itu; sanggupkah kau menyiapkan antisipasinya? Kurasa, jawabannya adalah tidak.
Lihat, aku hanya bisa tertunduk lesu seolah tak bernyawa.
Benar saja, nyawaku seolah terserot habis oleh kalimat yang terlontar dari mulut guru biologi; Bu Ratih, sejurus dengan ucapan "Lho, tugasmu tidak ada di meja saya, kok?" meluncur dari bibir sang pengajar.
Ruangan ini lengang, terisi oleh dua orang, dan dengan meja-meja dan kursi yang ditata saling pandang. Meski begitu, perbedaan keadaan memang kentara sekali di antara dua orang yang berada disini.
Aku; si gadis berkucir ekor kuda yang tengah tertunduk dan meremas tanganku sendiri sampai buku-buku jariku memutih; dan wanita paruh baya berkonde yang tengah memandangku dengan dagu terangkat, ekspresinya menunjukkan keangkuhan dan sekilas ketidakpedulian.
Ruangan itu adalah ruang kesiswaan; karena memang, guru biologiku juga sekaligus menjabat sebagai waka kesiswaan.
"Lalu saya harus apa, Bu?" akhirnya aku bersuara, meski suaraku separau gagak di musim hujan.
"Ya saya tidak tahu dan tidak mau tahu, itu tugasmu, tanggung jawabmu." Sahut si Wanita dengan suara yang tajam dan menusuk.
Jika diibaratkan, suaraku adalah gelas kaca yang rapuh, dan suara si wanita adalah godam besar yang memecahkan gelas kaca tersebut sepersekon detik saja.
Aku menundukkan kepala makin dalam, meremas jemariku makin kencang.
Kemudian diam, keheningan menggerayangi ruangan itu dan menyita semua kata-kata yang akan kulontarkan. Rasanya begitu menyesakan, karena semua kata-kata itu sudah berada di ujung lidahmu tetapi kau memutuskan untuk tidak mengatakannya karena keheningan sudah terlanjur menyegel bibirmu.
Akhirnya aku berdiri.
"Permisi," hanya itu yang terucap. Lalu aku pergi.
***
"Oh, tidak,"
Satu lagi hal yang memperburuk hari seorang Parameswara Maidelara Abisakta.
Saat aku pergi ke ruang kesiswaan tadi, rupa-rupanya bel pulang sekolah sudah berbunyi. Dan sial beribu sial, ruang kelasku sekarang digunakan untuk rapat ekstrakurikuler band; yang mana menurutku, berisi orang-orang dengan aura mengintimidasi semua.
Apa yang membuat ini sial? Tentu saja, karena ranselku masih berada di dalam ruang kelas. Tapi, sekali lagi, tentu saja aku tidak punya cukup keberanian untuk mengambilnya.
Aku hanya berdiri disana, di depan jendela kelas, berdiri dengan tidak yakin. Benakku tengah berperang, akankah aku harus permisi sebentar dan mengambil ransel atau menunggu saja sampai ekstrakurikuler ini selesai―dengan asumsi akan selesai sebentar lagi.
Aku memang penuh ketidakyakinan; bahkan aku saja tidak yakin apakah aku harus tetap berdiri atau duduk di bangku panjang depan kelas saat ini.
"Madel?"
Tidak disangka-sangka, akan ada suara memanggil namaku dari dalam ruangan, membuat figur mungilku yang berdiri di sebelah jendela besar bergaya kuno ini tersentak.
Dengan penuh tanya―Aku tidak pernah menyangka akan ada orang yang mengenalku di ekskul band―Aku menatap daun pintu dengan penuh pertanyaan sekaligus rasa takjub, dan sedikit menyesali hal itu sekarang. Karena, tentu saja, aku terlihat seperti orang bodoh.
Tidak disangka, aku bakal melihat salah satu seniorku di ekstrakurikuler seni lukis yang kuikuti, sedang melambai-lambaikan tangannya. Nazam Akbar Bayhaqi namanya, seniorku yang notabene adalah kakak sepupuku.
"Lho― Bang Nazam? Kenapa ada disini?" Tanyaku saat pemuda yang dimaksud sudah berada di hadapan. Pemuda yang kupanggil dengan sebutan 'Nazam' itu bertubuh tinggi besar, dan berambut cepak yang tajam-tajam.
"Aku 'kan emang ikut ekskul band," Bang Nazam memutar bola matanya dengan malas. "Masa' nggak ingat kalau aku ini seorang gitaris?" sambungnya seraya mengulas cengiran lebar.
"Oh, iya, aku lupa." Sahutku seraya tertawa terpaksa. Padahal sebenarnya, aku sama sekali baru tahu bahwa Bang Nazam mengikuti ekstrakurikuler band, dan aku juga baru mengetahui fakta bahwa Bang Nazam adalah seorang gitaris. Dan bahkan, bahwa Bang Nazam bisa bermain gitar, aku juga baru mengetahuinya. Padahal kami cukup akrab.
"Jadi―ada perlu apa kamu kesini?" tanya Bang Nazam, sekilas melirik ke dalam kelas yang sekarang tampak agak bertensi karena adu argumen antara dua orang laki-laki di depan kelas, sedangkan yang lainnya sibuk berdiskusi juga, seperti saling berdebat sisi manakah yang benar.
"Ini, 'kan, kelasku, Bang. Aku ketinggalan tas." Sahutku, sedikit banyak berharap juga bahwa Bang Nazam akan berbaik hati mengambilkan tasku. Pemuda tinggi besar itu mengangkat kedua alisnya dan kembali melirik ke dalam kelas, kini tampak seorang pemuda tinggi kurus yang tengah melerai perdebatan panas antara dua pemuda ekskul band tadi; kamu.
Namun, baru saja Bang Nazam akan membuka mulut, sebuah suara khas remaja laki-laki yang agak serak memanggilnya. "Oi, Zam!"
Bang Nazam menoleh, dan begitu pula aku. Mendekatlah tiga orang yang tadi tengah berada di depan kelas; dua orang yang tadi berdebat dan juga dirimu yang melerai.
Aku memang sering melihat wajah mereka-mereka itu, namun aku tidak mengetahui nama mereka karena, ya, aku bukan tipe adik kelas yang akan tergila-gila pada kakak kelas keren yang digandrungi kaum hawa satu angkatan.
Tapi berbeda denganmu, saat itu adalah kali pertama aku melihatmu. Pertama kali aku melihat sosok jangkungmu.
Dua orang yang berdebat tadi―salah satunya memiliki tinggi sekitar 160 cm dan berkacamata, sedangkan yang lain cukup tinggi, sekitar 170 cm dengan rambut ikal. Dan mataku bertemu pandang denganmu, cowok bermata sipit namun tidak berwajah oriental.
Dua pemuda lain yang tadi berdebat berbincang dengan Bang Nazam, sementara itu mata kita berdua terkunci, tanpa sadar bahwa selempar pandang sederhana itu akan mengarahkan kita kepada sesuatu; sesuatu yang lebih besar dan lebih rumit. Lebih indah namun juga lebih pelik.

***
"Makasih, Bang." Ucapku pelan saat Bang Nazam menjulurkan tas ransel berwarna oranye yang sudah kupakai sejak kelas delapan SMP. Bang Nazam hanya menyunggingkan cengiran lebar dan sebuah anggukan sebagai sahutan. Ia kemudian melambai dan kembali masuk ke ruang kelasku yang sedang digunakan ekstrakurikuler band untuk rapat. Mataku mengikuti Bang Nazam saat cowok tambun itu melangkah masuk ke dalam kelasku, dan sekali lagi mataku bertemu pandang dengan mata hitam indahmu.
Salah tingkah dan merasa sudah tidak ada urusan lagi, aku mengalihkan pandangan dan segera berbalik untuk pulang, sambil sedikit-sedikit memikirkan tentangmu. Saat itu, aku tidak tahu siapa dirimu, tapi kamu menarik perhatianku.
***
Setengah jam itu tidak sebentar.
Terlebih, bagi seseorang yang mempunyai sesuatu untuk dituntaskan seperti aku. Ingat, 'kan, bahwa tugasku menghilang secara misterius dari meja Bu Ratih? Tentu saja aku harus mengerjakannya lagi. Karena aku tidak mau nilaiku kosong.
Dan, bagiku, menunggu bus selama setengah jam itu sangaaaaaat membuang waktu.
"30 menit tuh bisa buat jawab lebih dari 5 soal," batinku sambil menggigit bibir bawah dan memandang arloji yang melingkar di pergelangan tangan kurusku dengan gelisah.
Kakiku berdentum-dentum melantunkan melodi monoton bertempo cepat, sedang mataku lalu lalang dengan was-was dan penuh harap, mengharap setidaknya ada satu angkutan umum apa saja yang tertangkap netra. Tapi nihil.
Namun saat itu agaknya kegiatan menunggu bus itu tidak buruk-buruk amat, karena walaupun netraku belum menangkap satu bus-pun lewat, mataku menangkap sosokmu. Berjarak sekitar 20 meter dariku, aku menyadari postur jangkung kurus tersebut sebagai tubuhmu meski tadi adalah pertama kali aku melihatmu. Jangan salahkan aku, engkau begitu menarik perhatianku.
Figurmu makin mendekat; tapi sepertinya kau tak sadar. Aku mencuri-curi pandang, namun tetap memastikan kau tak memperhatikan. Aku ingin tahu namamu, tapi aku tidak memiliki secuilpun keberanian untuk itu. Aku ini gadis yang tidak beruntung; dan ini adalah hari paling tidak beruntung yang pernah kualami di hidup tidak beruntungku, aku takut kamu akan menolakku ketika aku berani menanyakan walau hanya sekedar namamu.
Tiga meter. Hanya berjarak selemparan batu. Aku tidak merasakan debaran apapun, kurasa aku belum menyukaimu saat itu. Tapi aku tidak bisa berhenti mencuri pandang ke arahmu yang tengah melawat lamat-lamat ponsel dalam genggamanmu, lengkap dengan earphone tersumpal di kedua lubang telingamu.
Aku bersyukur kamu tidak memperhatikan, karena aku bisa leluasa mencuri pandang kearahmu. Sempat terbersit untuk mengintip ke name-tag mu yang tentunya tertera namamu, namun sayang kau mengenakan jaket abu-abu-hitam yang juga kau kenakan siang tadi.
Aku sempat mengarahkan netra pada arlojiku sekali lagi dan jarum jam sudah condong ke angka enam, yang mana membuat otakku mencari-cari alternatif lain untuk dapat mencapai rumah karena kurasa bus sudah tidak lewat daerah ini. Benar-benar hari tidak beruntung yang menimpa gadis tidak beruntung.
Aku berniat mencuri pandang ke arahmu untuk terakhir kali sebelum berbalik dan mencari alternatif lain untuk pulang. Tapi kali ini aku tidak semujur itu, mata kita sempat bertemu sebelum aku memalingkan wajahku yang bersemu.
Aku ingat dengan jelas, saat itu jam lima sore lebih empat puluh lima menit tiga puluh dua detik. Kamu memanggilku, tepat saat aku memalingkan wajah.
"Oh, adik sepupunya Nazam, 'kan?"
Begitulah kamu menyebutku, tapi aku tidak mempermasalahkannya. Aku dengan senang hati menoleh. Dalam hati benar-benar tidak menyangka kamu akan mengingatku. Aku mengulas senyuman malu dan sedikit menganggukan kepalaku. Kamu melepas sebelah earphone-mu dan menjulurkan tanganmu padaku; dengan seulas senyuman juga.
"Kenalin, Azka."
Mungkin sebenarnya, aku tidak setidak-beruntung itu dan hari ini tidaklah sesial itu.
***
Ketika meminta dijemput adalah alternatif terakhir untuk bisa mencapai rumah, aku tidak membantah. Meski aku tahu aku akan dijemput oleh kakak laki-laki super menyebalkanku. Tetapi dia bisa jadi menyenangkan kadang-kadang. Dan meskipun harus menunggu lebih lama lagi di gerbang sekolah, yang penting aku sampai rumah.
Saat ini aku sudah berada di dalam mobil sedan hitam milik kakakku itu, duduk manis di jok samping pengemudi sambil membiarkan pikiranku berjalan-jalan ke beberapa saat yang lalu, saat kamu memberitahu namamu dan aku memberitahu namaku.
Aku jadi khawatir, apakah tadi saat berbicara denganmu suaraku baik-baik saja? Aku tidak bicara dengan intonasi aneh, 'kan? Bagaimana dengan ekspresi wajahku? Tadi wajahku biasa saja, 'kan? Gestur tubuhku? Apakah berlebihan? Apa rambutku tadi berantakan? Apa seragamku rapi tadi? Apakah tadi tali sepatuku sudah terikat dengan benar?
Oh, tidak kusangka akan datang hari dimana aku akan mempermasalahkan hal-hal kecil seperti itu. Tak kusangka, akan datang hari dimana aku merasa seperti remaja putri yang lainnya.
Aku tidak tomboy, aku hanya... terlalu mencintai buku dan seni. Aku tidak punya waktu untuk bersolek ataupun memikirkan cowok-cowok keren sekolah; pikirku dulu. Tapi kurasa aku salah. Bagaimanapun, aku juga perempuan. Dan sekarang aku sadar bahwa kodrat itu tak dapat di lawan.
"Del?"
Akhirnya segala pemikiran-pemikiran yang berkecamuk dalam benakku tertendang jauh-jauh saat suara kakak laki-lakiku menarikku kembali ke kenyataan. Aku menoleh ke arahnya dengan kedua alis terangkat.
"Apa, Bang Aksa?" sahutku. Kakak laki-lakiku yang kerap kupanggil menggunakan embel-embel 'Abang' itu mengangkat kacamata hitamnya lalu menatapku. Ya, dia mengenakan kaca mata hitam saat menjemput adik bungsunya. Sebenarnya aku heran mengapa dia suka sekali bersolek. Bahkan kakak sulungku yang mana adalah wanita dewasa tidak separah dia. Kakak laki-lakiku yang bernama lengkap Adhyaksa Antares Abisakta ini terobsesi sekali dibilang tampan.
Tapi bagaimanapun, bagi saudara-saudaranya, tentu dia tak akan pernah terlihat tampan.
"Udah sampai, Madel. Kamu melamun terus," protes Bang Aksa sambil membuka pintu mobil dan menginjakkan kaki di pekarangan rumahku. Aku malu juga karena kedapatan terlalu asyik memikiran kejadian tadi sampai-sampai tidak menyadari bahwa audi hitam tadi sudah berhenti melaju membelah jalan raya kala senja. Tetapi aku segera menyusul Bang Aksa tanpa membalas ucapannya. Aku masih berusaha meyakinkan diriku bahwa aku terlihat baik-baik saja tadi saat bicara denganmu saat kudengar suara Bang Aksa bergumam tidak jelas yang kemudian mengalihkan perhatianku. Aku mendongak dan menatap punggungnya dari balik undakan tangga, karena aku masih belum berniat memanjat anak-anak tangga itu sedangkan Bang Aksa sudah berada di ambang pintu.
"Apa, Bang? Nggak kedengeran. Ulangi!" seruku karena kurasa gumaman Bang Aksa tadi ditujukan untukku, tetapi aku masih malas mengayunkan tungkai kaki untuk mulai memanjati anak tangga ini satu persatu. Karena, ya, aku selalu membenci anak-anak tangga. Jangan tanya kenapa karena memang tanpa alasan pada dasarnya; hanya sekedar pemikiran skeptis bahwa anak tangga itu melelahkan dan berbahaya. Meski aku tahu anak tangga juga banyak gunanya; sebisa mungkin aku memungkirinya hanya demi kepuasan pribadi belaka. Aku memang aneh.
"Tadi Nazam telepon. Katanya dia nemu tugas biologimu di kelas." Ulang Bang Aksa, setengah berteriak dari ambang pintu. Kulihat sosoknya tengah memegang kenop pintu dengan tidak sabar, masih enggan menggerakkan-nya sebelum ia menyampaikan maksudnya.
Aku mematung.
"Sumpah, Bang!?" pekikku, antara tidak percaya dan amat senang. Namun ada seberkas rasa takut juga karena bagaimanapun Bang Aksa sering sekali menjahiliku dengan memberi harapan-harapan palsu. Namun ketakutan itu menguap saat Bang Aksa mengangguk; meski tidak terlalu jelas kulihat akibat terhalang undakan-undakan tangga semen abu-abu itu, aku yakin dia mengangguk.
"Tadi temannya Nazam yang antar tugasmu kesini. Siapa, ya, namanya tadi? Lupa. Pokoknya mirip sama nama Abang."
Aku terdiam lagi, hati ini berdentum-dentum dan sesuatu yang hangat berdesir. Aku tak dapat memungkirinya dan aku juga tak ingin memungkirinya; kamulah satu-satunya yang terlintas di pikiranku saat itu. Jangan-jangan...
"Azka, Bang?" Aku ragu, meski dalam hati tengah bertumbuh secercah harapan bahwa itu memang kamu.
"Ya, itu." Bang Aksa tidak terdengar ragu, melenggang masuk rumah.
Wajahku bersemu.
Sial.
Mungkin sebenarnya ini adalah hari paling beruntung yang pernah terjadi dalam hidupku. []











2nd. Evanescent


Evanescent

(n) vanishing quickly, lasting a very brief time.


Sungguh, malam itu aku kesulitan tertidur.
Aku bergelung di balik selimut, tidak dapat menahan senyum. Dan aku benar-benar menendang jauh-jauh pemikiranku bahwa hari itu amatlah sial; dan ganti berpikir bahwa hari itu amatlah beruntung.
Di tugasku yang kamu antarkan―aku juga tidak tahu darimana kamu mengetahui alamat rumahku, dari Bang Nazam, sepertinya, kamu meninggalkan pesan kecil di pojoknya menggunakan pensil.
Tulisan tanganmu keriting dan renggang-renggang, kamu memberikan ekor yang panjang di akhir huruf a, kamu membelokkan ekor huruf y. Huruf kapital buatanmu seolah mencuat; seperti saat tanganmu disenggol oleh seseorang saat tengah menulis? Ya, seperti itu. Tulisanmu tidak indah dilihat, tapi aku tak dapat berhenti membacanya.
Pesan itu sederhana, dibubuhi karakter di belakangnya, bertuliskan; ‘Tugas jangan ditinggal-tinggal dong! :D –Zulfikar Adrian Azka’. Ya, kamu memberitahu nama lengkapmu disana. Dan aku tidak dapat berhenti berpikir bahwa itu adalah nama yang indah.

***

Aku sungguh larut kedalam catatan kecil itu hingga tertidur. Aku berharap memimpikan kamu tetapi sayangnya aku tidak ingat mimpiku ketika aku terbangun. Mungkin saja aku memang memimpikanmu karena seharian kemarin hanya kamulah yang benar-benar bertahan di pikiranku sehari semalam; tapi sayang beribu sayang aku tidak ingat.
     
 
what is notes.io
 

Notes.io is a web-based application for taking notes. You can take your notes and share with others people. If you like taking long notes, notes.io is designed for you. To date, over 8,000,000,000 notes created and continuing...

With notes.io;

  • * You can take a note from anywhere and any device with internet connection.
  • * You can share the notes in social platforms (YouTube, Facebook, Twitter, instagram etc.).
  • * You can quickly share your contents without website, blog and e-mail.
  • * You don't need to create any Account to share a note. As you wish you can use quick, easy and best shortened notes with sms, websites, e-mail, or messaging services (WhatsApp, iMessage, Telegram, Signal).
  • * Notes.io has fabulous infrastructure design for a short link and allows you to share the note as an easy and understandable link.

Fast: Notes.io is built for speed and performance. You can take a notes quickly and browse your archive.

Easy: Notes.io doesn’t require installation. Just write and share note!

Short: Notes.io’s url just 8 character. You’ll get shorten link of your note when you want to share. (Ex: notes.io/q )

Free: Notes.io works for 12 years and has been free since the day it was started.


You immediately create your first note and start sharing with the ones you wish. If you want to contact us, you can use the following communication channels;


Email: [email protected]

Twitter: http://twitter.com/notesio

Instagram: http://instagram.com/notes.io

Facebook: http://facebook.com/notesio



Regards;
Notes.io Team

     
 
Shortened Note Link
 
 
Looding Image
 
     
 
Long File
 
 

For written notes was greater than 18KB Unable to shorten.

To be smaller than 18KB, please organize your notes, or sign in.