Notes

cw / murder

Waktu itu, aku masihlah remaja labil yang baru menginjak umur belasan. Bernaung di rumah bobrok, pada komplek yang terbilang sepi penghuni, berdua dengan Ayah. Ibu sudah pergi terlebih dulu ketika aku berumur tiga tahun. Lama waktu kulewati berdua dengan Ayah, berdampingan dengan segala perhatian dan sikap penuh kasih sayang, meski keadaan ekonomi sangat memprihatinkan, tapi aku 'tak peduli karena bagiku terpenting ada Ayah. Itu membuatku sangat bergantung pada Ayah; hanya dia sosok yang kupunya setelah Ibu yang bahkan sudah 'tak kuingat suaranya pergi tanpa pamit. Hidupku harus dengan Ayah dan Ayah harus bersamaku, pemikiran entah darimana yang seenak jidat mendekam dalam benak.

Semua baik-baik saja sampai akhirnya Ayah membawa orang asing dalam kehidupan kami; perempuan dewasa beserta satu anak ingusan. Aku tidak suka, makin 'tak suka ketika melihat Ayah tersenyum penuh kasih sayang pada dua orang asing yang menginterupsi kehidupanku. Tidak benar, tidak boleh. Senyum hangat Ayah hanya boleh ditujukan padaku.
Ayah terasa semakin jauh, fokusnya tidak lagi ada padaku. Dua minggu aku menahan keki, hingga akhirnya mengutarakan apa yang kumau; menjauh dari si perempuan dan anak ingusan. Ayah menolak, aku murka.

Sejatinya aku hanyalah remaja yang baru menapaki umur belasan, emosiku masih menggebu-gebu bahkan 'tak bisa kukontrol. Penolakan yang kuterima seakan menyulut api yang sebelumnya memang sudah menyala; hingga berkobar dengan begitu membara. Aku memaki, aku mencaci. Sumpah serapah diucap tanpa henti. Aku menutup mata, aku menulikan telinga. Aku 'tak ingat dengan pasti, tapi yang kutahu, aku bergerak berdasarkan emosi yang meletup, menjangkau semua yang dapat dijangkau, merusak apa yang bisa dirusak bak orang kesetanan. Sampai tidak sadar bahwa ada orang lain yang tiba-tiba datang dan aku lukai. Aku sadar saat berada dalam pelukan erat Ayah; yang nampak mati-matian menahanku sampai urat pada tangannya timbul menapak kulit. Tangis histeris seorang perempuan membuatku terdiam; memekik telinga, menggema dalam ruangan.
Aku melukai Ayah dan perempuan itu, aku membunuh anaknya.

Perempuan itu melaporkanku ke polisi. Ayah yang masih sayang padaku, memberikan penjelasan pada polisi bahwa aku adalah anak spesial; yang aku awalnya 'tak paham, tapi mengikuti instruksi dari Ayah. Bersikap seperti orang aneh; tertawa dan menangis tanpa sebab, bicara sendiri, tiba-tiba teriak histeris. Aku tidak masuk penjara, aku... masuk tempat rehabilitas? Entahlah. Aku masihlah berlagak sebagai orang aneh sampai akhirnya betulan menjadi aneh karena tahu bahwa Ayah bunuh diri. Ayah 'tak bisa menahan luka yang membekas.

Aku akhirnya kabur dari tempatku dikurung, berkelana bebas ke tempat yang 'tak kuketahui. Aku bahkan membuat luka pada wajahku; agar berbeda. Ayah terluka, aku pun harus terluka karenanya. Hanya saja, luka pada wajahku 'tak buatku mati.

Namun fakta bahwa aku membunuh Ayahku membuat jiwaku mati.