Notes

Siang itu cuaca begitu terik di Jepang. Setelah menyelesaikan pertunjukkan grand piano tingkat internasional-nya beberapa saat yang lalu, Momo dan ibunya langsung menuju ke bandara. Tidak ada waktu untuk bersantai, itu yang ibunya bilang.

Karena cuaca begitu panas dan AC mobil saat itu sedang rusak, dengan terpaksa ibunya membuka kaca jendela mobil mereka. Momo memejamkan matanya, menarik nafas, memasok banyak oksigen ke paru-parunya.

Momo membuka matanya ketika mobil mereka berhenti tepat di depan lampu merah. Manik hitamnya menatap ke arah gerombolan siswi menengah atas -sepertinya- yang sedang menyebrang jalan. Ekspresi mereka terlihat sangat bahagia, saling bercanda dan meledek satu sama lain. Salah seorang siswi menampakkan wajahnya yang memerah, mungkin dia sedang di goda oleh teman-temannya mengenai orang yang disukainya, itu pikir Momo.

Momo sangat iri. Sejak memutuskan menuruti kemauan sang ibu untuk menjadi seorang pianist profesional, Momo tidak pernah berkumpul bersama teman-temannya. Bisa dibilang, ia sama sekali tidak memiliki teman. Hanya beberapa yang seprofesi seperti dirinya yang menyapanya, sekedar berbasa-basi, tidak lebih.

Tiba-tiba, sebuah keinginan muncul dibenaknya.

"Ibu, bolehkan aku besok ke sekolah naik sepeda?" tanyanya sambil memperhatikan wajah ibunya yang kini kembali fokus menyetir.

'Tidak.' kata itu masuk ke indera pendengaran Momo. Hanya satu kata dengan nada halus namun tegas dan mutlak. Seharusnya Momo tahu jawaban yang akan ibunya berikan.

Namun entah setan apa yang merasukinya saat itu, ia merasa emosinya memuncak.

"Kenapa? Kenapa tidak boleh, bu? Apa salahnya kalau aku naik sepeda?" Momo menghujani pertanyaan kepada ibunya dengan nada tinggi.

Momo yakin, ibunya saat itu sangat terkejut dengan sikap anak peremuan yang ia banggakan itu. Bisa dilihat dari ekspresi wajahnya yang menatap Momo saat ini. Perempuan berusia hampir 40an - yang masih terlihat cantik walaupun kerutan di ujung matanya itu sudah terlihat - kembali memfokuskan perhatiannya ke jalan. Kemudian berkata ia takut jika Momo naik sepeda dan jatuh akan melukai tangannya.

"Egois. Ibu selalu egois! Apa ibu sadar

Beberapa menit kemudian, kejadian itu terjadi. Suara klakson mobil box memekkan telinganya. Reflek, Momo mengalikan pandangannya ke asal suara klakson tersebut, tepat disebelah kanannya.

Sebuah mobil box berwarna hitam, melaju dengan cukup cepat ke arah Momo. Ia melebarkan matanya, terkejut. Sedetik kemudian, sensasi seperti terhantam sesuatu yang besar membuat mobil yang dikendarai ibunya itu terbalik ke sisi jalan.

Momo merasakan tubuhnya terguncang akibat hantaman mobil box itu. Mobilnya terbalik beberapa kali sampai akhirnya berhenti dengan sisi atas berada di bawah. Momo merasakan sekujur tubuhnya sakit, kepalanya seperti mau pecah. Ia dapat merasakan darah mengalir ke kepalanya akibat posisinya yang kini terbalik.

Ia alihkan pandangannya ke ibunya yang kini tidak sadarkan diri.

"I-ibu..." bahkan untuk berbicara saja terasa sangat sulit bagi Momo.

Suara riuh dari orang-orang akibat kecelakaan yang baru saja terjadi masih dapat didengar oleh indera pendengarannya, namun sedetik kemudian semuanya menjadi gelap.