Notes

Bandung, 4 Juni 2016

“Lakukan apa yang kamu cintai, dan cintai apa yang kamu lakukan.”

Berangkat dari sebuah prinsip yang jelas diingat dalam pikiran. Memang sudah dasarnya mencintai musik, Okto sampai mendedikasikan sisa umurnya untuk tenggelam di dalam salah satu dunia kesenian itu. Bukan, bukan menjadi seorang musisi. Melainkan pada seseorang yang cukup berpengaruh di balik layar studio rekaman. Petinggi di antara orang-orang yang bisa kapan saja memotong proses rekaman dan meminta sang penyanyi di dalam ruang rekam untuk mengulangi part yang mereka inginkan. Produser Musik.


Pagi ini, tepat pukul 03.00 dini hari waktu Indonesia bagian Barat.

“Kerja bagus, Sef. Cover lagu Pamit tadi pasti bakalan langsung terkenal. Kamu udah kayak penyanyi-penyanyi profesional lho. Levelmu bukan lagi main cover lagu, tapi nyanyiin lagu sendiri.”

“Asyik. Berarti bentar lagi aku bisa debut nih.”

“Bisa debut, tapi latihannya ditingkatkan lagi ya. Kalau emang udah professional, take nggak bakalan sampe jam tiga dini hari gini.”, Okto memotong percakapan antara Sefira dan Adit.

Sefira memutar bola mata, malas. Kalau dihitung kalimat ‘latihannya ditingkatkan lagi ya’ mungkin sudah diucap sampai ratusan kali oleh Okto. Semenjak mereka berdua dipertemukan dengan proyek rekaman. Salah satu kenalannya kala itu, seorang produser film dan meminta bantuan Okto untuk membuatkan lagu sebagai soundtrack film mereka. Dan pengajuan khusus, bahwa sang produser menginginkan suara Sefira lah yang ada dalam film itu.

Memang film tentang apa sih? Dari awal Okto sudah cukup malas mendalami alur cerita film itu. Yang jelas teringat sampai proses produksi tadi hanyalah keputusan sepasang kekasih untuk berpisah setelah melalui jalan cerita yang amat panjang. Ya, selain memang ingin memang mencintai pekerjaan itu, anggap saja Okto memberikan bantuan dan segenap doa agar usaha temannya lancar bahkan bisa sukses.

“Untung yang terakhir bisa mulus suaranya. Tapi udah bagus. Paling enggak, aku masih punya waktu empat jam buat tidur sebelum nanti ikut mengawasi proses mixing sampai mastering.”, tambah Okto.

“Ya ya, untung Mas Okto ganteng. Jadi mau ngomong pedes juga aku masih dengan lapang dada menerima.”, tukas Sefira.
“Hm, makasih udah ngomong aku ganteng. Dan, sekarang Adit udah siap nganterin kamu pulang. Dia udah aman kok, udah jinak, jadi nggak bakal ngapa-ngapain kamu di jalan.”, sambung Okto.

***

Bandung, 4 Juni 2016.

Ridian masih dengan tenang berjalan di tengah keramaian kota. Ratusan orang berhilir mudik baik dengan kendaraan pribadi, angkutan umum, atau bahkan berjalan kaki pada tempatnya masing-masing.

“Psst.”, seseorang terdengar memanggil. Memanggil? Hanya Ridian yang paham. Mungkin orang lain mengira bahwa orang itu hanya sekedar mencoba mendiamkan sesuatu di sekitarnya yang berisik. Namun sebenarnya tidak.

“Psst.”, dua kali.

Ridian tanpa ragu berbelok ke sebuah jalanan sempit. Space sisa himpitan dua bangunan tinggi menjulang ke langit yang memberikan ruang mungkin hanya untuk dua pejalan kaki jika ingin berjalan beriringan. Itu pun kalau memiliki tubuh yang kurus.

“Harganya lima belas juta. Bosmu janji akan transfer ke rekeningku. Harusnya pilih tempat transaksi yang benar, jangan di tempat seperti ini.”, pesan sekaligus kritik langsung diberikan.

“Ya ya, bos memang sudah janji mau langsung transfer sisanya begitu lihat barangnya.”, sahut seorang lain.

“Sinikan uang mukanya. Kemarin bilang sembilan juta.”,

Seorang tadi memberikan sebuah kantong berwarna coklat pada Ridian. Berisikan sebuah cek dengan nominal angka sembilan juta tertulis jelas di lembar tersebut.

“Ingat. Jangan gegabah pakai pistol itu. Bisa-bisa kau yang kena tembak.”, Ridian menepuk dua kali bahu seorang itu sebelum akhirnya berlalu. Menjauhi tempat itu kemudian masuk ke dalam sebuah mobil yang sudah menantinya di ujung jalan sempit itu.