Notes
Notes - notes.io |
BAGINYA mengarang cerita selalu lebih sulit ketimbang menulis berita. Pekerjaannya, hanya tinggal merangkum fakta alih-alih mencipta dunia. Mulai dari tokoh hingga alur cerita, semua sudah ada. Tinggal bagaimana Lee Min pintar-pintar mencari dan merangkainya.
Karenanya, Min memang bukanlah penulis yang baik. Tapi, ia adalah pencerita yang cerdik.
“Kakak, memangnya aku salah?”
Tidak, dik—hati nuraninya berkata. Maka biarkan kakak menceritakan pada dunia, apa yang seharusnya mereka cari—ucap sisi rasionalnya, terbata.
• • •
Di tepi jalan setapak, di bawah naungan malam yang sedari tadi nampak, Min berdiri tak tegak. Punggungnya sedikit membungkuk, bertumpu pada sebelah kaki. Menggenggam erat ponsel, dengan kedua ibu jari bergerak lincah menyusun kata demi kata yang akan menjadi sumber penghasilannya.
Jurnalis satu ini hendak membuat berita dari hasil wawancaranya dengan beberapa orang yang bermukim di Slum Area. Ia ingin mendengarkan suara yang kerap dianggap bisu sehingga nyaris tak pernah dihiraukan oleh mereka yang berada di atas.
Padahal, mereka juga manusia yang butuh perhatian. Bukan hanya belas kasihan.
“Saya ingin ‘mereka’ bisa lebih melihat kami yang hidup di balik bayang-bayang.” Itu, perkataan seorang buruh pabrik yang dikutipnya. Akbar, namanya. Seseorang yang berhati lapang.
Sementara komentar senada, digaungkan oleh pembantu rumah tangga bernama Uswatun Khasanah. Pribadi teladan yang patut dicontoh anak-anaknya, memang. Dia menyatakan, “Kami tak mengharapkan belas kasih. Hanya sa—”
Belum selesai kalimat tersebut diketik, sudah ada tangan besar yang hendak merebut ponsel dalam genggaman. Belum sempat menyadari situasi yang benar-benar terjadi, Min mempertahankan ponselnya—menggenggamnya erat hingga benda pintar ini bertahan dalam kungkungan tangan.
Bersamaan dengan bunyi pasir yang bergesek dan terlepasnya tangan asing, barulah Min menyadari dirinya hampir saja dicopet. Oleh pemuda berpundak sempit yang berlari menjauh.
“Hei! Berhenti kau!”
Pula diikuti oleh Min. Bukan pertanggungjawaban yang ia kejar, melainkan alasan.
Beruntung bagi pemuda berhati lembut ini, petaka untuk pemuda lain yang tak berada jauh di hadapan. Jaraknya dan dia hanya terpisahkan oleh tiga tangan manusia dewasa bila disambung, sedikit lagi sampai jemarinya dapat mencengkram ujung kaos jingga—lusuh dan kumal—agar dapat menghentikan kaki yang tak henti berlari. Meski suara nyaringnya sudah menyeru, bahkan meminta untuk berhenti.
Tak peduli belasan pasang mata yang memandang, Min tetap mengejar. Meski bisa saja ia melabeli lelaki tersebut dengan ‘Maling!’ sehingga—mungkin—pemilik dari mata dan mata itu akan membantunya. Tapi, tidak. Hati kecilnya yang mencegah Min untuk melakukan itu.
Bila rasionalitas dan nurani bersebrangan, Min cenderung untuk menghampiri sisi nurani. Dan sepanjang ia sudah dapat membuat keputusan, hal ini adalah salah satu yang tak pernah ia sesali.
“Kumohon, berhenti!” teriakan putus asa kembali lolos dari tenggorokannya. Tersapu debu, terbawa angin. Melayang begitu saja tanpa pernah sampai pada telinga yang dituju.
Setidaknya, hingga kaki sang-pelari-namun-bukan-atlit, terjegal oleh teriakkan lain yang berbunyi, “Kakak!”
Sembilan puluh sembilan persen, Min yakin pemuda-yang-hampir-mengambil-ponselnya tersebut menghela napas sebelum benar-benar membalik badan. Sementara satu persennya lagi ada, karena ia tahu akan kalimat “tiada yang sempurna di dunia”.
“Mau menangkapku?” — “Itu adikmu?”
“Iya.” — “Tidak.”
Dua kali diutarakan dengan selang waktu yang berbeda. Meski satu dengan penuh percaya diri, dan satunya lagi diselangi dengan tarikan napas kelelahan.
Satu menantang, satu heran.
Dan satunya lagi, polos memandang ketegangan yang terpercik dari dua pasang oniks yang bertemu.
“Kakak…” Si Kecil lugu, berjalan mendekati dan menarik-narik celana si laki-laki. Mendongak, dan menggembungkan pipi kurusnya yang entah mengapa terlihat lucu. Meski dalam sepintas pun terlihat, gizi sudah terlalu lama absen dalam tubuh anak yang tingginya tak sampai pinggang ini. “Aku lapar…”
Berjongkok—mensejajarkan diri agar mata dan tingginya sama dengan entitas yang lebih kecil, pemuda itu mengusap kepala sang adik dengan penuh kasih. Tergambar lewat gerakan tangan, dan terbersit dalam dua pasang mata yang memandang.
Meski ketika menoleh pada Min—yang hanya bisa diam mematung—pandangan itu berubah menyala.
“Mau kuceritakan sesuatu, kak?”
• • •
MUNGKIN cerita tentang siswa SMA penyandang nomor satu—dalam bidang akademik—dua tahun berturut-turut di sekolahnya, yang beralih profesi menjadi Robin Hood ini takkan banyak dibaca oleh masyarakat yang membeli koran pagi: Royale Newspaper Daily. Selain karena—pasti ditempatkan di sudut kecil—Yusuf tak setampan namanya, juga tindakannya mungkin hanya akan dianggap pembenaran. Meski terhimpit ekonomi, karena kedua orang tua, sang tulang punggung keluarga telah wafat akibat kecelakaan yang merenggut nyawa, tidak akan ada yang membenarkan perilaku mencurinya. Yang demi membiayai hidup, sekaligus menyambung nyawa adiknya yang sekarat akibat astma menggerogoti pernapasan.
Seolah ‘benar’ dan ‘salah’ di dunia ini telah baku dan mutlak.
Tak ada kantor yang mau menerima anak yang sekolah pun terhentikan. Penghasilan dari mencuci piring di rumah makan pun tak menjanjikan. Sanak saudara? Mereka bersikap seolah Yusuf juga adiknya tak pernah ada dan tak dibutuhkan.
Lantas, pilihan apalagi yang dimilikinya?
“Mungkin setelah ini aku akan ditangkap polisi,” ujar Yusuf sembari mendongak menatap langit malam. Bersama adiknya, ia menggerakan jemarinya membentuk garis imajiner dari satu titik cahaya ke cahaya lainnya. Menggambar konstelasi, yang entah apa. “Di muka bumi ini, ada banyak manusia yang penasaran akan kehidupan di luar galaksi bima sakti ini. Apakah di galaksi lain ada makhluk hidup juga? Bentuknya seperti manusia juga atau memang film-film Hollywood tentang alien itu benar adanya?” Min tahu, pertanyaan itu tak perlu dijawab. Setidaknya olehnya. Sehingga ia hanya memotret siluet Yusuf dari samping. “Banyak yang mengeluarkan uang ‘lebih’ demi perjalanan keluar planet. Pasti, setidaknya mereka mencari adanya kehidupan ‘lain’ di luar sana. Tapi… apakah ‘alien’ seperti kami yang hidup di ‘luar planet’ ini tak layak mendapat perhatian?”
“Aku rasa—”
“Kami tidak ‘menarik’, ya?”
Dan Min pun bungkam.
— ////// — ///// —
2. 「Apakah Pembunuh Itu Keluargaku?」
2016년 7월 16일 (토요일)
Biar kuceritakan sesuatu.
Aku berada di sana saat seorang pria dengan pergelangan tangan berlumuran darah dan air mata yang tak berhenti mengalir mendatangi kantor polisi. Membuat suasana riuh mendadak senyap, dengan satu pernyataan yang dilontarkan secara terbata-bata; tak jelas.
“Aku menguburkan pacarku di halaman belakang rumahku, berulang kali aku mencoba bunuh diri tapi aku tidak mampu. Bisakah kalian menghentikan suara-suara yang berteriak itu?!”
Biar kuulangi lagi: padahal, kantor polisi mendadak ‘sepi’. Hanya suara pria tersebut, beserta tarikan napas yang berisik melatarbelakangi.
Oh, dan ‘orang itu’ hanya menggunakan kaos dan celana pendek yang kurasa warna aslinya putih. Namun kentalnya darah menutupi, hingga nyaris seluruhnya menjadi merah.
- - -
Kepada Lee Min di masa depan, jika kau membaca kembali jurnal ini, ingatlah bahwa alasanmu untuk menulis di sini adalah perkataan eomma untuk menumpahkan apa yang kau rasakan dan jangan menyimpannya sendiri. Berhubung kau tak ingin merepotkan orang lain dengan masalahmu, sehingga yang kau pilih adalah diari.
Baiklah, hari ini dimulai dengan rutinitas biasa di tempat yang berbeda. Kau bangun tanpa alarm, jam biologismu rupanya sudah mulai bekerja dan terbiasa.
Enam lewat tiga puluh, kira-kira.
Alih-alih mengikuti rapat redaksi, kau memilih untuk langsung pergi ke kantor polisi. Di sana, officer Iman yang tambun langsung menyapamu. Dengan “Selamat paginya” yang khas.
“Mengharapkan berita kematian lagi?”
Dan kau membalasnya hanya dengan senyum tipis serta tengkuk yang diusap canggung. “Bukannya aku mengharapkan kejadian tragis hadir di kota ini setiap hari,” dalihmu saat itu.
Meski kisah tragis itu mendatangi dengan kedua kakinya sendiri. Menceritakan, dengan mulut seorang aktor sekaligus menyutradarai kisah horror nan pilunya sendiri.
Ini potongan koran berisi berita yang kau buat tentang pria itu:
• • •
「Tragis, Akhir Hidup Gadis Cantik di Tangan Pacar Sendiri」
ROYALE — Putus cinta bagi pasangan yang dilanda asmara akan sangat menyakitkan. Seseorang yang selalu ada tiba-tiba hilang, dan otomatis akan mengubah kebiasaan Anda dengan sang mantan. Memang itu bukan hal yang mudah. Namun, Anda tetap harus ikhlas dan menerima karena itu pilihan yang terbaik dalam hubungan Anda.
Tapi, hal tersebut tidak berlaku bagi seorang pria asal Korea Selatan ini yang melakukan aksi kejam karena sang pacar ingin mengakhiri hubungan mereka.
Pada Jumat (3/7), pria bernama Lee ini tega membunuh Sunny Kim, sang pacar yang sangat dicintainya. Bahkan, pria berusia 24 tahun ini berpura-pura menyamar menjadi Kim selama dua minggu untuk menyembunyikan aksinya tersebut. Lee terlihat selalu membalas pesan singkat dari orang-orang yang mencari keberadaan sang pacar dari ponsel milik Kim.
“Saya tidak habis pikir dia bisa melakukan ini terhadap adik saya. Bahkan dia berkomunikasi dengan saya untuk mengabarkan bahwa kondisi Kim dalam keadaan baik,” ucap kakak Kim yang dimintai keterangan lewat sambungan telefon. “Ini benar-benar mengejutkan, bagaimana bisa seseorang dapat melakukan aksinya dengan cara tersebut,” tambahnya.
Beberapa hari kemudian, Kim pun mendapat tawaran pekerjaan baru. Namun, Lee yang menyamar sebagai Kim menolak tawaran tersebut karena sang bos tidak mengijinkannya keluar dari perusahaan di tempatnya bekerja.
Setelah dua minggu berlalu, Lee akhirnya menyerahkan diri ke polisi Royale. Ia datang dengan tangan terluka yang berlumuran darah. Kepada petugas, ia mengungkapkan, “Aku menguburkan pacarku di halaman belakang rumahku, berulang kali aku mencoba bunuh diri tak mampu,” tungkasnya.
Motif pembunuhan ini diketahui karena Lee geram dengan keputusan sang mantan untuk mengakhiri hubungan mereka, dan mengusir Lee untuk pulang ke Korea Selatan. Tak berpikir panjang, Lee pun tega menghabiskan nyawa perempuan yang dicintainya tersebut. Padahal, mereka memutuskan untuk pindah sama-sama ke Royale City untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Setelah kejadian itu, Lee mengaku kerap mendengar suara-suara dalam kepalanya. Diduga pria ini mengalami gangguan jiwa akibat keadaan ekonomi yang menekan dan masalah lainnya dalam hidup yang tak mampu ia selesaikan.
Dan dari penjelasan Lee, jasad Kim pun ditemukan dalam sebuah koper di bawah tumpukan semen di dekat rumah yang Lee serta kekasihnya beli bersama. (LM)
• • •
Kau ingat, Lee Min di masa depan, saat itu kau melihat sendiri mayat yang sudah membusuk di dalam koper. Juga rumah dari ‘sepasang kekasih’ itu yang sudah tak terurus. Sarang laba-laba di mana-mana, tumpukan sampah yang tak dibuang, pakaian yang berserakan di sana-sini… kotor. Nyaris setiap sudut—setiap jengkal rumah tersebut, tidak terurus.
Rumah itu, sudah ditinggal pemiliknya.
Ada banyak cara untuk memutuskan hubungan, namun menghilangkan nyawa yang terkasih atas nama cinta tak bisa dibenarkan.
Bagimu Min, cinta memang bisa menyakiti. Namun tak sejahat ini.
Juli 2016
Lee Min yang lelah dengan kehidupan.
— ////// — ///// —
3. 「Bad News is Good News」
KETIKA kematian seseorang mendatangkan keberuntungan untukmu, apakah salah bila berbahagia karenanya?
×××
Ricuh.
Heboh.
Sejak pagi, kantor surat kabar harian Royale, disibukkan dengan berita kematian wanita yang merupakan CEO perusahaan besar Starship Group, Maria Lannister. Berbagai komando diteriakan oleh para petinggi, untuk mengirimkan ‘pasukan’ mereka ke lapangan. Menguak informasi setepat dan sedalam mungkin perihal kabar duka ini.
Anehnya, nyaris tak ada satupun wajah dari para pewarta ini yang menyiratkan wajah simpati (apalagi berempati).
“Berita besar, berita besar!” Entah darimana seruan itu berasal.
“Kau, dan kau, pergi ke gedung pemerintahan. Cari apakah ada indikasi kepentingan politik dalam kasus ini, juga cari tahu siapa yang akan menggantikan Maria!”
“Sementara kau, pergi ke kantor polisi! Cari tahu apakah Maria pernah mengirimkan laporan penguntitan atau ancaman!”
“Kau! Pergi ke kediaman Lannister! Lihat bagaimana keadaan di sana, dan cari tahu apa penyebab kematiannya! Segera!”
Begitu perintah diberikan, bagaikan koloni semut yang mendapatkan tugas dari sang ratu, para jurnalis mulai pergi menjalankan bagiannya masing-masing.
...Tapi, perintah untuk mengirimkan karangan bunga ‘Turut Berduka Cita’ malah dilontarkan paling akhir dan nyaris terlupa.
Di dunia seperti inilah, Lee Min hidup.
×××
SEWAKTU usianya empat tahun, ibunya membawa Min pergi ke pasar. Min masih mungil dengan kaki yang lincah dan rambut gondrong berantakan, tangan menggapai meminta gandengan sementara mata jeli mengamat, takut tersesat. Mereka melewati pengemis tua di tepi jalan dan sang ibu memberikan sejumlah uang berikut setengah kantung apel. Min mendapat elusan di kepala dan ibunya itu menatap lembut sembari berjalan pulang.
“Selalu berbagi, Min,” kata ‘eomma’ kala itu. “Dunia ini bukan hanya milikmu, jadi kamu harus berbagi.”
Kala berikutnya ia bertemu pengemis di pasar, berganti bukan eomma yang memberi, melainkan Min. Anak laki-laki itu, dulu, menyisihkan uang sakunya. Begitu seterusnya, dan seterusnya…
「Dunia ini terlalu luas untuknya sendirian, jadi dia harus bergeser dan memberi tempat.」
…Sampai akhirnya, pengemis itu tak pernah ada lagi. Meninggal, menurut seorang pedagang cabai.
Kala itu, ia bahkan menyediakan ruang baginya untuk bersedih atas wafatnya orang yang bahkan sama sekali tak dikenalnya.
Tapi itu dulu, saat dunianya hanya sebatas crayon dan gambar yang pelan-pelan harus diwarnai.
×××
KINI Min berdiri di depan kuning garis polisi yang melintang, serta bersisian dengan aneka warna bunga dari papan tanda berbela sungkawa. Bersama dengan wartawan dari media lain (dengan alat perekam yang ditodongkan ke arah seorang polisi serta perwakilan tim forensik yang berbicara), serta menyatu dengan orang awam yang sekedar ingin memuaskan rasa ingin tahunya, dan mungkin sebagian lain memang benar-benar merasa kehilangan.
Di saat seperti ini, Min teringat dialognya dengan salah seorang teman.
‘Apa menurutmu, hai Jurnalis, itu sebuah kemajuan untuk dunia ini?’
Ah, bukan waktunya untuk memikirkan keburukan orang yang telah tiada.
“Penyebab kematian akibat tembakan yang menembus pelipis dan peluru bersarang di kepala, korban tewas di tempat.” Merupakan salah seorang polisi berseragam yang berbicara, bukan suara-suara dalam benak Min. “Perkiraan kematian sekitar pukul dua belas tengah malam. Hanya ada sidik jari korban yang ditemukan di pistol.”
“Jadi, apakah korban tewas bunuh diri?” tanya Min dengan lantang, berusaha menyaingi riuhnya pertanyaan yang dilontarkan nyaris sama dengan yang lain, dan bersamaan. Juga jangan lupakan berisiknya kamera DSLR bila tengah mengambil gambar.
“Untuk itu, kami masih akan melakukan penyelidikan lebih lanjut.”
Semakin lama… suara-suara di sekitarnya makin terdengar sayup dan akhirnya menghilang. Ketika Min melihat ke balik bahu polisi yang berbicara, menatap pintu rumah yang terbuka—ditinggalkan oleh pemiliknya.
Sepi. Kosong.
Nasibmu begitu malang, pikir Min.
Rumah ini seharusnya hangat.
Sementara di sudut lain, netranya mengangkap seorang anak perempuan berpakaian lusuh yang menangis tersedu-sedu menatap rumah di blok Sakura nomor 522 ini—membawa perasaan yang menyengat.
Seseorang yang pernah dicintai, terlepas dari kekurangan yang dimilikinya. Perusahaan yang dipegang oleh Maria boleh jadi membawa dampak buruk untuk lingkungan, tapi, siapa yang tahu kalau sebenarnya Maria adalah seorang dermawan?
Di usia yang terbilang muda (hei, bahkan lebih muda dari Min!), Maria Lannister begitu cepat meninggalkan dunia. Walaupun memang, manusia tidak ada yang tahu pasti perihal usia.
Mendongak… bahkan langit pun, kini turut bersedih menyaksikan putri Hawa yang kembali bersatu dengan bumi.
×××
“Seperti alunan detak jantungku, tak bertahan melawan waktu. Dan semua keindahan yang memudar, atau cinta yang 'tlah hilang.”
—Tak Ada Yang Abadi, Peter Pan.
|
Notes.io is a web-based application for taking notes. You can take your notes and share with others people. If you like taking long notes, notes.io is designed for you. To date, over 8,000,000,000 notes created and continuing...
With notes.io;
- * You can take a note from anywhere and any device with internet connection.
- * You can share the notes in social platforms (YouTube, Facebook, Twitter, instagram etc.).
- * You can quickly share your contents without website, blog and e-mail.
- * You don't need to create any Account to share a note. As you wish you can use quick, easy and best shortened notes with sms, websites, e-mail, or messaging services (WhatsApp, iMessage, Telegram, Signal).
- * Notes.io has fabulous infrastructure design for a short link and allows you to share the note as an easy and understandable link.
Fast: Notes.io is built for speed and performance. You can take a notes quickly and browse your archive.
Easy: Notes.io doesn’t require installation. Just write and share note!
Short: Notes.io’s url just 8 character. You’ll get shorten link of your note when you want to share. (Ex: notes.io/q )
Free: Notes.io works for 12 years and has been free since the day it was started.
You immediately create your first note and start sharing with the ones you wish. If you want to contact us, you can use the following communication channels;
Email: [email protected]
Twitter: http://twitter.com/notesio
Instagram: http://instagram.com/notes.io
Facebook: http://facebook.com/notesio
Regards;
Notes.io Team