NotesWhat is notes.io?

Notes brand slogan

Notes - notes.io

.
Kehidupan itu sejak mulanya tidak mengenal kata mudah. Seakan-akan ada hal di dalamnya yang selalu berhasil menyapu kata benda bernama kelegaan, kebahagiaan, kenikmatan. Semuanya bersifat fana. Temporer. Di balik kelegaan akan ada kecemasan. Di balik kebahagiaan akan ada kehancuran. Di balik kenikmatan ada limitasi yang menuntut untuk dipenuhi. Sesuatu tidak berjalan begitu saja. Ada yang namanya sebab akibat, dan hukum itu berlaku mutlak dalam kehidupan.
Persona. Insan yang lemah akan perasaan, mendambakan afeksi, egois terhadap animonya masing-masing. Lemah. Manusia itu lemah jika sisi kemanusiaannya digores. Figur tegap nan kekar berarti omong kosong. Raut wajah tak berekspresi, dingin, kaku. Seberinda dapat terubah sekali lalu.
Manusia memiliki hati. Tersembunyi. Namun berfungsi maksimal dalam hal mencintai.
Mengutip titik lidah seorang penyair kenamaan Amerika, Robert Frost, “In three words, I can sum up everything I’ve learned about life. It goes on.”
Benar. Harus diakui, itu kutipan yang menyegarkan, membuka pikiran. Hidup terus melangkah maju apa pun yang terjadi. Hal yang sama berlaku pada waktu, sesuatu yang tak kenal ampun dan meninggalkan semua hal di belakang langkahnya.
Time is a grace. It does leave trace.
Waktu yang kau miliki, sesingkat apa pun itu, biarpun sekejap adalah anugerah yang layak disyukuri. Kemarin adalah kepingan memori yang berarti, memberimu pelajaran untuk hari yang akan datang. Hari ini adalah momen di mana kau menghadapi segala sesuatu dengan segenap yang kau miliki. Berjuanglah selagi hari ini belum berganti menjadi kemarin. Besok adalah hari di mana kau menuai buah dari yang kau tanam hari ini. Kau bisa mengubah hari esok dengan memanfaatkan apa yang kau peroleh kemarin dan yang kau lakukan hari ini. Sayangnya, hari esok belum tentu menyapa fajarmu.
Karena hari esok belum tentu datang, yang kau punyai sekarang hanyalah hari ini dan kemarin. Yang satu sedang kau jalani, yang satu sudah kau lalui. Itu saja. Tak lebih. Kau hanya harus memanfaatkannya sebaik mungkin sebelum terlambat. Sebelum kau menyesal.
Terlambat dan menyesal. Dua kata yang paling dihindari oleh kebanyakan individu. Siapa yang ingin terlambat? Siapa yang ini berdiri di belakang garis impian? Menyesal. Siapa yang ingin meratapi angan-angannya yang hancur lebur di depan netranya sendiri? Angan-angan yang selama mungkin diupayakan mengangkasa setinggi kartika yang berpendar, lalu dalam satu kedipan mata jatuh terhempas seperti burung yang mati di angkasa, menghantam tanah retak di bawahnya. Tak ada. Bukan kau. Bukan aku.

Bukan aku, Akeru. Percayalah.

Namun itulah kebenaran. Realita yang mengecewakan. Menyesakkan. Membuat hati perih bak mencelupkan daging tak berkulit ke dalam cairan asam. Eminem berkata dalam suatu ucapannya: kebenarannya adalah kau tidak tahu apa yang akan terjadi hari esok. Hidup adalah perjalanan yang luar biasa dan tidak ada yang bisa dijamin.
Ya, misalnya saja saat ini.
Tanpa aba-aba, sampailah individu bermarga Huang itu berpijak pada hari terakhirnya di Seoul, Korea Selatan. Sebuah negeri indah yang mengandalkan Negeri Ginseng sebagai titel lainnya. Tempat yang cakrawala biru dan hitamnya sudah menjadi naungannya selama beberapa bulan terakhir. Tempat yang menjadi rumahnya, yang orang-orangnya menjadi nomina bernama keluarga dengan adjektiva bermakna.
Tempat yang sudah menjadi tambatan hatinya berada. Lalu ia harus menuturkan sederet kata bermakna perpisahan, perjumpaan untuk kali terakhir: selamat tinggal. Lagi-lagi, perpisahan. Perpisahan. Satu kata berjuta perasaan saat nomina itu tersebutkan. Perpisahan berarti menutup lembaran lama, membuka lembaran selanjutnya. Menulis di halaman baru, kosong, melepas halaman yang sudah lalu.
Buku yang sama, halaman yang berbeda.
Penulis yang sama, kisah yang berbeda.
Rasanya begitu berat. Oh, kapan perpisahan menjadi sesuatu yang mudah? Hati menjerit tak rela, namun logika berkata inilah saatnya. Siapa yang tahu tanggal di mana kau ditakdirkan untuk pergi? Seolah-olah ada kalender tersembunyi, berisi takdir yang harus kau sanggupi.
Adakah yang lebih baik daripada sebuah perpisahan? Banyak. Banyak sekali. Namun, adakah opsi untuk memilih yang banyak sekali itu? Tidak. Maka dipilihnya satu jalan yang tersisa untuknya tatkala cabang lain tak sedia.
Pergi. Seperti semilir angin musim semi yang akan segera bersilih. Tergantikan oleh musim di mana mentari akan memanaskan Bumi dan mengusir hawa dingin yang berbulan-bulan menyelimuti atmosfer.
Tergantikan.
Ain kembar berlatar belakang langit malam itu terpaku lurus ke ubin putih di bawah tumpuan kakinya. Padahal, di depannya sebuah benda berbentuk persegi panjang berwarna hitam dengan empat buah roda sedang menganga memerlihatkan setumpuk sandang yang didominasi warna gelap. Sabuk. Buku-buku bersampul. Kemeja. Jas. Semuanya dapat diabsen dan dipastikan sudah terlipat rapi.
Ia berada di dalam kamarnya. Di dalam TH. 006. Rumahnya, istananya. Sederhana namun bermakna.
Belum setahun ia menempatinya setiap ruangan di dalamnya. Bahkan belum terhitung setengah dari dua belas bulan yang ia miliki. Ada begitu banyak kenangan di dalam sana. Aroma tubuhnya sudah melekat di mana-mana. Kamar tidurnya. Kasur yang ia tempati. Lemari di mana ia menyimpan pakaiannya. Tangga yang menjadi kakinya berpijak. Ruang duduk tempatnya ia melepas penat seusai bekerja. Kamar mandi, tempatnya memulai kesibukan di pagi hari. Beranda, tempatnya menyapa surya keemasan yang terbangun di lengkung langit sebelah timur.
Rumahnya juga berbau rokok. Rokok khusus yang selalu ia hisap dulu, sebelum kini telah diusahakan untuk berhenti. Namun aroma harum dari benda mematikan itu belum seutuhnya memudar.
Dalam beberapa detik, semua akan menjadi kenangan. Besok tempat itu dan segala isinya akan menjadi kemarin.
Pikirannya tak berada di sana. Jauh, tenggelam di dalam dunia bawah sadarnya, sibuk berkutat dengan apakah ini salah, atau apakah ini benar. Apakah ini yang terbaik? Ataukah ia sedang menghancurkan masa depannya?
Bukan itu saja. Bukan itu saja yang akan segera menjadi kenangan. Bukan hanya saksi bisu berupa tumpukan bata yang menjadi dinding pelindungnya itu.

Tapi juga seseorang di belakangnya. Di balik punggungnya.
Persona terindah yang pernah ia temukan dalam hidupnya.
Persona yang terlahir ke dunia dengan sepasang intan dalam relung matanya.
Persona yang menerima karunia sebuah senyuman paling menenangkan pada romannya.
Hiki Akeru nama yang ia sandang.

Seorang Zhenho telah hidup selama hampir dua puluh sembilan tahun. Bukan angka yang kecil dan tak berarti. Ratusan orang ia jumpai. Mungkin juga lebih. Sebuah angka yang lebih besar daripada umurnya, namun tak lebih besar dari jumlah hari yang sudah menjadi jatahnya. Dan apa? Hiki Akerulah yang pertama kali menyapa hatinya setelah sekian lama tertutup, terbungkus dalam selaput keras bernamakan masa lalu. Selaput yang juga menutup matanya dari melihat keindahan dunia. Namun pemuda itu seolah-olah datang untuk dirinya, membuka kembali pintu hati Zhenho tanpa izin dari pemiliknya.
Ia spesial. Ia berbeda. Dalam artian yang menyenangkan.
***
Huang Zhenho menghembuskan napasnya yang tertahan, memijat pelipisnya yang mulai berkedut dan memberi efek menyakitkan pada kedua bola matanya yang sejak awal memang perih. Ia merasa beban pikiran akan lebih menyiksanya daripada jetlag beberapa jam lagi. Ia tak bisa tidur nyenyak selama beberapa hari terakhir, jika seandainya saja terlelap dan terus terbangun setiap sejam sekali dapat dikatakan tidur. Pakaian sudah masuk semua ke dalam kopornya. Buku-buku yang ia bawa, laptop, dan sebagainya. Apalagi yang kurang? Adakah yang tertinggal? Adam bersurai gelap itu memejamkan mata selama beberapa detik, mengupayakan agar otaknya berhenti memikirkan hal-hal menyedihkan. Ia tampak menyedihkan. Dan itu tak boleh berlangsung lama. Ia bukan anak kecil, kan? Ia hanya akan pergi dari Korea lalu pulang ke China, atmosfer yang sudah lebih lama dan lebih dulu ia rasakan. Kampung halamannya.
Seharusnya ia merasa bahagia kembali ke tanah kelahiran. Seharusnya ia merindukan orang-orang di sana, di Guangzhou.

Seharusnya ini menjadi hal yang mudah baginya.
Tapi entah kenapa, hatinya ingin tinggal. Di sini. Bukan di tempat yang lain.
Oh, ia mulai tampak menyedihkan lagi.

Lelaki bertinggi tubuh 184 cm itu mendesah berat, memutar tubuh jangkungnya menghadap seorang pemuda dengan darah Jepang mengalir dalam setiap pembuluh darahnya, yang sedang menatap secarik kertas berwarna putih gading berisi daftar barang. Pemuda itu datang pagi-pagi sekali, berjanji padanya beberapa hari lalu untuk membantunya mengepak barang. Zhenho menatapnya yang sedang duduk dalam diam. Tak satupun kata berhasil keluar dari celah bibirnya meski pada kenyataannya, ada banyak sekali hal yang ingin ia utarakan selagi masih berada di sana tanpa gangguan.
Ingatannya kembali melayang ke hari itu, ketika ia menyampaikan bahwa ia diminta pulang oleh wanita yang melahirkannya ke dunia. Siapa sangka, ia harus menghentikan karirnya juga di tempat ini?
***
Ia tak mampu menatap pemuda itu terlalu lama. Hatinya sakit. Lagi. Entah keberapa kalinya. Meski pun beragam jenis bilah tajam telah menghujam kalbunya. Hanya saja, yang ini seolah terus menikam semakin dalam seiring bergulirnya nomina bernama waktu.
Zhenho mengalihkan manik kembarnya yang kelam. Fokus, batinnya.
Sulit. Dadanya sesak. Sesuatu di dalam meronta ingin keluar. Hasrat untuk menolak semuanya terjadi. Ia kira dirinya akan siap saat hari ini tiba. Ia kira dirinya akan berdiri dengan kedua mata yang sedia menyongsong masa depan, dengan kedua kaki yang berpijak tegak di atas tanah, dengan hati yang sudah rela untuk melepaskan peninggalannya ini.
Kenyataan berbanding terbalik dengan keinginannya. Ia tidak siap. Ia rasa dirinya tidak akan pernah siap. Sekalipun itu satu tahun lagi. Atau dua tahun lagi. Atau bertahun-tahun sesudahnya.

Zhenho yang terbiasa menerima kenyataan kini ingin menolak sekeras mungkin. Kenyataan yang sudah berkali-kali menamparnya tanpa ampun.
Namun setiap kali ia merasa bimbang, tiap kali pikirannya terpecah dan menciptakan cabang yang membingungkan, suara wanita yang ia kasihi seolah berdengung di dalam kepalanya. Seorang hawa dengan rambut coklat kehitaman yang diselingi helaian kelabu sewarna gegana mendung di angkasa. Dengan sepasang biji mata sewarna kayu mahoni. Menyorotkan kehangatan tiada tanding. Sepasang tangan keriput yang dulu mendekapnya tatkala persona berdarah China itu masih seusia jagung, merawatnya hingga tumbuh dewasa seperti sekarang. Jauh di dalam relung hatinya, pemuda itu tahu dan sadar, ia tak bisa melupakan apalagi mengabaikan kasih sayang yang telah ia terima tanpa pemberian imbalan itu.
Hanya sang ibu yang dari dahulu setia mendampinginya di saat apapun, di saat putra kesayangannya menghadapi kesulitan maupun menorehkan keberhasilan dalam riwayat hidupnya. Hanya sang ibu yang bersedia memberi pangkuannya untuk tempat menumpahkan air mata. Hanya sang ibu yang menawarkan bahunya sebagai tempat bersandar.
Hanya sang ibu yang benar-benar marah ketika mengetahui putra kesayangannya membantah.
Tanda peduli dan kasih sayang yang tiada tara.
Kasih sayang yang takkan pernah bisa digantikan oleh mata uang apapun, logam mulia sebesar apapun, bahkan oleh nyawanya sekalipun.
Kasih sayang seorang ibu tidak pernah ada harganya.
Kini, sang ibu yang sudah berusia setengah baya memerlukannya. Tidak muluk-muluk. Hanya kehadiran sang putra tercinta di sisinya. Itu saja. Sesuatu yang seharusnya sangat mudah dilakukan seorang anak sebagai tanda bakti pada wanita yang pertama kali menjadi tujuan cintanya berlabuh.
Dan untuk itu saja, Zhenho merasa berat hati. Seberapa durhakanya ia pada sang ibu? Sangat. Tidak terutarakan dalam adjektiva apapun. Dirinya ingat betul kekecewaan wanita itu di telepon, saat ia mengatakan bahwa ia mencintai rekannya. Ia ingat betul membuat sang ibu menangis. Air matanya yang berharga… tidak seharusnya tumpah dengan cara seperti itu. Dan sekarang wanita itu sedang berjuang melawan penyakit yang perlahan menggerogoti raganya yang mengurus.
Oh, Huang Zhenho. Kau keterlaluan membuat ibumu jadi begini.
Namun ia telah memantapkan hati. Ia takkan menangisi yang ia tinggalkan. Tidak sama sekali. Ia akan menginjakkan kembali kakinya di Guangzhou, memeluk ibunya, menciumnya, kembali menjadi seorang anak yang patuh dan patut dibanggakan. Selagi ia masih punya kesempatan. Selagi bumi dan langit masih berpihak padanya. Sebelum ia tak lagi dapat merasakan kasih sayang ibunya.
Maka lelaki penyandang nama China itu sekali lagi, menatap rekannya yang sedang duduk diam, hampir tak berkutik. Kedua biji mata pemuda Jepang itu terpaku pada kertas yang masih ia pegang di sela jarinya sedari tadi. Zhenho melangkah mendekatinya, meninggalkan benda kota bernama kopor masih dalam keadaan terbuka di atas lantai. Langkahnya terasa ganjil. Ia berjalan dengan keragu-raguan yang tak pernah meninggalkan sanubarinya.
Sang rekan seolah tak menyadari figurnya yang semakin dekat. Ia terus saja melayangkan pandang ke arah deretan kata benda yang berjajar ke bawah, membacanya seolah-olah kertas berukuran kecil itu adalah satu buah novel tebal yang memikat pembaca. Beberapa langkah lagi dan tubuhnya akan berjarak sangat dekat dengan lelaki itu, namun Zhenho menghentikan langkahnya agak jauh. Berharap dirinya tidak akan tampak terlalu emosional--- atau emosional sama sekali, ia berdeham membersihkan tenggorokannya. Semoga suaranya tidak bergetar atau apa.
“Hiki,” panggil lelaki China itu seraya menatapnya lekat. Suara berat Zhenho mengudara lebih lirih daripada yang diharapkan empunya. Sial. Ia mengulanginya sekali lagi, berharap apa yang ia inginkan berhasil terlaksana. Ia hanya ingin suaranya terdengar tegas. “Hiki, apakah sudah semua?” tanyanya langsung. Ah, memang sialan. Rasanya ia tidak bisa menemukan topik lain yang lebih menyenangkan untuk dibahas daripada daftar barang apa saja yang tidak boleh tertinggal. Tidak lucu kalau ia harus kembali ke tempat ini hanya untuk mengambilnya. Jarak antara Seoul dan Guangzhou bukan main-main. Biaya pesawat juga bukan bahan candaan.

Ke mana pembawaan dirinya yang jahil setiap kali berada di dekat sang rekan? Ia ingin dirinya mampu melontarkan candaan-candaan untuk mencairkan suasana yang harus ia akui agak kaku kali itu, juga atmosfer tak menyenangkan berbau perpisahan dan ‘terakhir kali’. Ia merutuki dirinya sendiri di dalam hati.
     
 
what is notes.io
 

Notes.io is a web-based application for taking notes. You can take your notes and share with others people. If you like taking long notes, notes.io is designed for you. To date, over 8,000,000,000 notes created and continuing...

With notes.io;

  • * You can take a note from anywhere and any device with internet connection.
  • * You can share the notes in social platforms (YouTube, Facebook, Twitter, instagram etc.).
  • * You can quickly share your contents without website, blog and e-mail.
  • * You don't need to create any Account to share a note. As you wish you can use quick, easy and best shortened notes with sms, websites, e-mail, or messaging services (WhatsApp, iMessage, Telegram, Signal).
  • * Notes.io has fabulous infrastructure design for a short link and allows you to share the note as an easy and understandable link.

Fast: Notes.io is built for speed and performance. You can take a notes quickly and browse your archive.

Easy: Notes.io doesn’t require installation. Just write and share note!

Short: Notes.io’s url just 8 character. You’ll get shorten link of your note when you want to share. (Ex: notes.io/q )

Free: Notes.io works for 12 years and has been free since the day it was started.


You immediately create your first note and start sharing with the ones you wish. If you want to contact us, you can use the following communication channels;


Email: [email protected]

Twitter: http://twitter.com/notesio

Instagram: http://instagram.com/notes.io

Facebook: http://facebook.com/notesio



Regards;
Notes.io Team

     
 
Shortened Note Link
 
 
Looding Image
 
     
 
Long File
 
 

For written notes was greater than 18KB Unable to shorten.

To be smaller than 18KB, please organize your notes, or sign in.