Notes

@seokjen92 (Kim Seokjin) - Rouerie - 1st

Tiga Peverell Bersaudara

Three Peverell Brothers terdiri dari Antioch (saudara tertua) yang memiliki elder wand, Cadmus (anak kedua) yang memiliki resurrection stone, dan Ignotus (anak bungsu) yang memiliki the Cloak of Invisibility. Tiga Peverell bersaudara banyak dipercayai sebagai inspirasi dari The Tale of Three Brothers, sebuah dongeng yang biasanya diceritakan kepada anak-anak penyihir. Dongeng tersebut dipercayai sebagai dongeng karya Beedle the Bard, yang dipublikasikan sebagai bagian dari karya-karyanya yaitu The Tales of Beedle the Bard. Ketika kebanyakan penyihir melihat dongeng ini sebagai sebuah dongeng yang mengajarkan moral kepada anak-anak seperti kebijaksanaan dan kerendahan hati, beberapa dari antara mereka juga mempercayai bahwa dongeng ini mengacu kepada the Deathly Hallows, tiga artifak magis yang memiliki kekuatan tinggi yang diidamkan oleh penyihir dari berbagai macam generasi.

Kisah ini berbunyi demikian:

Pada zaman dahulu ada tiga saudara, kakak beradik laki-laki, yang berkelana melewati jalan berliku-liku di senja hari. Pada waktunya, ketiga saudara ini telah tiba di sungai yang bagi mereka terasa terlalu dalam untuk diseberangi dengan berjalan kaki dan terlalu bahaya untuk diseberangi dengan berenang. Meskipun demikian, ketiga saudara ini menguasai ilmu sihir, maka mereka tinggal melambaikan tongkat sihir mereka dan sebuah jembatan pun muncul di atas sungai itu. Mereka kemudian menyeberangi jembatan, dan mereka tiba di tengah jembatan ketika perjalanan mereka dihalangi oleh sesosok berkerudung.

Kematian berbicara kepada mereka. Ia marah karena kehilangan tiga korban baru, karena para pengelana biasanya tenggelam di sungai. Tetapi kematian berperilaku licik. Ia berpura-pura memberi selamat kepada ketiga bersaudara ini atas sihir yang mereka lakukan, dan berkata bahwa masing-masing dari mereka berhak mendapatkan hadiah karena telah cukup pintar untuk menghindarinya.

Si sulung, yang suka bertempur, meminta tongkat sihir yang lebih hebat daripada semua tongkat sihir yang ada. Tongkat sihir tersebut harus selalu membuat pemiliknya memenangkan duel, tongkat sihir yang layak diterima penyihir yang telah mengalahkan kematian. Maka, kematian menyeberang ke sebatang pohon elder yang berada di tepi sungai, kemudian membuat tongkat sihir dari dahan yang menggantung disana, dan memberikannya kepada si sulung.

Si tengah, orang yang sombong, memutuskan bahwa ia ingin mempermalukan Kematian lebih jauh lagi. Ia meminta kekuatan untuk memanggil yang lain dari Kematian. Maka, Kematian memungut sebutir batu dari tepi sungai dan memberikannya kepada si tengah, dan memberitahukannya bahwa batu itu akan memiliki kekuatan untuk mengembalikan orang yang sudah mati.

Kemudian Kematian menanyai si Bungsu, apa yang diinginkannya. Si Bungsu adalah seorang yang rendah hati dan paling bijaksana di antara ketiga kakaknya, dan ia tidak mempercayai Kematian. Maka, ia meminta sesuatu yang bisa membuatnya melanjutkan perjalanan dari tempat itu tanpa diikuti oleh Kematian. Dan Kematian, dengan enggan, menyerahkan Jubah Gaibnya kepada si Bungsu. Kematian menyisih dan mengizinkan ketiga kakak-beradik itu melanjutkan perjalanan mereka, sehingga mereka pun melanjutkan perjalanan sambil membicarakan dengan takjub petualangan yang telah mereka alami serta hadiah yang baru saja mereka terima dari Kematian.

Setelah beberapa waktu, ketiga kakak-beradik itu berpisah dan pergi dalam pertualangan mereka masing-masing. Si sulung yang bertempur dalam duel yang selalu dimenangkan, membanggakan tongkat sihir yang didapatkannya dari Kematian. Suatu malam, ketika ia sedang tidur, seorang penyihir yang iri hati mengendap-endap dan menggorok lehernya, lalu mengambil tongkat sihir itu untuk dirinya sendiri. Si Sulung pun jatuh ke tangan Kematian. Si tengah memiliki sebuah rumah dan tinggal di sana sendirian. Ia mengambil batu itu suatu hari dan memutarkannya tiga kali di tangannya. Seorang wanita yang dicintainya, tapi telah meninggal dunia, muncul di sisinya. Wanita itu terpisahkan dari dunia kematian, sedih dan dingin. Si tengah menjadi gila dan membunuh dirinya sendiri untuk menyusul wanita yang dicintainya. Si tengah pun jatuh ke tangan Kematian. Namun, Kematian tidak pernah menemukan Si Bungsu sampai ia melepaskan jubahnya dan memberikannya pada putranya. Kematian pun muncul di sisi Si Bungsu yang menyambutnya sebagai kawan lama dan mereka pun meninggalkan dunia dengan sederajat.