Notes

Dalam balutan seragam sekolah termahal di kotanya, gadis itu melangkah dengan percaya diri melalui koridor sekolahan. Bersekolah di lingkungan yang elit merupakan keuntungan baginya untuk tidak menjadi sorot perhatian tiap orang karena barang-barang bermerk yang ia kenakan. Mulai dari ujung kepala hingga kaki. 

Raut wajahnya datar dan terlihat tenang meski pada kenyataan gadis tersebut akan menghadapi sebuah ujian hari itu. Ujian yang cukup berpengaruh bagi kehidupannya kelak. Ujian beasiswa masuk universitas ternama dan terbaik di kotanya. 

Sujin memasuki kelas. Duduk di bangku terdepan dan tidak seperti gadis-gadis lain di kelasnya. Ia lebih memilih untuk hidup menyendiri—tepatnya karena tidak pandai bergaul. Belum lagi sifatnya yang memang kadang terlihat angkuh. Mungkin menjadi salah satu mengapa teman-teman kelasnya merasa segan dekat dengan Sujin. Pernah suatu saat, seorang teman tidak mengerti akan sebuah materi pada subjek Bahasa Inggris. Sujin menawarkan diri untuk membantu, namun setelahnya gadis itu mengatakan hal-hal yang seharusnya tidak perlu dikatakan. Kata-kata pedas yang mungkin membuat sang teman enggan menerima bantuan dari gadis itu lagi.

Dilahirkan dari keluarga sangat berkecukupan, hidup Sujin dapat dikatakan 'bahagia' dari kacamata orang luar.

Bagaimana tidak?

Pendidikan, pangan, papan, sandang, semua sudah terjamin kedepannya. Tak hanya itu, otaknya pun cemerlang. Dan mungkin hal tersebutlah yang menimbulkan sifat angkuh dalam dirinya. Akibat perpaduan kesempurnaan di bidang materi dan ilmu yang ia miliki. 

Meski begitu, seperti layaknya manusia lain, Sujin yang hidup bergelimang harta, berperawakan sempurna—tidak cacat—dan memiliki otak cemerlang, juga tak luput dari kekurangan. 

Kasih sayang dan perhatian. 

Kesibukan orang tuanya membuat gadis itu kerap kali merasa kesepian jika waktu sekolah usai. Tak ada teman bicara selain benda-benda elektronik yang sesekali mampu mengatasi rasa bosannya hidup dalam kesendirian. Sekalipun berinteraksi dengan teman di sekolah, mereka tidak pernah ingin benar-benar berteman dengan Sujin. Tak jarang yang mendekatinya hanya demi uang. Berulangnya hal itu tentu membuat Sujin terbiasa dan dapat mengetahui niat buruk orang-orang yang hanya mengincar 'keuntungan' berteman dengannya. Bukan karena tulus. Ini pula yang membuat Sujin pada akhirnya lebih memilih menjaga jarak dan tidak mudah berinteraksi lebih jauh dengan orang lain.

Sujin kesepian. Sangat. Bahkan saat ia berada di tempat yang seharusnya membawa kehangatan baginya. Rumah. 

Dengan tenang dan raut wajah datarnya, Sujin menarik keluar buku dari dalam tas yang sudah diletakkan di meja. Membaca isi dari buku tersebut. Ia benar-benar tidak ingin gagal dalam ujian kali ini. Pasalnya, selain akan terjamin masuk universitas yang ia incar, Sujin telah dijanjikan tiket liburan bersama orang tuanya. 

Kesempatan berlibur bersama mereka ... tidak akan mungkin Sujin sia-siakan, bukan?