Notes

>>Seorang siswi yang selengean, pemalas namun pintar memecahkan teka teki, apa yang kau lakukan jika sedang mencurigai sesuatu<<

Plot:

Denting besi beradu besi berbunyi sebanyak 7 kali; menggema ke segala penjuru sekolah seluas 2,5 hektar yang terletak di pusat kota.

Seorang gadis seakan tak mendengarnya. Well, dia memang tidak mendengar; kedua lubang telinganya tersumpal earphone yang menyambung pada ipod kesayangannya. Sementara itu, mulutnya masih sibuk mengunyah permen karet yang sepertinya sudah hambar.

"Hei! (Nama gadis itu) kau niat mati ya? Bel sudah berbunyi tahu!" Suara melengking yang berteriak dibelakangnya tak jua ia gubris.

Dengan kedua tangan di saku jaket, ia terus melangkahkan tungkainya.

'Tap!'

Tepat di depan hidung lelaki paruh baya berkumis lebat, ia menghentikan langkahnya.

"Telat lagi? Mau jadi apa kau?!" Pria itu menghardik sembari menyambar earphone gadis itu. "Cepat masuk sebelum gurumu mendahului!" Bentak lelaki berseragam guru itu.

Yang dibentak tentu saja tidak membuang waktu. Masih dengan langkah santai, ia menuju kelasnya di lantai dua.

'Puih!' Dibuangnya permen karet hambar itu sebelum dirinya mengetuk pintu kelas.

-skip pulang sekolah-

Lonceng tanda berakhirnya pelajaran sudah berbunyi, (nama gadis itu) segera berkemas. Ia tak langsung pulang, seorang pesuruh sekolah memberi pesan untuk menemui guru bp-nya.

Terlihat tak ada secuilpun kepanikan dari air wajahnya. Di bukanya pintu ruang bp yang kemudian menampakkan kumis tebal milik pria setengah baya.

"Duduklah!"

(Nama gadis itu) menurut, dengan wajah menunduk---namun tidak menyiratkan ketakutan. Lelaki itu menaruh earphone milik gadis itu di meja.

"Sepertinya... Ini keluaran lama," suara seraknya memulai pembicaraan. "Mau yang baru? Tapi tak gratis," lanjutnya membuat kepala (nama gadis itu mendongak).

"Kau harus menemaniku selama satu malam... Atau---" lelaki itu menyeringai. "---Foto ini akan tersebar dan pasti akan ku berikan ke kepala sekolah," sebuah foto tanpa busana terpampang di depan wajah gadis itu. Foto dengan mengambil wajah dirinya.

'Sial, bagaimana mungkin editannya serapih itu' pikir (nama gadis itu).

"Baik!" Gadis itu mengangguk sambil menggaruk kakinya. Diam-diam, ia menekan tombol off pada recorder kecil yang terselip di dalan kaus kakinya.

Misteri tentang teman-temannya yang mendapat benda-benda bagus dari yang disita sudah terpecahkan. Kini, ia harus tau siapa yang berani meng-edit fotonya. Karena tentu saja, rekaman yang ia punya tak cukup untuk menjadi bukti.

>>Seorang siswi yang anggun dan pintar namun mudah depresi, bagaimana reaksimu jika sedang dibawah ancaman<<

Plot :

Sepasang tungkai itu melangkah menyusuri koridor. Bermacam suara siulan tak sedikitpun mengalihkan atensinya. Yah, itu sudah menjadi hal biasa untuknya.

"Hei (nama gadis itu) ayo kencan, aku punya tiket gratis 'lho." Terdengar suara berat seorang pemuda berkacamata.

Gadis itu hanya tersenyum tipis dan menjawab; "Tidak, terimakasih banyak. Untuk yang lain saja," katanya. Sepasang netra miliknya menyipit disebabkan oleh senyuman yang ramah.

Kembali ia melanjutkan langkahnya. Ruang kelas ber-cat krem sudah semakin dekat, ruang kelas yang menjadi hari-harinya.

"Pagi cantik!"

"Halo (nama gadis itu)!"

"Hai! Semoga harimu meyenangkan!"

Dan berbagai sapaan mampir di telinganya. (Nama gadis itu) sesekali mengangguk, menampakkan senyum lebar dan membalas sapaan mereka.

"Iya, kau juga ya!"

Ia menjatuhkan badannya di bangku deretan tengah. Sehelai kertas mengalihkan perhatiannya. Bukan, itu bukan kertas; melainkan sebuah...amplop?

Jemari lentiknya bergerak aktif membuka benda dua dimensi itu. Namun sedetik kemudian ia menyesal; sebuah foto tak senonoh terpampang di depan maniknya. Dan setelah beberapa kali menyipitkan mata, baru disadari bahwa wajahnyalah yang tertempel sempurna disana.

"Astaga, apa ini?!" Keterkejutan datang dua kali kala sebuah pesan tertulis di baliknya.

'Ini hanya kopian, aku masih punya banyak dengan pose yang lebih menantang. Jelaskan di ruang bp sepulang sekolah! Jika tidak ingin tersebar.'

Tak ada pengirim, tak ada petunjuk. Namun dua kata 'ruang bp' membuatnya sangat ketakutan. Predikat 'murid teladan yanh tak pernah membuat masalah' akan hancur begitu saja. Tentu saja ia tak mungkin melakukan hal serendah itu, seseorang sedang menjebaknya.

Keringat dingin bercucuran di tangan, pelipis, dan punggungnya.

"(Nama gadis itu) kau kenapa? Ada masalah?" Sebuah suara sukses membuatnya terkesiap. Cepat-cepat disembunyikannya amplop itu di dalam tas sebelum menggeleng dengan gugup.

"Ti...ti--tidak tidak ada m--masalah," katanya mencoba tersenyum.

Sepanjang hari, gadis itu tak bisa fokus pada pelajaran. Hanya satu yang memenuhi ruang pikirannya. Hingga bel berbunyi, ia masih duduk di bangkunya. Sangat takut? Tentu!

Seorang gadis lain menghampirinya. Gadis dengan gaya slengekan yang kontras dengan kepribadiannya.

"Ceritakan padaku," katanya menyeret bangku dan mengambil posisi diseberang.

Tak ada jawaban. (Nama gadis anggun) hanya tertunduk dan menitikan air mata. "Hiks...hiks."

Tanpa babibu lagi, (gadis slengekan) merengkuh bahu (gadis anggun) membuat isakannya semakin kencang dengan derai air mata yang semakin deras.