NotesWhat is notes.io?

Notes brand slogan

Notes - notes.io

Looking-Match Glasses

.

.

.
.
.
.
Cast : Jisung & Lami

Genre : Romance???, Dark, Fantasy ofc, and Action

¦° TaishoAlice! AU °¦

--

✓ A FF Project ( NCTxSRG {inc.ex} )
✓ All characters are belong to their representative
✓ Ideas from Allah SWT (aliases God) to me
✓ Language is Bahasa Indonesia, with POV of Lami

.
.
.
.

.

.

.

Kembali lagi aku menghindar dan mencari dalam geming. Bukannya mengapa, tetapi kondisi labirin ini seakan menatapku dengan tajam dan garang, dan itu semua berkat satu orang.

Langit terlihat gelap dengan awan-awan menggumpal di sini dan sana, lalu samar-samar di atas sana terdapat siluet yang sepertinya cukup familiar.

Mengapa cukup?

Entahlah. Di antara gumpalan kapas udara, aku seperti melihat sosok lelaki. Dia melayang, hanya itu yang dapat kupastikan. Oh, sesuatu yang berwarna pirang keemasan juga menjadi ciri yang mencolok.

Sayangnya pandanganku semakin mengabur, namun dengan alasan yang begitu kontras. Aku ingin sekali memastikan jika alasan pandangan kabur ini adalah kabut yang menyelimuti dari kiri sana hingga ujung kanan selain kelamnya langit, tapi ada juga sesuatu dalam diriku yang menahan ketajaman mataku.

Sudahlah.

Mau bagaimanapun, aku harus segera keluar dari labirin sialan ini. Entah sudah waktu keberapa aku tertahan dengan keadaan yang penuh tanda tanya besar ini. Awal mendapati tempat ini, harus kuakui, tempat ini cukup tua namun 'menarik'. Bagaimana tidak? Semak-semak yang menjulang ini terlihat agak mengerikan karena daun-daun yang di dominasi oleh warna kecokelatan yang renta dari pada kehijauan yang segar. Ranting-rantingnya menjulur ke mana-mana. Lalu yang paling mengerikan untukku adalah banyaknya 'benda-benda aneh' seperti 'tersangkut' di sela-sela semak-semak.

Oke, aku tidak begitu yakin 'benda-benda' itu sebutan yang pantas, walau pun beberapa patahan alat teh paling mendominasi. Tapi tetap saja, adanya 'benda-benda' lain di sana membuatku merasa merinding.

Aku tidak mau membayangkannya. Sungguh.

Aku kembali menggeleng-geleng pelan. Lalu perlahan mengumpulkan memori sembari sedikit menengok lagi. Di kananku terdapat jalan setapak dengan batu-batu berbentuk kotak, tapi kalau aku tidak berhati-hati menginjak salah satunya, ragaku sudah dilahap oleh panasnya bumi. Di kiri terdapat jalanan lumpur cokelat pekat yang menghisap.

Juga ya, aku melewati lumpur itu. Dengan pakaian terusan paduan biru pastel dan putih, ditambah beberapa percikan cokelat lumpur.

Jika diingat-ingat bagaimana aku melewati lumpur-lumpur itu, aku memang memiliki sesuatu...

Ya, sesuatu yang juga membantuku melewati 'tantangan' sebelumnya.

Aku pun juga heran bagaimana aku bisa di sini. Ah, mungkin sesuatu yang kabur juga menghalangiku menunjukkan alasannya.

Tapi, bagaimanapun, aku harus maju. Seakan ada yang berbisik jika tujuanku sudah dekat.

Ah, tidak. Sesuatu yang berbisik ini berkata sedikit lagi.

Itu saja sudah mampu memporakporandakan hatiku.

Aku tentu merasa senang, karena, siapa yang tidak ingin keluar dari tempat yang penuh dipertanyakan ini, hm?

Namun perasaan menusuk ini selalu menggangguku. Oke, aku tidak tahu kalau mengganggu adalah kata yang tepat. Setiap kali suara itu berbisik, terasa sekali rasa familiar di sana. Seperti ada yang hilang dari diriku, dan sebentar lagi akan menghilang dalam lumernya kerinduan jika aku bertemu dengan pemilik bisikan ini.

Kakiku terasa berat, namun kupaksakan berjalan beberapa langkah hingga...

DUG!

Lutut dan lenganku mencium tanah.

"Aw... "

Namun permukaan ini... Ah, apa sudah berubah lagi?

"Kaca lagi...?"

Perlahan aku berusaha untuk berdiri dari sensasi dingin dan ratanya kaca, kuperhatikan kembali permukaan yang sekarang menampakkan jelas isi dari batu-batu kotak itu.

Semuanya menjebak.

Aku tidak percaya ini, namun isinya berupa api merah dan hitam yang menjalar-jalar.

Berarti jika aku menginjak salah satu dari mereka, aku sudah menjadi santapan api-api itu.

'Hei, tunggu apa lagi? Larilah... '

Bisikan ini lagi. Sungguh, hatiku terasa bergetar hebat dan kepalaku mulai terasa sedikit pusing.

Terus apa-apaan pula, sekarang genangan bulir-bulir mulai tertumpuk di dwimanikku?

Oke, walau pun itu hanya sebentar.

' Sedikit lagi. Kamu sudah tahu tujuanmu kok... '

Bagus, kembali lagi rasa menusuk ini. Memangnya apa yang dimaksud dengan...?

Tunggu sebentar.

Kuperhatikan kembali di atas sana karena kabut-kabut yang meluas itu mulai menipis.

Iya, aku melihat sosoknya.

Iya, sosok itu seperti postur lelaki.

Iya, pirang keemasan itu seperti warna rambutnya.

Tapi memangnya benar-benar di atas sana...?

Tapi aku juga harus meninggalkan tempat mengerikan ini!

Hah, aku pusing! Kepalaku yang terlalu penat akhirnya diberi pijatan oleh jemariku.

'Kamu dan kaca ada hubungannya... '

Bisikan itu lagi. Tapi apa maksudnya?! Aku tidak bisa mengingat apa-apa!

"Bisikan siala---! "

Baru saja kakiku menginjak kaca dengan kencang, dentumannya bersamaan dengan jantungku yang rasanya terpompa darah yang sangat banyak dengan sekali dorongan.

Tentu aku terduduk lagi di atas kaca yang berbentuk persegi panjang memanjang ini.

Butuh beberapa saat bagiku menenangkan raga untuk mengumpulkan tenaga. Lalu aku melamun.

Lebih tepatnya mencoba untuk mengingat.

Iya, memang percuma.

Pandanganku kosong dan lurus, seperti orang yang kehilangan arah.

Karena memang itulah kenyataannya.

Sampai ketika tangan kananku ingin menyisir rambut secara tidak sadar, setengah sisi kanan kaca itu ikut terangkat.

Tentu gerakanku terhenti dan aku mulai keheranan.

Lalu perlahan kucoba lagi dengan tangan yang sama, lalu berpindah ke tangan kiri dengan hasil yang sama walau hanya sisi kiri.

Ini dia!

Akan kususul ke atas sana dengan kaca-kaca ini! Kujadikan tangga!

Maka aku buru-buru bangkit dan sedikit menepuk-nepuk baju.

Tarik nafas, hembuskan.

Perlahan kuluruskan kedua tanganku dan menjulurkannya ke depan, menjadikan kaca-kaca itu terangkat dengan tingkatan-tingkatannya.

Tanpa adanya perasaan ragu, aku mulai berlari dan melompati setiap anak tanggaku.

Semakin ke atas sana, entah mengapa memoriku mulai membaik.

Bermula dari aku bersama keempat sahabatku. Ya, aku ingat namanya: Koeun-eonnie, Hina-eonnie, Herin-eonnie, dan Yizhuo-eonnie. Tapi Yizhuo-eonnie lebih suka dipanggil Ningning-eonnie. Awal pertama aku di labirin ini memang bertemu dengan mereka. Lalu disebut pula Jungyeon-eonnie yang begitu penyabar, Yiyang-eonnie yang begitu menakutkan.

Dan ada mereka berenam. Mark-oppa yang sempat agak malu-malu dan gugup bertemu denganku, namun berujung bahwa 'Si Tudung Merah seperti oppa cocoknya dengan yang Putih Bijaksana', dan ya, itu Koeun-eonnie mengenai 'si Putih Bijaksana'. Herin-eonnie pun setuju, apalagi Hina-eonnie. Renjun-oppa dan Chenle-oppa agak menyusahkanku dengan alasan yang berbeda. Renjun-oppa dengan tutur kata dan sopan santun, namun aku berhasil mengetahui sisi gelapnya. Chenle-oppa merepotkan, dia terus bersikap 'sok' karena kekayaannya. Harus kuakui, Chenle-oppa memang asik, tapi tidak, ada sesuatu yang kosong di antara kami.

Namun ketika Ningning-eonnie hadir, aku bersumpah, belum pernah aku merasa hawa-hawa mengerikan mencuat dari mereka. Seperti ada deklarasi perang dingin dari mereka. Entah bagaimana Ningning-eonnie mengatasinya. Tapi aku dapat menyimpulkan jika hubungan mereka seperti bintang Altair, Vega, dan Deneb.

Donghyuck-oppa dan Jeno-oppa juga begitu, bahkan lebih menakutkan lagi. Mereka berdua adalah yang terdekat yang dapat membuatku merasa nyaman. Donghyuck-oppa beserta sifat jenakanya selalu menghibur, apalagi jika ditambah kemampuan magisnya. Jeno-oppa, walau pun terlihat sedikit canggung, namun kami cukup dapat mengerti satu sama lain, dan jangan bahas senyumannya.

Astaga, aku ingin meleleh.

Tapi, walau pun aku menyukai mereka, ternyata mereka sudah mendapati tambatan hati. Sialnya, terhadap orang yang sama.

Herin-eonnie.

Eonnie yang satu ini memang menarik. Entah darimananya, tapi menarik. Tentunya terlepas dari fakta bahwa ia seorang 'Tuan Putri yang sedikit bertingkah seperti Putra Mahkota'. Ia benar-benar orang yang bisa kujadikan panutan. Kepintaran dan keberaniannya harus diacungi jempol.

Namun semua itu sirna saat Herin-eonnie menghilang menjadi butiran udara dengan posisi memeluk sebuah gelas di sebuah bongkahan batu besar. Butiran-butiran emas dan sedikit merah. Merah mawar.

Iya, aku terlambat menyelamatkannya.

Aku juga ingat betapa kacaunya Donghyuck-oppa dan Jeno-oppa, seakan sempat ada pertempuran besar di sebuah lapangan kosong saat itu.

Sepertinya hanya Jaemin-oppa dan Hina-eonnie yang selamat.

Eh, tidak juga, mereka seperti kucing dan tikus.

Jaemin-oppa memang sepertinya sedikit 'terobsesi' dengan si 'Putri dari Sungai Kohaku'. Aku ingat kalau Hina-eonnie kurang suka dengan panggilan 'Dewi'. Puncak mereka itu di mana mereka harus bertarung satu sama lain karena ulah Jaemin-oppa yang berlebihan. Mungkin karena sifat natural Jaemin-oppa yang senang menggodai gadis lain, juga lebih mengerikan dari Renjun-oppa kalau kuingat lagi. Banyak yang termakan omongan manisnya, tentu saja. Namun tentu ada sedikit perempuan yang tidak, seperti aku dan sahabat-sahabatku.

Iya, bertarung fisik. Aku tidak mau mengingat detailnya, terlalu memuakkan. Mereka memang orang yang 'spesial', dan itu semakin membuatku takut.

Aku memang bersenang-senang, aku memang juga mulai merasakan 'cinta' , namun tetap saja ada yang hilang.

Seperti hati yang kosong dan mencelos. Berduka dalam hitam pekat, memanggil seseorang agar duka dalam ikatan hitam ini merenggang.

Perlahan larut dalam memori, kuturunkan kedua tanganku dan mulai mengayunkannya seperti atlet pelari dalam perlombaan. Karena aku ingat satu hal.

Aku memiliki kemampuan magis yang berhubungan dengan kaca.

Itulah mengapa seluruh sahabat dan temanku merasa terpukau dan memuji kemampuanku. Aku membantu mereka. Di saat yang bersamaan, mereka terlihat cukup bimbang.

Aku ingat betul. Waktu itu siang yang cukup terik, kami semua berkumpul dalam sajian pesta teh kecil dari Koeun-eonnie. Kami semua berkumpul seperti biasa. Kebisingan biasa, layaknya teman-teman dalam suatu geng. Hingga topik mereka merujuk pada satu lelaki yang memiliki kemampuan yang serupa denganku, namun pengendaliannya cukup unik, yaitu menari. Dia dikatakan yang berbahaya karena keinginannya yang ingin menguasai labirin. Donghyuck-oppa sampai serius menanggapinya.

Di saat itulah, hatiku terasa terenyuh, otakku seperti mencari gambaran lelaki itu.

Selesai larut dalam nostalgia, aku mulai memfokuskan diri menuju atas sana. Aku sudah bisa mengingat beberapa bagian dari diriku yang hilang, seharusnya itu cukup.

Kedua tungkaiku terhenti pada pijakan awan yang menggumpal, seperti Cumulonimbus. Cukup mengherankan, padahal ketinggian ini hanya bisa untuk awan strato, altostrato minimal.

Kulihat lagi ke bawah sana, kaca-kaca itu tersusun membentuk spiral, mengingatkanku pada angin tornado.

Di bawahnya...

Tunggu, aku mengerinyitkan dahi lagi.

Kenapa semuanya terlihat mati? Banyaknya bangkai, semak-semak kerontang dimana-mana. Aku bersumpah jika pemandangannya tidak semengerikan ini! Di mana yang lain?!

"Sudah cukup melihat-lihatnya?"

Suara ini...

Segera saja aku berpaling lurus, tidak mau menyia-yiakan kesempatan ini.

Tidak mungkin, lelaki ini... Bagaimana bisa...?

"Hati-hati, Sungkyung-ah. Nanti jatuh."

Wajah tirus itu, rambut pirang yang agak terbelah poninya, mata yang sipit dan biru, pakaian seperti khas pangeran kerajaan dengan balutan hitam, serta cara dia berdiri dan perawakan canggungnya.

Tapi kenapa dia tahu nama asliku?!

Tunggu dulu...

Kurasakan lagi bulir-bulir itu memanas dan menggenangi dwimanikku, namun kali ini berhasil mengalir begitu deras. Hatiku juga terasa diremuk habis-habisan sebelum pelan-pelan mencelos sendiri. Aku.. Rindu dengan orang ini.

Perlahan kedua tungkaiku mulai mendekati pria itu, aku sendiri mula merasa ingin jatuh ke pelukannya dan menangis sejadi-jadinya. Lelaki itu juga terlihat lega dan senang. Memang tidak terlihat dalam senyuman tipisnya, tapi aku sesekali melihat tangannya yang direntangkan perlahan.

Namun langkahku terhenti, begitupun dengan tangan si lelaki yang mulai turun beserta ekspresi keheranannya.

Mengapa? Karena yang kuingat adalah dia, si penguasa yang begitu terobsesi menguasai dunia. Dunia dalam artian labirin ini.

Langsung saja partikel-partikel hampa berkumpul menjadi satu, membentuk pedang dari kaca yang terhubung oleh tangan kananku, dan kuarahkan tepat ke sisi kanan lehernya.

"Kamu... Apa-apaan hah...? Apa yang sebenarnya terjadi...?"

Bersamaan dengan bulir-bulir yang menggenangi dwinetraku, ekspresi terkejut lelaki ini juga terhenti sesaat, berubah dingin dengan senyumannya. Sialnya, aku tidak tahu maksud senyuman itu.

"Semuanya...?"

"Di mana teman-temanku? Tempat apa ini? Apa tujuanmu? Siapa kamu, dan siapa aku. "

" Kukira kamu sudah tahu jawabannya. "

Aku mengerinyitkan dahi lagi.

" Jelaskan semuanya. "

" Begini Sungkyung-ah, kamu punya kalung dari kaca itu, gunanya apa? "

Kalung...?

Segera saja tangan kiriku meraba sekitar leher. Benar saja, ketika aku mendapati kalung itu, serasa ada petunjuk lagi dalam bisikan bahwa aku harus mengelilingi kami menggunakan beberapa kaca.

" Jadi...? "

" Diam. "

Tanpa adanya gerakan dari tangan, aku berusaha untuk fokus hingga banyaknya pancaran cahaya tersebar di sekitar kami dalam bentuk oval. Cahaya itu seketika menghilang, digantikan oleh susunan kaca berbentuk oval yang bergandengan satu sama lain, beserta ukiran-ukiran kayu tanaman merambat di pinggirannya.

" Ruang kaca ya...? "

Ucapan lirihnya mampu membuat hatiku terasa tercabik-cabik. Aku serius, aku nyaris kehilangan kendali saat dia hanya berucap saja. Walau pun masih merasa beban dan bulir-bulir ini mengalir sedikit demi sedikit dari setiap pelipisku, tekadku seakan cukup bulat untuk memusnahkan lelaki ini.

" Aku hanya butuh kebenaran. Kenapa kamu disini? Apa maumu? "

Luntur sudah senyuman lelaki itu, diganti dengan kepasrahan saat tangan kanannya mengenggam lembut pedang kacaku.

" Sungkyung-ah, maafkan aku. Tapi semua ini memang harus berakhir, 'kan? Kita tahu kalau kaca-kaca disusun sekian banyaknya dengan rapi seperti sekarang, kemampuan kita meningkat dengan tajam. Sekarang, aku ingin kamu melihat lagi sekeliling. Lihatlah kaca-kacanya. "

Aku pun mendengus kasar. " Apa yang kudapatkan? "

" Jawaban. "

Aku mulai tertegun kala dia mengucapkannya. Jawaban apa?

" Tapi jawaban itu akan terkuak sangat lambat, jadi cepatlah menentukan pilihan. "

Aku ingin sekali percaya, tapi lelaki ini malah mencerminkan dua-muka." Kenapa aku harus memercayaimu? "

" Kadang dibalik kebohongan, terselubung sebuah kejujuran yang begitu cantik dan buruk. "

Aku terdiam saat itu juga. Pedang kaca yang terpasang di tangan dan lenganku menghilang seketika karena tenagaku yang terasa menipis.

Aku memang merasa ragu, tapi karena rasa kuriositasku akan jawaban dari semua ini, maka kuberanikan diri untuk menengok ke setiap kaca.

Benar saja aku langsung terkejut. Malahan, bulir-bulir itu mulai deras turunnya.

Di sekitarnya terdapat gambar-gambar yang begitu realistis. Ada aku dan si lelaki, di mana-mana. Kami yang memakai baju seragam sekolah, kami yang bermain, kami yang tertawa, kami yang bersedih, kami yang marah, dan semunya. Semenjak kami dari kecil hingga sekarang ini.

... Tunggu, apa aku baru saja mengatakan kami?

"Itu semua kenyataan, Lami. "

Ada dua fakta yang sukses mengejutkanku saat ini. Pertama, bahwa dia memanggil memakai nama panggilanku. Kedua, bahwa semua yang ditampakkannya ini nyata.

Lalu kusaksikan sendiri oleh kedua mataku, bagaimana gambar-gambar itu mulai bergerak.

Aku yang tersenyum bahagia.

Aku yang menangis tersedu.

Aku yang marah cukup berkepanjangan.

Semua itu ada aku dan dia.

Tiba-tiba dari kejauhan di arah barat sana, terdengar bunyi retakan keras dan aku sungguh melihat salah satu retakannya jatuh mengenai tanah.

Apalagi sumber retakan itu adalah patahan langit.

"Tinggal sedikit lagi, Sungkyung-ie. "

Hanya kata-kata itu dan bulir-bulir itu mengalir lumayan deras menyusuri pelipisku. Bersamaan ucapannya, suara yang berucap sama mengaung dari kaca. Ya, aku melihat diriku yang ketakutan dari atas ranting pohon dan dia di bawahnya, memberiku semangat.

"... Aku ingin menyusul, tapi tahu tidak kalau aku lagi demam saat itu? "

Aku ingin mendengus kesal, namun tidak bisa. Malah sesekali isakan dan pertanyaan bernada lirih terucap dari bibirku.

"... Maksud semua ini apa...?"

Lelaki itu terdiam sesaat ketika aku bertanya dengan nada yang serupa. Suasana hening menghampiri cukup lama hingga salah satu patahan itu jatuh lagi.

"Kamu mau pulang, La---ah, Sungkyung-ie? "

Aku ingin menjawab, namun karena aku belum memercayai penuh lelaku ini, aku memilih untuk diam.

" Tempat ini akan sirna dalam beberapa waktu ke depan. Teman-temanmu... Ah, aku tidak bisa berkata banyak selain... Yah, mereka 'selamat'. 'Selamat' disini bersifat sementara karena tempat ini begitu fana. Percayalah, kuncinya ada padamu. "

Kunci? Apa maksudnya?

" Tapi kamu kuat, disuarakan paling hebat di antara penghuni labirin ini karena ini milikmu, lalu kenapa tidak bisa? "

Baru aku bertanya lagi, patahan-patahan itu mulai bergelimpangan di tanah satu persatu dalam skala besar. Lelaki ini juga malah terlihat lebih canggung, tangannya meremas tengkuk dan dia menghela nafas panjang.

Tapi kenapa aku yang deg-degan?

"... Kamulah pantulan cahaya yang menyinari kabutnya cermin kelamku. Aku mungkin sudah tidak sempurna, tapi tidak sempurna itu hilang begitu saja kalau kamu menyambutku."

Hanya kalimat itu, pikiranku langsung seakan tersibak oleh sinar yang menyilaukan. Semuanya begitu jelas. Kupandangi sekilas sekali lagi sekeliling kaca, terdapat aku dan dia sama-sama membaca sebuah buku di masing-masing kamar tidur. Aku dan dia sama-sama merasa malu dan senang. Malu karena... Aku takut ditemukan pemilik buku pribadi dalam keadaan membaca dan begitupun dia. Tidak kusangka kejadian itu terjadi pada dirinya.

Senang karena... Yah, harus bagaimana lagi? Ekspresi kami sudah ingin menahan tawa bangga dan lega karena kami saling menyayangi satu sama lain.

Seketika patahan-patahan itu mulai bergelimpangan di mana-mana disertai suara teriakan. Aku langsung melesat menuju lelaki tersebut dan menggandeng tangannya sementara berusaha fokus untuk membuat tangga kaca lagi.

"Ayo jalan! " Seruku pada si lelaki.

Dia... Hanya menggeleng sembari tersenyum tipis.

"Kenapa...?"

"Nanti juga tahu. Jalan pulang ada di atas sana. Yang pintu bercahaya."

Mataku segera berganti fokus sekilas, sebelum kedua tanganku memegang erat kedua lengan tangan lelaki itu. Lalu sesegera yang kubisa membiarku pandanganku terfokus untuk membuat tangga kaca yang tersusun ke atas pintu sana.

Tanpa basa-basi lagi, aku menggendong si lelaki dengan gaya bridal---masa bodoh dengan ekspresi wajahnya sekarang. --- dan berlari serta melompat sekencang mungkin agar kami sampai tujuan.

Yang masih belum membuatku percaya adalah semua ini terhubung. Ya, akhirnya aku mendapat jawabannya. Namun bukan yang diharapkan, melainkan yang dibutuhkan.

Aku merasa senang sekali ketika bisa
mengetahui tentang apa semua ini, teman-temanku, dan siapa lelaki ini. Aku mulai membayangkan banyak hal nanti jika sudah pulang.

TES!

"A--! "

A-aku jatuh?!?!?

Astaga, pasti tenagaku sudah habis terkuras karena membuat dan mengarahkan kaca tadi!

" M-maaf... "

Hanya itu yang dapat kusampaikan. Kesadaranku semakin habis dan aku hanya berharap jika kami bisa selamat.

" Giliranku. "

Aku benar-benar seperti tidak bisa merasakan apa-apa. Ucapan yang tersua dari lelaki itu saja serasa hampa. Panca indraku seakan lenyap dalam kunyahan redup.

Yang dapat kurasakan hanyalah sebuah dekapan sehangat mentari serta perasaan lepas dan bebas. Kubiarkan pula bulir-bulir ini mengalir selepas-lepasnya.

Sungguh, ini seperti kilauan sebuah sinar bermantelkan harapan memberikan pesta selamat datang.

Karena dia....

"Tolong ingat... 202."

.




.






.



DEG!!

Kedua mataku membelalak sempurna dengan pupil mata yang mengecil, semua itu secara singkat.

Aku segera duduk di tempat tidurku dan menyeka pelan tangisan kecilku yang masih melaju perlahan. Menunggu beberapa saat, dwimanikku mulai menjelajahi tempat yang terasa sedikit familier ini.

Jendela yang menghadap ke sebuah lapangan dengan beberapa kendaraan dan menunjukkan waktu siang, adanya satu laci panjang putih, dua tempat tidur dengan tiang kecil untuk infus...

Infus?

Ini... Di kamar? Rumah sakit...?

Segera saja fokusku beralih ke tangan kananku, sedikit terkejut karena mendapati perban putih dan selang infus.

Tidak lama, sosok suster dari arah kanan mendatangi kamarku beserta peralatan untuk mengganti kantong infus. Perawakannya yang cukup manis menyapa diriku dengan sedikit rasa khawatir, walau pun tertutup dengan wajah ramahnya itu.

"Ah, Sungkyung sudah bangun?"

"Sudah..." Ucapku dengan balasan seramah yang kubisa. "Kalau boleh aku tahu... Sudah berapa lama aku tidur...?"

Iya, itu pertanyaan yang terkesan bodoh. Karena setiap suster pasti berbeda tempatnya setiap waktu tertentu. Argh, Lami bodoh!

Untungnya, suster itu hanya tersenyum dan mengganti kantong infusku.

Setelah beberapa saat, aku kembali bertanya padanya.

"Err suster, boleh aku tahu di mana ruang 202?"

"Oh? Bukannya berbeda tiga ruangan darimu?" Ucapnya sedikit kebingungan sembari merapikan alat-alatnya.

Oke, Lami, fokus.

Tiga ruangan?!

Berarti...?

"A-apa aku boleh... Mengunjunginya? A-ada temanku, laki-laki, di sana... "

Suster itu menggangguk sebagai jawaban! Yes! Akhirnya!

Maka ketika suster tersebut sudah keluar dari ruangan, aku mengikuti beberapa saat kemudian.

Ruangan 202 di ujung kiri, kan? Sesuai barisanku? Tanyaku dalam retorik sembari tidak sabar menuju ruangannya.

Maka tanpa ragu, kakiku sedikit melaju menuju ke ruangan tersebut sembari merasa sedikit khawatir pada tiang infusku.

Sampai di depan pintu, kurasakan lagi hatiku bergejolak. Semua perasaanku bercampur di sana, namun sebisa mungkin aku menarik dan menghela nafas untuk menenangkan diri.

Namun tentu saja itu percuma.

Karena dengan dibukanya pintu nomor 202, bersamaan pula terdapat satu-satunya pasien, sosok lelaki yang kurindukan dalam mimpi itu menoleh padaku dari menatap jendela sana. Ada rasa terkejut di sana sebelum meleleh menjadi senyuman yang mampu membuatku dibuat senang bukan main, dab sebelum kuterjang dengan pelukan penuh rasa rindu dan sayangku.

"Lami..."

"Jisung-oppa!!!"

.



.



.


¦¦x BONUS PART

??








     
 
what is notes.io
 

Notes.io is a web-based application for taking notes. You can take your notes and share with others people. If you like taking long notes, notes.io is designed for you. To date, over 8,000,000,000 notes created and continuing...

With notes.io;

  • * You can take a note from anywhere and any device with internet connection.
  • * You can share the notes in social platforms (YouTube, Facebook, Twitter, instagram etc.).
  • * You can quickly share your contents without website, blog and e-mail.
  • * You don't need to create any Account to share a note. As you wish you can use quick, easy and best shortened notes with sms, websites, e-mail, or messaging services (WhatsApp, iMessage, Telegram, Signal).
  • * Notes.io has fabulous infrastructure design for a short link and allows you to share the note as an easy and understandable link.

Fast: Notes.io is built for speed and performance. You can take a notes quickly and browse your archive.

Easy: Notes.io doesn’t require installation. Just write and share note!

Short: Notes.io’s url just 8 character. You’ll get shorten link of your note when you want to share. (Ex: notes.io/q )

Free: Notes.io works for 12 years and has been free since the day it was started.


You immediately create your first note and start sharing with the ones you wish. If you want to contact us, you can use the following communication channels;


Email: [email protected]

Twitter: http://twitter.com/notesio

Instagram: http://instagram.com/notes.io

Facebook: http://facebook.com/notesio



Regards;
Notes.io Team

     
 
Shortened Note Link
 
 
Looding Image
 
     
 
Long File
 
 

For written notes was greater than 18KB Unable to shorten.

To be smaller than 18KB, please organize your notes, or sign in.