Notes

El menatap gadis di depannya datar. Tak ada senyum atau guratan lainnya yang menandakan bahwa ia berhasrat untuk berbicara.

"Kenapa?" Tanyanya to the point. Lelaki itu memiliki banyak pekerjaan. Tentu saja, ia sukses. Oleh karena itu, ia sadar. Ia telah menghabiskan banyak waktu hanya untuk bercengkrama.

"Apakah. Apakah tidak bisa?"

El mengangkat salah satu alisnya sambil memperhatikan wanita itu lekat. Ia sendiri heran mengapa ia harus jauh-jauh datang ke cafe ini hanya untuk mendengar pertanyaan tak bermutu gadis di depannya.

"Saya pulang." El berdiri dan membenarkan letak jasnya. Ia sudah menduga bahwa ini akan membuang waktu berharganya.

"Tunggu." Cekalan di tangan kanannya membuat El berhenti sejenak. Ia tahu tak akan semudah ini. Gadis ini. Ia mengenalnya dengan sangat baik. Tak mudah melepaskan. Tak mudah menyerah.

El tidak berbalik. Ia tak berniat untuk menatap gadis itu lagi. Ia sadar diri. Ia mungkin tak bisa untuk tidak memeluknya. Walau hanya sekilas.

El menunggu. Apa yang akan gadis itu sampaikan. Menerka apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Itu tidak seperti yang kamu kira, Dulu aku—,"

"Persetan dengan masa lalu, Charissa!" El telah membalikkan tubuhnya. Menatap gadis yang hanya setinggi hidungnya.

"Persetan, kau mengerti? Aku tak peduli." El berjalan mundur beberapa langkah, mencoba menjaga jarak. Gadis itu tak lagi mencekal, El merasakan sedikit rasa kecewa di hati. Tapi ia tepis jauh-jauh.

"Dengar. Aku telah memiliki ke—," El tercekat sejenak saat ingin menyombongkan dirinya pada Charissa—gadis itu—bahwa ia sudah melupakannya. Melupakan semua kenangan yang mereka ciptakan bersama dulu. Hanya saja Tuhan tahu, itu semua rekayasa.

"—kekasih." Charissa tak terkejut. Ia hanya menunduk. Ia tahu kabar itu dan hanya membutuhkan pengakuan langsung. Dan semuanya benar. Ia sudah kalah sebelum perang.

"Maaf." El keluar dari cafe itu. Tak ada cekalan atau bahkan suara bisikan yang menahannya pergi dari situ. Berat. Tapi ia harus pergi.

El masuk ke dalam mobilnya. Ia tak langsung pergi. Matanya masih melirik gadis dibalik kaca jendela. Bagian depan cafe tersebut menggunakan kaca bening yang memudahkan orang lain melihat apa yang ada di dalamnya.

El kembali terdiam saat melihat mantan kekasihnya menangis. Menangis pelan. Tentu saja ia tahu itu menyakitkan.

"Sialan, sialan!" Ia memukul stir dengan sangat kuat. Entah mengapa ia merasa Tuhan mempermainkan hidupnya.

T B C