Notes

Pagi-pagi sekali Akira sudah terjaga. Kilau cerah matahari Kyoto sangatlah menghangatkan, membuat wanita janda beranak satu itu lantas bergegas membuka gordyn kamar yang tipis, membiarkan cahaya mentari masuk semau ia ke dalam kamarnya. Sengat sinar matahari tak sedikitpun mengusik Imanuel, anaknya, yang masih tertidur lelap memeluk boneka katak hijau dengan tubuh mungilnya yang terbalut selimut tebal. Akira dibuat tersenyum akan hal tersebut, berpikir betapa manisnya anak satu ini.
Akira tidak sedikitpun berniat membangunkan Imanuel––sebentar lagi mungkin––karena wajah tidur Imanuel adalah surga tersejuk dalam hidup yang selalu ia rasakan. Dengan lembut wanita itu menempatkan sebelah tangan pada kening Imanuel, mengecup kedua pipi gembulnya, menatap penuh sayang serta mengelus puncak kepala anak itu tak kalah lembut dengan perasaannya. Doa-doa diucapkan, tak segan membuat Imanuel semakin tertidur pulas mendengarkan sayup-sayup suara ibunya yang lemah lembut seperti semilir angin di pinggir pantai tahun 2015 lalu, saat Akira iseng mengajak Imanuel pergi ke pantai untuk melihat keindahan dunia luar yang sebenarnya.

---

"Oka-san!" Imanuel melangkahkan kedua kaki kecilnya dengan riang ke dalam tempat tinggal mereka. Bocah tiga tahun itu sudah terbiasa berjalan tanpa alas kaki. Bukan, bukan karena Akira terlalu melarat sampai tidak bisa menyediakan sandal atau sepatu untuk Imanuel, hanya saja Imanuel selalu berkata,

'Tidak apa, Oka-san! Tanpa alas kaki, aku merasa sangat dekat dengan alam. Hangat! Kalaupun dingin, aku akan berkata jujur, kok! Seperti yang Tuhan inginkan kepada umatNya.'

Bagaimana bisa Akira tak terenyuh akan kalimat manis dari Imanuel itu? Luar biasa. Pengetahuan Imanuel tentang Tuhan bahkan melebihi orang dewasa. Membuatnya berkali-kali berterima kasih, melayangkan ucap syukur kepada Tuhan perihal telah mengaruniakan seorang anak yang luar biasa membahagiakan.

"Oka-san! Ini ada surat dari pak Pos, katanya untuk Oka-san." Imanuel menyerahkan amplop surat dengan kedua tangannya, mendongak menatap Akira yang sudah sibuk di dapur. Lantas wanita itu menunduk, mengecup Imanuel dan menerima amplop surat itu.

"Terimakasih, Pangeran. Hmm, sebelumnya, apa Oka-san bisa minta bantuan Pangeran? Sedikiiit saja, hari ini."

Imanuel mengangguk patuh pada ibunya, sambil memancarkan ekspresi penasaran dengan dua mata bulatnya yang mengerjap lucu seperti anjing kecil. Oh, jangan lupakan panggilan 'Pangeran' itu. Imanuel selalu suka kalau sufiks tersebut terucap dari bilah bibir indah ibunya.

"Antarkan apel ini kepada Hiro-shinpu yang ada di gereja, boleh? Pangeran tahu jalan kesana, 'kan?" Akira menyerahkan satu buah apel merah, ranum dan gempal ke dua tangan Imanuel yang terbuka.

"Tahu, Oka-san! Aku ingat betul jalannya!"

Akira kembali bersorak riang dalam hati, mengangguk kecil dan tersenyum lebar. "Bagus, Pangeran. Kalau begitu, bergegaslah. Kenakan alas kakimu dan pergi. Jangan lupa untuk memberi salam yang sopan kepada Hiro-shinpu saat masuk ke gereja nanti. Tidak boleh berisik, apalagi sampai lupa memberikan apelnya, mengerti?"

"Ha'i, Oka-san! Kalau begitu, aku pamit!"

"Tuhan memberkatimu, sayang. Hati-hati, ya!"