Notes

Warna langit tak lagi biru. Matahari tak lagi menampakkan wujudnya. Hanya ada ribuan bintang yang menghiasi kanvas hitam langit. Seharusnya aktivitas luar rumah tak sebanyak siang hari.

Seorang laki-laki dengan seragam sekolah yang membalut tubuhnya berjalan di tengah sunyinya malam. Bunyi decitan khas pagar tua terdengar kala sang laki-laki membuka pintu pagar salah satu rumah yang terletak jauh dari kebisingan pusat kota.

Rumah sederhana yang terlihat sangat gelap karena tidak ada lampu yang menyala menjadi pemandangan sang laki-laki saat ini. Dengan tas ransel yang masih tergantung di pundak, laki-laki itu; Shuu; merogoh saku celana untuk mengambil kunci rumah. Ia yakin, tidak akan ada orang di rumahnya saat ini.

Klek.

Pintu terbuka, membuka jalan bagi Shuu untuk masuk ke dalam rumah. Ia segera membuka sepatu dan meletakkannya di sembarang tempat. Tubuhnya terlalu lelah untuk sekedar merapihkan sepatu yang baru saja dilepasnya.

"Tadaima," gumamnya pelan, meski tahu tidak akan ada yang membalas ucapannya. Shuu bergegas menjelajah seluruh penjuu rumah, menyalakan lampu beberapa ruangan sebagai hanya sebagai tanda bahwa rumah itu masih berpenghuni.

Baru saja dirinya akan menaiki tangga, suara mesin yang begitu familiar tertangkap indra pendengarannya. Shuu tahu siapa itu karena hanya ada dua orang yang tinggal di rumah ini, ia dan ayahnya.

"Shuu, sudah pulang?"

Benar kan, itu suara mobil ayahnya.

Shuu membalikkan tubuhnya agar berhadapan dengan sang ayah. "Hm. Terlalu banyak hal yang harus diurus tadi."

Sang ayah hanya memberikan anggukkan sebagai respon, lalu melonggarkan dasi untuk memberikan ruang lebih banyak bagi pernapasan.

"Ada yang ingin Ayah bicarakan," sang ayah menatap Shuu dengan tatapan serius.

Ekspresi heran tidak dapat lepas dari wajah Shuu. Jika sang ayah sudah menatapnya dengan serius, berarti ada hal penting yang memang harus dibicarakan.

Ayah dan anak itu berjalan beriringan menuju ruang keluarga. Shuu memilih untuk duduk pada kursi yang menghadap ke arah televisi, sedang sang ayah duduk di kursi yang tepat berhadapan dengannya.

"Ayah akan ke Kyoto, mengurus cabang perusahaan yang ada di sana," ayahnya mulai membuka pembicaraan tanpa disanggah oleh Shuu. Ia masih diam dan membiarkan ayahnya untuk memberi penjelasan. "Paling cepat satu tahun, paling lambat belum bisa diprediksi."

Shuu masih belum memberikan komentar apapun karena baginya tidak ada masalah yang serius mengenai kepindahan ayahnya. Ia bisa tinggal sendiri di rumah itu.

"Dan rumah ini akan Ayah jual."

Cukup satu kalimat untuk membuat Shuu merubah ekspresinya. "HAH?!"

Sudah lebih dari lima belas tahun Shuu tinggal bersama ayahnya, namun ia tidak pernah tahu bagaimana jalan pikiran ayahnya. Hanya akan membuatnya pusing jika dipikirkan.

"Tunggu," Shuu mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba berpacu dengan cepat, padahal ia tidak melakukan kegiatan apapun selain duduk sebelumnya. "Jika Ayah ingin mengurus cabang di Kyoto, aku tidak masalah. Tapi kenapa harus menjual rumah ini? Aku tidak bisa ikut, Ayah. Aku masih harus menyelesaikan sekolahku di Tokyo. Tidak mungkin aku melakukan perjalanan Kyoto-Tokyo setiap hari. Bahkan dengan Shinkansen sekalipun butuh waktu 3-4 jam!"

Shuu berbicara tanpa jeda, mengeluarkan seluruh hal yang berputar-putar di otaknya. Ia benar-benar tidak mau dan tidak akan pindah ke Kyoto. Tidak setelah ia melakukan debutnya sebagai pengisi suara.

"Ayah tahu," balas sang ayah dengan nada yang begitu tenang. "Kau juga tidak mungkin tinggal dengan Yuuto atau Ryu, apartemen mereka terlalu jauh dari sekolahmu. Ayah sudah carikan apartemen untukmu