NotesWhat is notes.io?

Notes brand slogan

Notes - notes.io

Episode 3

* Scene 1, Kim Jinwoo and Son Jinhee

[Kim Jinwoo]
Masih di malam yang sama, ketegangan dan kegugupan yang sebelumnya menyelimuti Jinwoo kini telah berbuah manis. Senyuman seakan tak akan lenyap dari wajahnya selama ada Jinhee di sampingnya. Ya, Jinhee menerima perasaannya! Apakah bisa kalian bayangkan seberapa besar rasa bahagia yang dirasakan Jinwoo? Teramat sangat!

Kedua insan itu sudah tidak lagi berada di dalam ruang latihan. Mereka tengah berjalan menyusuri lorong dan hendak ke luar untuk pulang, berhubung malam sudah semakin larut.

Jinwoo, pemuda yang sedang asyik memandangi wajah Jinhee dari samping tiba-tiba saja mendengar sebuah alunan musik yang sudah tidak asing lagi. 'Hm? Masih ada yang berlatih?' Pikirnya, dengan gerak kepala yang menoleh ke sana ke mari karena mencari sumber ruangannya. Sementara itu, kaki terus saja melangkah mengiringi Jinhee, meski langkah kaki Jinwoo tampak melambat.

Tibalah Jinwoo dan Jinhee di depan pintu ruangan yang masih menyala lampunya. Dari ruang itu pula lah musik yang ia dengar berasal. "Sebentar, ya?" Pintanya kepada Jinhee karena ia hendak mengintip ke dalam. Hanya butuh tiga langkah, Jinwoo kini sudah berada tepat di depan pintu kaca ruang latihan tersebut. "Eh— Haejoon hyong?" Ucapnya bertanya-tanya tanpa sadar. Matanya pun memicing, hendak mencari tahu dengan siapa orang itu di dalam sana. "Perempuan itu..." Gumamnya berusaha menerka-nerka sekaligus mengingat sebuah nama, seraya menegakkan kembali posisi berdirinya yang tadi sempat agak membungkuk.

[Son Jinhee]
Suara langkahnya yang beriringan dengan Jinwoo memenuhi lorong sepi. Kornea matanya bergerak, melirik pemuda di sampingnya. Iris hazel itu kembali ke tempat semula saat mendapati Jinwoo masih memandanginya. Dia sudah menyerah untuk mengingatkan pemuda itu agar melihat ke depan, jadi biarkan saja.

Dan tentang status si adam yang kini telah berubah. Jinhee memang belum yakin sepenuhnya apakah pilihan yang dia ambil tepat, dia tak menemukan debaran yang dia cari. Sama seperti saat dia bersama Haejoon.

Bukan bermaksud untuk membandingkan, hanya saja... entahlah. Jinhee akui, Jinwoo memiliki segalanya.

Lamunannya buyar saat langkah Jinwoo berhenti di hadapan pintu salah satu ruangan, otomatis kakinya pun ikut berhenti. Barulah dia menyadari apa yang membuat laki-laki bermarga Kim itu berhenti, alunan musik yang samar-samar mulai terdengar indranya.

Banyak trainee yang sering berlatih hingga larut sepertinya, Jinhee mengenal beberapa. Salah satunya...

'Haejoon hyong?'

Kepalanya spontan menoleh saat mendengar nama tersebut. Persis seperti dugaanya.

Penasaran, Jinhee ikut merendahkan kepalanya. Dan benar saja, siluet Haejoon tertangkap matanya.

Tubuhnya seketika membeku saat melihat sosok lain di ruangan itu.

Seojung.

'Sedang apa mereka?'

[Kim Jinwoo]
Jinwoo menolehkan kepalanya, mendapati bahwa Jinhee juga melakukan hal yang baru saja ia lakukan—mengintip ke dalam ruang latihan. Namun, mendapati raut muka kekasihnya itu membuat Jinwoo sedikit geram. Berbagai pertanyaan terbesit di pikirannya, di mana salah satunya adalah 'Apakah Jinhee masih menyukai Haejoon?' Selain itu, mendapati Haejoon yang semakin giat berlatih membuat rasa kasihan serta ketidaksukaan meningkat dalam dirinya.

Kedua sudut bibirnya ia coba naikkan guna mengulas senyum. "Kamu kenal gadis yang sedang bersama Haejoon hyong?" Kalimat pertanyaan itu diajukan Jinwoo kepada Jinhee, tangannya pun ia letakkan di pundak Jinhee seolah-olah Jinwoo tahu kalau dia tengah terpaku di sana.

Sementara itu, kenop pintu sudah berada dalam genggaman tangan lainnya dengan erat. Jinwoo melampiaskan perasaan geram yang muncul ke dalam genggamannya. Dengan sekali putar, pintu itu pun akan terbuka nantinya. Namun untuk saat ini, ia masih mencoba untuk menahannya guna memperhatikan perubahan pada raut muka Jinhee terlebih dahulu.

[Son Jinhee]
Kelopaknya berkedip sekali, figur Seojung masih ada di sana. Berlatih dengan Haejoon, tampak akrab satu sama lain. Seingatnya dia tak pernah melihat Haejoon bersama Seojung.

Apalagi sampai berlatih hingga larut malam.

Biasanya, tempat di samping Haejoon adalah milik Jinhee.

Dia memang bukan orang yang berhak untuk mengklaim hal tersebut, Haejoon hanya menganggapnya sebagai adik.

"Hmm?" Tubuhnya refleks menegak saat tangan Jinwoo menyentuh pundaknya.

Matanya menatap Jinwoo linglung. "Oh eh itu, ya." Tanpa sadar, lidahnya membasahi bibir yang terasa kering.

Jinhee kini dapat mengendalikan tingkah lakunya setelah beberapa kali tarikan napas kecil.

"Ayo." Jinhee mengedikkan dagu, mengisyaratkan agar mereka meneruskan langkah yang sempat tertunda.

[Kim Jinwoo]
Jinwoo menarik napas panjang. Sebelum ia hembuskan kembali, ada rasa tercekik kala melihat raut muka dan tingkah yang ditunjukkan Jinhee. "Ha...ha ha." Sebuah tawa renyah berhasil lolos dari bilah bibir sang teruna. Tangannya yang memegang kenop pun ia gerakkan memutar, sehingga pintu itu kini terbuka.

Ia tersenyum ke arah Jinhee yang seakan sudah siap untuk melanjutkan langkah. "Aku mau menyapa Haejoon hyong dulu," ucapnya pelan, entah terdengar atau tidak oleh Jinhee.

Beberapa detik kemudian, suara derap langkah kaki mengiringi sosok Jinwoo yang tengah memasuki ruangan. "Oh, hyong! Sudah larut begini, masih tetap berlatih? Eh—" Jinwoo menggantung kalimat ucapannya. "Ada perempuan juga rupanya. Halo!" Ujarnya menyapa, berusaha menutupi rasa geram yang sedari tadi hinggap di dirinya. Meski ia menyapa perempuan yang bersama Haejoon, atensi dan gesturnya secara penuh hanya tertuju kepada satu-satunya pria lain selain dirinya di dalam ruang ini.

* Scene 2, Seo Haejoon, Kim Jinwoo, Son Jinhee, Park Seojung

[Seo Haejoon]
Suara tawa terdengar dari ruangan itu, Seo Haejoon adalah pelakunya. Pemuda itu secara spontan tertawa setelah berhasil menyelesaikan latihan tak terencananya dengan sang partner, Seojung.

Bukan spontan, sebenarnya Haejoon memiliki suatu maksud tersembunyi; mencairkan atmosfer yang tiba-tiba saja terasa begitu /panas/ di ruangan itu ketika tanpa sengaja Haejoon menatap ke arah Seojung dan degup jantungnya tiba-tiba saja berpacu ribuan kali lebih cepat tadi. Pemuda itu sedikit menggerakan tubuhnya mengikuti irama lagu yang masih terlantun dari speaker.

Hingga tiba-tiba Haejoon mendengar suara knob pintu yang dibuka. Tentu secara spontan, Haejoon menengok dan memusatkan seluruh atensinya ke arah sosok yang membuka pintu.

'Oh, hyong! Sudah larut begini, masih tetap berlatih?...'

Haejoon menghela nafasnya berat, air mukanya yang semula sangat ceria saat bersama Seojung tiba-tiba berubah drastis menjadi penuh dengan kekesalan. Lelaki itu secara spontan menengok ke kiri sejenak, lalu kembali menengok ke arah sosok yang berbicara tadi.

Kim Jinwoo.

"Apa perdulimu?" Tanyanya singkat nan dingin sebagai respon dari ucapan Jinwoo barusan.

[Kim Jinwoo]
"Ouh...," eluhnya, lengkap dengan raut muka yang ia buat seolah tampak begitu kecewa.

Langkah kaki pemuda bernama lengkap Kim Jinwoo ini berhenti di jarak sekitar empat hingga lima meter dari Haejoon. "Apakah salah kalau aku peduli terhadapmu, hyong?" Pertanyaannya ini ia lontarkan beriringan dengan berubahnya raut muka menjadi sendu.

Sepasang tungkainya kembali bergerak, melangkah maju mendekati pria dengan usia terpaut dua tahun darinya. Jinwoo pun mengulurkan tangannya dan berusaha menyentuh pundak Haejoon, berlakon hendak menepuk-nepuk bagian tegap dari tubuh seniornya itu. Eh— atau junior? Ah, memikirkan harus menyebut Haejoon sebagai senior atau juniornya saja berhasil menaikkan sudut bibir Jinwoo. "Jaga kesehatanmu, hyong. Percuma terus berlatih kalau titik cerah seolah tak akan tampak," ujarnya pelan nyaris berbisik, dengan tatapan yang lurus hanya tertuju kepada Haejoon.

[Son Jinhee]
"Jin—"

Belum sempat tangannya meraih bagian tubuh Jinwoo, pemuda itu telah lebih dulu memasuki ruangan. Jinhee menghela napas lelah sebelum tungkainya mengikuti jejak Jinwoo dengan gelisah.

Kekhawatiran ke dengan jelas terlukis di wajahnya. Khawatir akan terjadi pertengkaran.

Pertemuan Haejoon dan Jinwoo bukanlah sesuatu yang baik. Berbanding terbalik dengan masa lalu.

Kakinya berhenti di samping kanan sepasang kaki yang sejak tadi berjalan menemaninya. Sebelum Jinhee berhasil menjalankan niatnya, iris hazel si gadis telah lebih dulu jatuh pada pemuda yang tak pernah gagal untuk memacu detak jantungnya. Saat figur Seojung ikut dipantulkan korneanya, raut wajah Jinhee mulai mengeras.

"Jinwoo-ya, ayo pulang." Tangan kiri Jinhee menarik-narik pelan lengan baju Jinwoo. Tangannya meremat kain di bagian lengan atas pemuda tersebut, manifestasi dari perasaan aneh yang muncul saat melihat Seojung bersama Haejoon.

"Pulang ya?" Sekali lagi Jinhee bersuara dengan nada memelas, tangannya kini melingkari lengan Jinwoo.

Sahabat—, ah tidak, kekasihnya itu menjadi fokus kornea si gadis, untuk membujuk sang adam agar mau meninggalkan ruangan. Sebagian kecil karena tak mau menatap lurus ke depan.

Tak seperti biasa, kali ini Jinhee benar-benar ingin menghapus Haejoon dari jangkauan matanya. Tidak dalam keadaan Seojung berdiri mendampingi pemuda itu.

[Kim Jinwoo]
Jinwoo menarik tubuhnya sehingga kembali berdiri tegak. Kepalanya ia tengokkan ke belakang agar dapat melirik ke arah Jinhee. "Tunggu sebentar, ya? Ada yang mau aku bicarakan dengan Haejoon hyong," ucapnya, disertai dengan seulas senyuman.

Atensinya pun kembali teralih ke sosok pria di hadapannya. Ulasan senyum itu masih ada, namun terkesan memiliki makna yang lain. Dagunya sedikit terangkat, tatapannya pun berubah seolah hendak merendahkan Haejoon. "Empat tahun, hyong. Mau sampai kapan kau membuang waktumu dan membusuk di sini, hm? Tidak ada gunanya, hyong. Kemampuan dance murahan seperti itu bisa kau temukan di mana saja, bahkan di jalanan Hongdae lebih bagus dari yang kau pertunjukkan tadi." Rentetan kalimat itu terucap bak air mengalir, lancar tanpa hambatan. Sama sekali tidak ada rasa bersalah pada raut muka Jinwoo, justru kesan mengejek dan merendahkan semakin menguat.

Sebuah decakan terdengar kala Jinwoo memalingkan wajahnya. Ia kembali mendapati sosok perempuan bersurai terang yang sedari tadi bersama Haejoon. "Ah...," eluhnya dengan gumaman. "Ini alasan kau menyakiti Jinhee saat itu? Tch." Jinwoo kembali mencondongkan tubuhnya, membuat posisinya sedikit berada di bawah Haejoon. Ia pun menengadahkan kepalanya, hendak memerhatikan ekspresi yang dikeluarkan sosok di hadapannya. "Sudahlah, hyong. Menyerah saja. Kau tidak akan pernah bisa debut dan saya yakin hyong sudah tahu itu." Jinwoo mengakhiri kalimat ucapannya dengan gelengan-gelengan kepala. Ia pun sebisa mungkin mencoba menahan tawanya, menghasilakn gerakan kecil pada pundaknya. Tetapi sayang, sebesar apapun ia mencoba menahan tetap saja tawanya pecah juga. Ia semakin membungkuk kala tertawa dengan satu tangan memegangi perut, sementara tangannya yang lain menumpu di lutut.

[Seo Haejoon]
Hanya manusia batu yang tak akan terpancing emosinya jika mendengar kalimat barusan.

Tanpa berfikir panjang, Haejoon langsung menggerakkan kedua tangannya untuk mmencengkram kerah baju Jinwoo kuat-kuat dan menarik tubuh pemuda itu agar kini kembali berdiri tegap dengan cukup kasar. Netranya tertuju lurus nan menusuk tajam pada manik hitam dihadapannya, menyalurkan segenap emosi yang sudah tak sanggup lagi untuk dibendung.

"Mulutmu benar-benar butuh anjing penjaga sepertinya, Kim Jinwoo," ujarnya dengan suara pelan nyaris berbisik namun penuh dengan penekanan, dengan mata yang masih tak berkedip menatap sosok dihadapannya itu.

Seo Haejoon membasahi bibirnya sekilas, lalu kembali berkata-kata tanpa lupa untuk mengencangkan cengkramannya pada kerah baju Jinwoo dan menariknya agar lebih dekat dengan dirinya sebelum mengeluarkan kalimat selanjutnya. "Berhentilah bertingkah seperti anak kecil. Kau seniorku seharusnya kau bisa memberikan contoh yang baik dan bersikap profesional, pisahkan urusan pekerjaan dan wanitamu," pemuda yang lebih tua sedikit memiringkan wajahnya, berusaha untuk tetap menjaga pandangannya pada sang mangsa.

"Kau boleh tertawa semaumu. Tertawalah sampai kau puas," untuk kesekian kalinya, Haejoon kembali menarik kerah Jinwoo dan mengencangkan cengkramannya lagi. "Tapi ingatlah bahwa roda akan selalu berputar. Nikmati kemenanganmu saat ini, namun ketika aku berada diatas sana, akan kupastikan kau tak punya tenaga lagi untuk memanjat naik," Haejoon mengakhiri kalimatnya barusan dengan sebuah kekehan meremehkan, tak mau kalah dari Jinwoo.

[Park Seojung]
Segala yang tersuguh begitu cepat membuat Seojung tak sempat mencerna dengan baik tiap detiknya

Dimulai dari Jinhee dan Jinwoo yang menyeruak masuk ke dalam ruang mereka, sampai adu mulut Jinwoo-Haejoon yang makin panas—semuanya terlampau tiba-tiba.

Maka, saat merasa tidak memiliki secuilpun hak untuk boleh coba mengguyur nyala api dua pemuda di sekitarnya, Seojung pilih bergeming.

Barulah ketika pertengkaran keduanya hampir tak hanya sekedar perang bicara, gadis itu maju selangkah, /berusaha/ melepaskan lengan Haejoon yang mulai menarik kerah baju Jinwoo dan siap meluncurkan bogem mentah kapan saja.

“Oppa!” Sergahnya, tercekat.

Kalau boleh Seojung ikut berkomentar, sejujurnya gadis itu jua merasa marah mendengar ejekan yang tersirat dalam tiap uraian Jinwoo; tajam, menusuk, sampai rasanya tidak berlebihan jika Haejoon murka seperti sekarang.

Tapi, Seojung juga bukan tipikal yang bisa diam saja melihat kekacauan sekitar. Lebih-lebih, saat ada yang ia khawatirkan.

Entah kenapa, bayangan tentang lebam yang bisa saja malah didapat lelaki yang barusan ia teriaki ‘oppa’ berseliweran dan membuat dada Seojung sesak oleh takut.

Merasa atensi pemilik lengan dalam cekalannya sedikit goyah karena pekikannya yang tiba-tiba, Seojung tak menyiakan kesempatan dan lekas memindah lengan Haejoon ke sisi tubuhnya.

“Jangan diteruskan, ya?” Pinta Seojung, setengah mengiba.

“Ayo kita kembali ke dorm saja?” Tawar gadis itu pelan, mulai mengemasi perkakas latihan selagi diam-diam berharap dua manusia lain di dalam ruangan itu enyah dan berhenti menyulut keributan.

* Scene 3, Seo Haejoon and Park Seojung

[Seo Haejoon]
Semilir angin malam terasa begitu menusuk kulit Haejoon. Namun temperatur disini lebih baik dibanding di ruang latihan tadi--terlalu panas.

Pemuda yang sedang duduk dengan kaki terlipat dan tangan yang seakan mengikat kakinya itu sedikit mengayun-ayunkan tubuhnya ke depan dan kebelakang. Dengan kepalanya yang mendongak keatas, menyaksikan jutaan bintang-bintang bersinar begitu terang malam itu.

Seo Haejoon menghela nafasnya sejenak. Kapan ia bisa bersinar seterang bintang-bintang itu?

Ia kemudian menengok ke arah kirinya, mengamati sosok gadis yang menjadi penyebab mengapa ia ada di tempat ini. Di atap gedung agensi mereka, menghirup udara malam sembari memikirkan hal-hal yang tak mereka ketahui satu sama lain.

[Park Seojung]
Tepat saat Haejoon memutar pandang ke arahnya, Seojung menempelkan kedua telapak tangan yang telah lebih dulu ia usap-usapkan pada botol minuman dingin yang baru saja ia beli dari kafetaria, ke pipi sang pria. Tidak dengan maksud apa-apa, murni hanya untuk mencairkan gurat kaku yang masih tersisa pada paras adam di dekatnya.

Esem tipis ia gulirkan dari masing-masing sudut bibir bersamaan, berusaha menawarkan kehangatan meski senyumannya barusan bisa saja mengandung kekhawatiran.

Menepuk pelan pipi Haejoon yang ia tangkup sebanyak dua kali, baru Seojung berhenti, ganti mengalih fokus menuju kilau gemintang di atas langit.

“Masih kesal?” Tanyanya lembut, membalas senyum bulan.

Menghalau dingin yang gencar memuntahkan amunisi untuk melolosi tulang-tulang, Seojung mendekap erat ranselnya di pangkuan.

[Seo Haejoon]
Deg.

Aliran darahnya seakan membeku ketika tiba-tiba sosok gadis disampingnya itu menempelkan kedua telapak tangannya yang dingin pada kedua pipi Haejoon. Jika diamati dengan jelas, bisa disimpulkan Haejoon terkejut dari kedua matanya yang terbuka sedikit lebih besar.

Apa yang terjadi pada Haejoon?

Namun ketika gadis itu menepuk kedua pipinya dengan tangannya, Haejoon hanya bisa memejamkan matanya dengan cukup erat walau tepukan barusan tak terasa begitu menyakitkan.

'Masih kesal?' tanya Seojung, sosok gadis yang sukses membuat Haejoon terkejut tadi.

Berbeda dengan sang gadis yang sudah mengalihkan pandangannya ke arah hamparan langit luas bahkan sebelum ia melemparkan pertanyaan barusan pada Haejoon, yang ditanya masih memusatkan perhatiannya pada gadis itu. Masih terkejut atas tindakan sang dara barusan, lebih tepatnya.

Haejoon menggeleng pelan, matanya masih memandang ke arah Seojung dengan tatapan yang belum juga berubah. Tetapi beberapa detik kemudian, Haejoon seakan tersadar dan mengedipkan matanya beberapa kali. Sedikit terkekeh atas sikap konyolnya barusan, lalu mengikuti arah pandang Seojung--menatap ke arah langit.

"Aku awalnya bisa menahan emosiku," ia memberi jeda dengan menghela nafasnya, "tapi semakin hari, ia jadi semakin keterlaluan."

[Park Seojung]
Hening sempat menjadi pengisi celah usai pertanyaan singkat yang dilontar Seojung, sebelum Haejoon pada akhirnya memberi jawaban bebarengan tolehan Seojung yang disuguhi potret pemuda itu menikmati langit malam.

Sial.

Kenapa pula Seojung jadi lupa hendak berbuat apa?

Sepersekian detik setelah dibuat tak mampu berkata-kata karena terbius pesona Haejoon tanpa peringatan, Seojung pilih menekuri ujung sepatu yang ia kenakan. Namun, teringat kalimat terakhir yang Haejoon beberkan, membuat Seojung kembali mendongak untuk memagut tampak samping sang adam.

“Dia sering berlaku seperti tadi pada oppa?” Kembali, Seojung mengurai tanya.

Kali ini, seluruh atensinya tercurah untuk menuntut penjelasan atas ketegangan yang baru saja terjadi di ruang latihan mereka.

Seojung memutar tubuh, duduk bersila menghadap Haejoon yang masih mengamati polah kejora.

“Atau kalian memang selalu bertengkar sejak lama?”

“Ah!”

Teringat sesuatu yang tiba-tiba saja menggelitik memorinya, Seojung memekik spontan; sedikit heboh sebenarnya.

“Pertengkaran kalian di koridor waktu itu—apa karena alasan yang sama?”

[Seo Haejoon]
Haejoon masih memandang ke arah hamparan angkasa saat Seojung tiba-tiba saja memberikan pertanyaan yang membuatnya terlontar ke masa lalu.

Benaknya seakan memutar kembali gulungan film tentang 'hubungannya' dengan sosok Kim Jinwoo. Dari mulai saat semuanya masih baik-baik saja hingga seperti yang sekarang terjadi ini. Haejoon terdiam selama sekitar beberapa sekon untuk memikirkannya.

Baru Haejoon membuka menarik nafas dan membuka mulutnya, mengambil ancang-ancang untuk menjawab pertanyaan oleh sang dara tadi, tiba-tiba saja Seojung kembali buka suara membuat Haejoon mengatupkan bibirnya.

'Ah! Pertengkaran kalian di koridor waktu itu--apa karena alasan yang sama?'

Butuh sedikit momen bagi Haejoon untuk bisa membuka kembali mulutnya, ia perlu memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan tambahan itu.

Haejoon mendesis, mengisi waktu selama otaknya masih berfikir keras untuk merangkai kata. "Tidak juga, maksudku--ini terlalu rumit."

Pemuda itu akhirnya mengalihkan perhatiannya pada Seojung agar bisa berbicara dengan lebih nyaman. "Kami dulu bersahabat baik," gumamnya sambil mengangguk-angguk pelan, "cukup baik," lanjutnya lagi dengan volume suara yang lebih pelan.

"Tapi, kemudian Jinwoo mendahuluiku dan debut lebih dulu. Sejak saat itu sifatnya berubah, aku tak tahu mengapa," ujarnya sambil mengangkat bahunya. Pemuda itu kemudian meregangkan ototnya dan menghela nafasnya, mengeluarkan semua beban yang terasa begitu berat di pundaknya.

"Ingin rasanya kembali ke masa lalu."

[Park Seojung]
Seojung tersenyum tipis manakala menangkap desis samar yang mencuat dari bilah bibir Haejoon, disusul jawaban yang masih terdengar abu-abu.

‘Terlalu rumit?’

Belum sempat sang dara benar-benar menyuarakan rasa penasarannya, Haejoon sudah lebih dulu memperbaiki posisi hingga keduanya berhadap-hadapan.

... Dan sementara Haejoon mengulas potongan memori tentang persahabatannya dengan Jinwoo meski teramat mendasar, Seojung pilih jadi pendengar yang baik, mengamati si pendongeng dengan air muka berubah-ubah, mengikuti emosinya.

Tertarik pada gumaman terakhir Haejoon, Seojung secara spontan menerbitkan tanya. “Apa oppa sudah pernah mencoba bicara baik-baik dengannya?”

“Maksudku… untuk memperbaiki hubungan kalian seperti sebelumnya?”

[Seo Haejoon]
Mendengar pertanyaan yang barusan terlontar dari bibir dara disebelahnya itu membuat Haejoon mengerutkan keningnya, lalu mengangkat bahunya sekilas bersamaan dengan kedua alisnya yang juga terangkat.

"Tidak ada gunanya," gumamnya kemudian.

Potret seorang Kim Jinwoo tiba-tiba saja terlintas di benak Haejoon. Dari mulai wajahnya, hingga sifat aslinya. Bagaimana Jinwoo jika sedang menghadapi masalah, bagaimana Jinwoo jika sedang merasa kesal, bagaimana Jinwoo jika sedang berada di ujung tebing, bagaimana Jinwoo jika sedang ini dan itu.

Jika kebanyakan orang akan meneliti musuhnya sebelum bertarung, Haejoon tak perlu melakukannya lagi. Haejoon sudah mendapat--terlampau--banyak informasi tentang Jinwoo. Mengingatkannya bahwa dulu mereka adalah merah sebelum menjadi magenta dan kuning.

"Jinwoo adalah orang yang sulit," sambil mulutnya terus mengeluarkan kata, benaknya terus teringat pada masa-masa dimana Haejoon sedang dihantui oleh pikirannya sendiri tentang isu yang terjadi diantaranya dan--mantan--sahabatnya itu. Bayangan kala dirinya sedang berfikir keras tentang 'apa yang harus kulakukan?' terkait masalah ini terus terngiang di pikirannya. "Beberapa kali aku memikirkan untuk mengajaknya berbicara, namun aku tahu itu semua tak akan ada hasilnya."

[Park Seojung]
Menit-menit berikutnya dihabiskan Seojung murni sebagai pendengar. Membiarkan Haejoon puas mengurai satu demi satu beban yang mungkin tengah memberatkan pundak dan memperkeruh pikiran sang adam.

Dari situ juga Seojung lalu bisa menyimpulkan kalau hubungan Jinwoo - Haejoon sebelumnya lebih baik dari apa yang sempat ia pikirkan. Setidaknya, gadis itu tahu kalau Haejoon tulus menganggap Jinwoo sebagai salah satu teman terbaiknya.

Menatap lekat-lekat Haejoon yang terlihat terpekur menyelami masa lalunya membuat dada Seojung berdesir halus entah atas dasar apa. Pada akhirnya, memaksa gadis itu mati-matian tidak memalingkan muka meski yakin sudah ada rona merah di sana.

Pernyataan Haejoon setelahnya bahkan membuat Seojung mengerjap dua kali sebagai upaya untuk mengembalikan separuh kesadaran.

“Uhm.”

Gadis itu berdeham membasahi kerongkongannya yang tersangkang, lantas tersenyum lembut selagi meremas pelan bahu Haejoon; persis seperti yang pernah dilakukan lelaki itu terhadapnya beberapa minggu silam.

“Kalau begitu, oppa yang harus lebih sabar menghadapi Jinwoo seonbae,” ucapnya diimbuhi seyum tipis.

Menumbuk sepasang penglihat lelaki di hadapannya dengan iris karamelnya yang jernih, Seojung melanjutkan dengan agak keras.

“Aku harap suatu saat kalian bisa kembali berteman baik seperti sebelumnya.”

* Scene 4, Son Jinhee and Kim Jinwoo

[Son Jinhee]
Tarikannya pada Jinwoo sudah berkurang sejak mereka keluar dari ruang latihan. Hingga mereka sampai di luar gedung, Jinhee segera melepaskan tangannya. Tapi bukan berarti mulutnya juga berhenti bekerja, sejak tadi tubirnya meloloskan komentar setengah omelan terhadap tingkah laku Jinwoo.

Dia memutar tumit untuk menghadap Jinwoo. "Kenapa kamu melakukan itu tadi?"

"Jangan lakukan hal itu lagi, buang-buang tenaga."

Netranya menatap Jinwoo lekat. "Kekanak-kanakan tahu, biarkan saja mereka berlatih, bukan urusan kita."

Jinhee memutar bola mata, setengah menyembunyikan kebohongan dalam dirinya. Tidak, dia tidak berharap Jinwoo terus bertengkar dengan Haejoon. Dia hanya penasaran dengan kehadiran Seojung, ada urusan apa perempuan itu bersama Haejoon? Sejak kapan mereka saling mengenal.

"Lagipula kalau kamu benar-benar berkelahi tadi, bagaimana caranya menyembunyikan bekas luka pukulan nanti? Jinwoo-ya, kamu seorang idol."

[Kim Jinwoo]
Pemuda ini tidak dapat banyak berkutik saat Jinhee tak henti menunjukkan amarah atas tingkahnya tadi. Bukan, bukannya ia takut. Namun mendapati Jinhee seperti ini adalah sesuatu yang ia sukai. Berarti, Jinhee peduli dan khawatir kepadanya kan? Selain itu, di mata seorang Kim Jinwoo, tingkat kegemasan Son Jinhee semakin bertambah saat sedang marah seperti ini.

"Hehe," kekehan singkat ia berikan sebagai respon atas celotehan panjang yang ditujukan kepadanya. Lantas, Jinwoo melangkah maju dan menghapus jarak di antara mereka. Kedua tangannya menangkup wajah Jinhee dan tanpa berucap apapun, pemuda ini memejamkan mata seraya menundukkan kepalanya. Dengan posisi kepala yang sedikit ia miringkan, Jinwoo memberikan sebuah kecupan di atas bibir ranum milik Jinhee. Ini adalah ciuman pertama yang terjadi di antara Jinwoo dan Jinhee.

Tidak berlangsung lama, Jinwoo kembali menegakkan posisi berdirinya di mana tangannya masih menangkup wajah Jinhee. Mencoba mengenyampingkan degup jantungnya yang terasa semakin cepat, Jinwoo pun angkat bicara dengan kepala yang mengangguk-angguk kecil. "Maafkan sikapku tadi, ya?" Pintanya dengan sebuah senyuman malu-malu, mengingat ia baru saja mencium Jinhee di hari pertama mereka menjadi sepasang kekasih.

[Son Jinhee]
Garis-garis imajiner mulai bermunculan di dahinya.

"Ya! Aku serius kenapa malah tertawa?" Jinhee menatap Jinwoo kesal.

Pupil matanya membuka lebih lebar, menyentuh batas maksimum saat tiba-tiba Jinwoo mendekat. Kontras dengan bibirnya yang kini mengatup rapat. Jinhee makin tak berkutik saat sepasang tangan besar membingkai wajahnya. Pernapasannya tiba-tiba diinvasi oleh wangi tubuh Jinwoo, membuat semua sarafnya terasa membeku. Saat kelopaknya mengerjap, sebuah benda asing telah menyentuh bibirnya.

Itu bibir Jinwoo.

Kelopaknya refleks menutup selama sepersekian detik. Lalu kembali terbuka saat si pemuda telah menjauh, disusul pipinya yang mulai terasa memanas.

"Y-ya! P-pokoknya jangan bertengkar dengan siapapun lagi."

Hazelnya meliar, menatap apapun asal jangan si obsidian.

Tapi gagal, korneanya malah berhenti di bibir Jinwoo.

Akhirnya dia memberanikan diri untuk menatap figur yang masih menangkup wajahnya, membuat panas tadi terasa menjalar hingga sepasang telinganya.

[Kim Jinwoo]
Jinwoo terkekeh. Ia menyempatkan diri untuk menyubit pipi gadisnya itu sebelum melepaskan tangkupan tangannya dari wajah Jinhee. "Iyaaa," ujarnya dengan nada yang terdengar sedikit mendayu.

Senyuman tak kunjung sirna dari wajah Jinwoo. Seolah tak ingat dengan kejadian yang terjadi sebelum ini, ia merasa betul-betul bahagia dan Jinhee adalah alasannya.

Agar tidak disangka kurang waras karena tak henti tersenyum, pemuda bermarga Kim ini mengalihkan pandangannya ke langit-langit yang tampak begitu gelap karena memang ini sudah terlalu larut. "Ayo pulang," ajaknya, dengan kepala yang kembali menoleh ke arah Jinhee. "Kamu harus banyak istirahat agar besok kamu tidak kelelahan dan...," ucapannya terhenti, Jinwoo mengulurkan tangannya untuk mengacak rambut gadis di hadapannya, "...agar kamu tidak sakit," lanjutnya.

Jinwoo juga mengajukan diri untuk mengantarkan Jinhee pulang. Atau lebih tepatnya ... menemani berjalan. Berhubung ia belum memiliki kendaraan pribadi dan memang belum cukup usia untuk memiliki surat izinnya.

Entah mengapa, waktu sering kali terasa lebih cepat kalau kau sedang bahagia. Contohnya, saat ini. Ketika Jinwoo sedang bersama Jinhee dan mengantar gadis itu pulang.

* Scene 5, Seo Haejoon
Untuk kesekian kalinya pada jam itu, Haejoon menghela napasnya. Berusaha melenyapkan perasaan gugup yang ada di dalam dirinya. Seo Haejoon menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku tersebut, mengistirahatkannya sejenak.

Haejoon berani bertaruh, ia bukanlah satu-satunya orang yang merasakan hal sejenis ini di dalam ruangan tersebut. Semua yang ada di sini pasti juga merasakan hal yang serupa. Sekitar empat puluh orang trainee berkumpul di auditorium ini, duduk di bangku penonton menyaksikan panggung yang sedang ditata sedemikian rupanya.

Tak butuh waktu lama hingga panggung dihadapannya selesai didandani, kamera mulai dinyalakan dan salah seorang seniornya yang akan menjadi mc dari acara tersebut mulai berbicara membuka acara tersebut.

Beberapa waktu yang lalu, Haejoon mendapat kabar bahwa dirinya dan 39 orang trainee lainnya akan diikutsertakan dalam sebuah survival show yang diselenggarakan oleh agensi mereka bekerja sama dengan sebuah stasiun televisi. Tentu Haejoon tak bisa berhenti memikirkan hal itu. Ini adalah sebuah kesempatan besar baginya untuk menunjukkan kemampuannya.

Haejoon tak begitu fokus saat sang pemandu acara berbicara di depan sana. Ia masih sibuk dengan pemikirannya sendiri, membayangkan bagaimana acara ini nantinya. Memikirkan bagaimana caranya untuk memikat para juri dan mengalahkan 39 orang lainnya yang rata-rata memiliki masa training yang lebih singkat dari Haejoon. Karena kalau sampai ia kalah, harga dirinya akan lebih hancur lagi.

Entah Haejoon yang terlalu lama berfikir, atau memang acara ini berlangsung begitu cepat, tak terasa sudah tiba saatnya untuk pembagian tim.

Layar besar menampilkan pembagian tim dalam survival show tersebut. Semua peserta akan dibagi menjadi sepuluh tim dengan empat orang anggota per timnya sesuai dengan major mereka. Para trainee dipersilahkan untuk berjalan ke panggung dan berkumpul bersama anggota tim mereka. Senyuman terulas begitu saja di wajah Haejoon tatkala ia menyadari siapa saja teman se-tim-nya; Youngil, Kwanghyun, dan Daehwan, mereka menjadi grup sembilan. Haejoon sudah cukup akrab dengan ketiganya mengingat major mereka sama dan mereka sering latihan bersama. Sesampainya Haejoon di panggung, ia langsung disambut hangat oleh ketiga anggota timnya yang lain.

"Ya, sekarang waktunya untuk mengumumkan mentor dari masing-masing grup. Seperti yang sudah saya katakan tadi, setiap grup akan memiliki satu mentor yang merupakan idol dari agensi ini."

Ucapan dari sang pembawa acara barusan sontak membuat Haejoon dan yang lainnya menengok dan berhenti bersuka cita. Suasana kembali menjadi hening karena semua orang juga merasa gugup tentang siapa yang akan menjadi mentor mereka.

Satu persatu nama idol disebutkan disusul dengan tepukan tangan dari orang-orang yang berada di auditorium tersebut. Haejoon dan ketiga anggota grupnya yang lain tak henti-hentinya mengamati pergerakan mc dan idol yang berjalan menghampiri grup mereka.

"Aku harap kita bisa dapat anggota Cherry sebagai mentor," ujar Daehwan tiba-tiba dengan volume suara yang sangat pelan.

"Bodoh, kita pasti akan dimentor oleh salah satu anggota Break!" Timpal Youngil yang juga berbisik.

Haejoon tak ikut dalam percakapan kecil tersebut. Manik matanya masih terfokus pada para idol yang berjalan menaiki panggung dan bergabung dengan timnya. Hingga matanya tak sengaja menangkap sosok Jinwoo berdiri diantara idol lain yang belum disebut namanya. Sontak, Haejoon langsung mengalihkan pandangannya ke sisi lain ruangan tersebut.

Haejoon bersumpah, kalau sampai grupnya di mentori oleh manusia sialan yang satu itu, ia akan--

"Grup sembilan akan dimentori oleh...

Kim Jinwoo dari Break."

Haejoon langsung menengok ke arah pembawa acara dengan tatapan tak percaya, sementara yang lainnya sibuk bertepuk tangan.

Kesialan macam apa lagi yang akan menimpanya nanti?

* Scene 6, Kim Jinwoo
Hari kembali berganti. Pemuda bermarga Kim ini tampak masih bermalas-malasan meski sang mentari sudah berada dalam perjalanan menuju singgasana tertingginya. Pasalnya, kemarin sebuah pengumuman besar baru saja diberikan oleh HERO Entertainment kepada trainee—Survival Show RAISE guna mendapatkan calon-calon idol baru. Cherry sebagai grup perempuan pertama dari HERO, beserta BREAK selaku grup laki-laki, dijadikan mentor untuk para trainee itu. Dan pagi ini, seharusnya Jinwoo sudah siap sedia untuk mengawasi prosesi latihan sekaligus membuat peningkatan dalam penampilan para trainee itu.

Lalu, apa yang menyebabkan kemalasan seorang Kim Jinwoo? Bukankah harusnya ia berbangga hati karena dapat menjadi seorang mentor?

Jawabannya tak jauh dari seseorang, yakni Seo Haejoon. Ada sekitar 40 trainee, mengapa bisa dari segala kemungkinan yang ada ia dipasangkan dengan kelompok Seo Haejoon? Keberuntungan? Apakah ini bisa disebut-sebut sebagai keberuntungan, mengingat kejadian kurang mengenakkan tempo hari?

Drrrt. Drrrt. Drrrrrrt.

Ponselnya bergetar hebat, membuat Jinwoo mau tak mau membuka kedua mata untuk memeriksa siapa pelaku yang membuat kegiatan malasnya terusik. "Tch," decaknya sembari bangkit berdiri, lalu menghempaskan ponselnya begitu saja ke atas ranjangnya.

Sudah nyaris dua jam Jinwoo mengulur waktu, rupanya sang manager dari BREAK mulai tidak dapat menahan emosinya lagi. Pria awal 30-an itu baru saja mengirimkan pesan singkat yang meminta Jinwoo untuk segera berangkat menuju gedung HERO Entertainment, mengingat kelompok sembilan yang akan ia mentori sudah menunggu lama.

"Sial, padahal dua jam belumlah cukup. Bukankah seharusnya mereka bisa menunggu lebih lama lagi? Seo Haejoon saja bisa menunggu lebih dari empat tahun," gerutunya kesal, sembari mempersiapkan diri untuk berangkat menuju gedung agensinya itu.

* Scene 7, Seo Haejoon and Kim Jinwoo

[Seo Haejoon]
'Huh...'

Lenguhan nafas entah tanda lelah atau kecewa kembali terdengar untuk yang kesekian kalinya di ruangan itu pada hari itu, membuat Haejoon yang terus-menerus disuguhi suara semacam itu ikut merasa lelah juga.

Tidak, mereka bukannya habis melakukan latihan disana. Keempat lelaki itu bahkan belum mengeluarkan keringat sama sekali hari ini.

"Berapa lama lagi ia akan sampai?" tanya Youngil, salah satu anggota satu tim Haejoon pada sebuah survival show bernama 'Raise' yang diadakan oleh agensi mereka.

Haejoon yang sedari tadi hanya memperhatikan kedua kakinya yang tak berhenti bergerak--karena memang tak ada hal lain yang menarik baginya untuk diperhatikan--akhirnya merasa kesal juga.

Tim mereka memiliki jadwal latihan hari ini bersama Jinwoo yang notabenenya adalah mentor mereka untuk salah satu episode itu. Namun sudah nyaris dua jam mereka menunggu kedatangan sang mentor, namun senior mereka itu belum juga terlihat batang hidungnya.

"Argh~ kenapa kita harus dimentori oleh dia, sih?" tanya Daehwan kemudian.

Haejoon hanya melirik ke arah Daehwan saat pemuda itu berbicara, ia memang tak mengeluarkan kalimatnya. Ia sudah terlalu lelah menyumpahi senior mereka yang satu itu di dalam hati dan diwaktu yang bersamaan juga berusaha meredam emosinya dihadapan teman-temannya itu.

[Kim Jinwoo]
Meski jarak antara dorm dan agensinya terbilang tidak begitu jauh. Managernya tetap memaksa Jinwoo untuk menaikki van yang tersedia, walau pemuda ini ingin sekali berjalan kaki agar dapat mengulur waktunya lagi.

Perjalanan hanya ditempuh sekitar 10 menit saja. Setibanya Jinwoo di lobby Hero Entertainment, seorang staff berkacak pinggang dan menatap Jinwoo dengan tajam. "Ada apa sampai kamu terlambat begini? Ayo, cepat. Mereka sudah menunggu dua jam," ujar staff tersebut yang hanya disahuti Jinwoo dengan permintaan maaf sederhana dan bungkukkan tubuhnya. Setelahnya, pemuda bermarga Kim ini pun izin agar dapat segera menuju ruangan di mana para trainee telah menunggunya. Ruangan di mana ada Seo Haejoon di dalamnya.

Klek.

Suara pintu terbuka terdengar tanpa adanya ketukan terlebih dulu. "Halo," sapanya dengan teramat santai, seolah ia tidak memiliki kesalahan apapun. "Sudah ada yang pemanasan?" Tanyanya kepada 3 trainee lelaki yang ia tidak ingat jelas namanya. Kalau tidak salah ... Daehwan, Youngil, dan Kwanghyun. "Oh, Haejoon hyong!" Sapanya lagi, terdengar lebih bersemangat dengan seringai di wajahnya. "Jangan terlalu memaksakan diri untuk pemanasan, bukankah empat tahun menjalani pemanasan sudahlah cukup?" Ujarnya dengan nada akhir yang menggantung, sehingga terdengar bak pertanyaan. Jinwoo tidak menatap sosok yang ia mengucapkan kalimat tersebut. Pemuda itu tengah disibukkan dengan tali sepatu sneakersnya yang terlepas, membuatnya harus merunduk dan mengikatnya kembali.

Namun ternyata, kegiatas mengikat tali sepatu itu tidak membuat ia berhenti berucap. Seolah ingin membuat Seo Haejoon merasakan panas luar dalam, ia kembali melancarkan aksi pemanasan versinya kepada karibnya 2 tahun silam. "Kau kan sudah jago, hyong. Jinhee saja berhasil kau buat panas akibat perbuatanmu," lanjutnya lagi, seraya menegakkan tubuh setelah tali sepatunya terikat sempurna. Jinwoo pun mengambil langkah maju untuk menghampiri Haejoon. "Apa kabar gadis di malam itu? Seojung...? Ah, tidak ingat. Intinya gadis yang hyong sukai sampai Jinhee kau sia-siakan," tuturnya tanpa jeda, seolah ingin memberikan hantaman bertubi-tubi kepada Haejoon. Sudut bibir kirinya semakin terangkat, membuat seringainya semakin jelas. Entah bagaimana bisa, namun rasa puas karena menyerang Haejion adalah sebuah adiksi tersendiri baginya.

[Seo Haejoon]
Merasa sudah tak betah menunggu sang mentor, akhirnya Haejoon memutuskan untuk berdiri dan melakukan peregangan. Pemuda itu kemudian berjalan menuju cermin besar yang menempel pada salah satu sisi ruangan latihan tersebut dan mulai bergerak sambil mengamati pergerakan tubuhnya pada cermin.

Mereka memang belum membahas apa-apa untuk penampilan mereka nanti, namun mungkin dengan begini waktu akan terasa berjalan lebih cepat dan Haejoon bisa mendapatkan inspirasi juga dari salah satu koreografi yang dipelajarinya beberapa hari silam itu.

"Halo," suara yang tiba-tiba terdengar didahului oleh suara pintu yang terbuka itu membuat Haejoon sedikit melirik ke arah pantulan pintu dan sosok si pemilik suara tersebut dari cermin besar dihadapannya. Sudah terlambat, berjalan pun seperti tak ada dosa di punggung.

Seo Haejoon pun memutuskan untuk tak memperdulikan kedatangan dan sapaan mentor yang dianggapnya tak berguna itu dan kembali memfokuskan pandangannya pada cermin dihadapannya, kembali menggerakan tubuhnya sesuai dengan alunan musik yang hanya dilantunkannya di dalam hati.

'Jangan terlalu memaksakan diri untuk pemanasan, bukankah empat tahun menjalani pemanasan sudahlah cukup?'

Sial.

Youngil, Daehwan, dan Kwanghyun menatap ke arah Jinwoo dan kemudian ke arah Haejoon secara bergantian dari posisi mereka yang cukup terpisah jauh. Sementara Haejoon sedang kesulitan untuk memfokuskan pikirannya, ia tak mau salah menarikan gerakan hanya karena setitik parasit.

'Kau kan sudah jago, hyong. Jinhee saja berhasil kau buat panas akibat perbuatanmu,'

Kwanghyun yang sedang berjalan ke arah Youngil tiba-tiba menyiku temannya itu dan berbisik 'Apa-apaan itu?', Haejoon pun sebetulnya bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Namun pemuda itu hanya menggelengkan kepalanya, berusaha untuk meredam amarahnya. Haejoon tidak bisa bersikap kekanakan dan mudah terpancing seperti ini. Tidak bisa.

'Apa kabar gadis di malam itu? Seojung...? Ah, tidak ingat. Intinya gadis yang hyong sukai sampai Jinhee kau sia-siakan,'

Haejoon yang sedari tadi sempat memejamkan matanya untuk beberapa saat akhirnya membuka matanya, namun tatapan seriusnya kini sudah berganti menjadi semakin gelap. Kali ini Haejoon dapat mendengar perkataan Youngil yang mempertanyakan tentang apakah Haejoon benar menyukai Park Seojung.

"Apakah kau tidak punya bahan cacian lain? Aku sudah muak mendengar yang satu itu, Jinwoo-ya" ujar Haejoon yang akhirnya buka suara, namun masih melirik Jinwoo dari pantulan di cermin.

Pemuda itu akhirnya memutar tubuhnya dan perlahan berjalan ke arah Jinwoo. "Trainee-empat-tahun, Jinhee, trainee-empat-tahun, Jinhee, carilah topik lain yang lebih segar!" Ujar Haejoon masih dengan nada santainya.

"Lihatlah dirimu sendiri, menjadi mentor saja tidak becus. Apa kau hanya debut karena faktor beruntung?" tanya Haejoon berusaha untuk memutar balikan keadaan, posisinya kini semakin dekat dengan Jinwoo.

Saat dirinya sudah hanya tinggal beberapa langkah dari Jinwoo, Haejoon kembali berucap. "Ah, dan juga...," pemuda itu lalu melayangkan sebuah pukulan dari kepalan tangannya tepat di depan wajah Jinwoo. "Jangan menyerang seperti seorang wanita," tepat setelah merampungkan kalimat itu, Haejoon melayangkan kakinya dan menendang 'seniornya' itu dengan cukup keras.

[Kim Jinwoo]
Jinwoo mendengus, tanda kalau ia sedang menahan tawa. "Berikan saya topik lain kalau begitu, hyong. Kau tahu sendiri jadwal BREAK sedang padat, tidakkah kau ingin memberitahu kabarmu yang masih memegang setia status trainee itu?" Lagi, kalimat tidak mengenakkan hati kembali diutarakan Jinwoo dengan lugas tanpa rasa bersalah.

Balasan ucapan dari Haejoon sama sekali tidak ia indahkan. Menyerang seperti wanita? Ah, itu sih memang pikiran Haejoon saja yang sepertinya selalu menjurus ke wanita. Hendak membalikkan badan guna menyapa ketiga trainee lain, Jinwoo justru mendapati hal lain yang harus membuatnya mengurungkan niat tersebut. Sebuah tendangan keras mendarat di tulang kering kakinya. Membuat ia meringis dan jatuh berlutut karena tersentak kaget, sekaligus kesakitan. Giginya bergemelutuk, Jinwoo menengadahkan kepalanya dan menatap Haejoon. Tatapannya begitu tajam, bak makhluk buas yang sedang kelaparan. Tangannya terkepal kuat dan ... sebuah tinjuan cukup kencang ia berikan ke wajah Haejoon tepat saat Jinwoo kembali berdiri.

Seakan belum cukup, Jinwoo mengambil langkah maju dan menarik paksa kerah atasan yang dipakai Haejoon. "Jadi, ini yang dinamakan menyerang seperti lelaki, hyong? Dengan kekuatan otot? HAH?!" Jinwoo mengencangkan cengkramannya pada kerah Haejoon, seiring nada bicaranya yang kian meninggi. Di sisi lain, baik Daehwan, Youngil, maupun Kwanghyun nampak berbisik untuk mendiskusikan langkah apa yang paling tepat untuk mereka lakukan detik itu.

Pemuda bermarga Kim ini akhirnya melonggarkan cengkramannya, namun ini belum selesai. Detik kemudian, ia menghempaskan tubuh Haejoon ke lantai dengan kuat sebelum pria itu membalas ucapannya. Jinwoo berdiri melangkahi tubuh Haejoon, bersiap untuk melayangkan tinjuan keduanya. Tetapi sayang, Daehwan dan Kwanghyun terlebih dahulu menahan pergerakannya dari sisi kanan dan kiri tubuhnya. "Sunbae, kumohon hentikan," bisik Daehwan, sementara Jinwoo tetap berusaha melepaskan diri dari tahanan kedua trainee tersebut. Di kesempatan yang sama, Youngil berhasil membantu Haejoon untuk menjauh dari Jinwoo dan sedang melakukan hal yang sama dengan Daehwan, yakni mencoba membuat Haejoon untuk tidak melakukan perlawanan balasan.

* Scene 8, Son Jinhee
'...Jinhee...'

Sang indra mengirimkan namanya yang disuarakan dalam percakapan antara dua jenis vokal yang amat dia kenal membuat langkah Jinhee terhenti. Tumitnya diputar membuat tubuh si gadis menghadap sepenuhnya ke salah satu ruang latihan dengan pintu terbuka, seolah disiapkan untuk mempertontonkan apa yang tengah terjadi di dalam sana.

Percakapan dua anak adam yang jauh dari kata bersahabat.

Sebuah pukulan mulai berpartisipasi ditengah adu mulut mereka. Membuat tungkainya yang baru membuka kembali mundur beserta kelopaknya yang secara refleks tertutup. Tak sanggup melihat adegan selanjutnya.

Itu Jinwoo dan Haejoon.

Hazel kecoklatan itu memberanikan diri untuk kembali muncul. Ekspresinya menyendu. Ini kali pertama Jinhee menyaksikan pertengkaran mereka secara fisik.

Kenapa hubungan mereka berdua makin memburuk?

Lagi, matanya memutuskan untuk kembali menutup selama beberapa detik. Tak kuasa menyaksikan keduanya saling melukai. Melihat kedua pemuda itu membuat rongga dadanya seakan terbentur benda keras, sesak dan menyakitkan.

Bukannya Jinwoo mengiyakan ucapannya untuk tak berkelahi?

Baru saja sebuah perintah ditujukan kepada sepasang pengampunya, Jinhee mengurungkan arahan pusat sarafnya untuk menerobos masuk saat sebuah fakta baru dia dapatkan.

Diantara rasa sesaknya, sebuah asa mulai bergejolak. Jinhee menghela napas, berusaha menghilangkan sakitnya. Tapi nihil, jantunya malah berdenyut lebih keras lagi.

'Haejoon dan Seojung... sejak kapan?'

Kedua tangannya meremat ujung baju yang dia kenakan, manifestasi dari seluruh perasaannya.

Jinhee memutuskan untuk melangkah ke arah berlawanan, menerobos kerumunan trainee yang mulai menyemut di pintu.

Diiringi ketukan sepatu yang sama cepat dengan detak jantungnya, dia mengarahkan langkahnya ke studio.

Jinhee menerobos masuk kala ruangan itu ditempati orang yang dia cari. Menghiraukan tanda tanya yang dilayangkan penghuninya

Jinhee berhenti tepat di hadapan seorang gadis. Melihatnya saja membuat keadaannya makin tak stabil. Segala jenis emosi yang dia rasakan seakan berkumpul pada kuasa kanannya.

Plak!

Menghasilkan sebuah tamparan keras kala telapaknya bersinggungan dengan pipi Seojung.

Jinhee sepenuhnya menghiraukan segala suara sebagai reaksi yang ditujukan untuknya.

Napasnya memburu memburu dengan kedua tangan yang kini terkulai lemah disisi-sisi tubuhnya. Kontrol diri Jinhee hancur saat hatinya mulai tak berdaya menghalau serangan rasa sakit.

* Scene 9, Park Seojung and Son Jinhee

[Park Seojung]
Kebersamaan yang tak jarang dilingkupi gelak tawa, sukses menggusur kemelut yang menggandoli batin Seojung satu minggu terakhir ini.

Berada di tengah lingkungan yang menerimanya dengan hangat serta membekalinya banyak pelajaran tak hanya soal menyanyi dan menari, membuat gadis penyandang marga Korea Park itu lupa tentang keputusasaan atas kritik pedas yang ia dapat saat bulan evaluasi.

Paling tidak gurat bahagia masih jelas memeta paras ayu sang dara selagi ia duduk bersila membentuk lingkaran dengan teman-temannya, berdecak kagum pada pengiring akapela yang dicipta salah satu rekan dalam kelompok yang dimentori seorang seniornya, Juyeon.

Sampai tiba-tiba saja, bunyi ketukan langkah gusar menyalip canda mereka, berhenti persis di hadapan Seojung dan membuat gadis itu menganga.

‘PLAK!’

Satu tamparan keras mendarat, menyisakan jejak merah pada pipi pualamnya.

“YAAA!!”

Alih-alih murka menanggapi tindak kekerasan yang baru dialaminya, Seojung justru dibuat terkesiap saat Juyeon lebih dulu menyalak, menuding wajah Jinhee dengan desisan tajam.

“… Apa sebenarnya yang baru saja kau lakukan, hah?”

[Son Jinhee]
Pandangannya berkabut, pun dengan telapak yang kini terasa panas serta kebas. Entah seberapa kuat tamparan yang dia layangkan. Yang pasti emosinya yang kian menumpuk sebagian tersalurkan.

Ya hanya sebagian.

Dengungan suara yang dihasilkan penghuni ruangan lain seolah diblokir oleh rungunya. Tak dia pedulikan pula seorang senior yang sangat ia hormati. Kali ini Jinhee sadar perbuatannya sangat gegabah, tapi Seojung telah menyulut api yang lebih besar diantara Jinwoo dan Haejoon. Setidaknya Jinhee menganggapnya seperti itu.

Memangnya siapalagi?

Hanya saja Jinhee tak sadar bahwa dibanding Seojung, dialah asal api tersebut.

Mengabaikan lebih banyak lagi hardikan yang ditujukan untuknya, Jinhee menyeret paksa Seojung keluar ruangan. Digenggamnya pergelangan tangan gadis yang pernah menjadi 'temannya' itu menuju tangga darurat.

Kuasanya menghempaskan tangan Seojung keras setelah pintu tertutup.

Tapi tak satu pun kalimat dikeluarkan tubirnya. Jinhee mendengus keras, berusaha menahan air di pelupuk matanya yang kian memerah.

[Park Seojung]
Setelah keterkejutan atas tamparan keras Jinhee dan teriakan seniornya mulai mereda, Seojung baru bisa mendeteksi denyut yang ia dapat di pipi; nyeri… dan panas juga ternyata.

Tapi, daripada merasa marah, Seojung justru lebih seperti bingung menanggapi kekacauan yang baru saja membumihanguskan keceriaan tempat latihannya.

Sorot mata Jinhee yang nyalang tak ramah.

Juga dada Juyeon yang naik-turun sementara pemiliknya menahan amarah.

Tak berjeda lama, kasak kusuk tak nyaman semakin nyata menyesaki atmosfer yang menaungi mereka. Bahkan, beberapa diantara peserta tak segan melontar protes karena sama tidak sukanya pada tingkah konyol Jinhee sebelumnya.

Jinhee sendiri mungkin enggan menanggapi sampai akhirnya memilih menyeret Seojung menjauhi kerumunan. Membuat ‘si korban’ ternganga, makin penasaran.

Tepat saat cekalannya diurai dengan kasar, gadis dengan marga Park itu memuntahkan tanya yang sejak tadi tersangkang di tenggorokan.

“Jinhee-yaa, kau ini sebenarnya kenapa?”

[Son Jinhee]
Isi kepala Jinhee telah penuh oleh susunan panjang kalimat yang berbaris rapi. Kenyataannya tak satu pun kata lolos dari sepasang bibir merah muda yang terkatup rapat.

Kedua tangannya mengepal erat. Salah satu usaha untuk menyalurkan emosi dan menahan air matanya.

"Kau memang tidak sadar dengan tingkah lakumu ya Seojung? Lihat apa dampak dari perbuatanmu!" Jinhee menghembuskan napas kasar saat suaranya mulai meninggi.

"Jangan coba-coba untuk mengusikku," ancamnya pelan, serta mematikan.

"Kita berada di level yang berbeda, Park Seojung." Dia mendesis. "Aku berada di tempat yang tidak akan bisa kau jangkau, bahkan mendongakkan kepala saja, kau pun tak akan bisa melihatku."

Jinhee berbalik, berjalan meninggalkan Seojung dan mulai menaiki tangga. Sepatunya meniti setiap anak tangga, seiring tetes air mata yang mulai menganak di pipinya.

Tubuhnya ambruk entah di lantai ke berapa, duduk meringkuk di salah satu undakan.

Bayangan Haejoon dan Jinwoo yang saling menyakiti satu sama lain kembali melintas. Selama ini dia pikir pertengkaran mereka tak akan sejauh itu. Ditambah dengan satu fakta yang dia peroleh. Sejak malahindari Jinhee telah menolak segala kemungkinan tentang kebersamaan Haejoon dan Seojung. Mendengarkan secara langsung satu hal yang mati-matian dia hindari, seakan menjadi satu serangan telak yang melumpuhkan perasaannya.

'Jadi Haejoon menyukai Seojung?'

Butuh waktu bertahun-tahun untuk menekan perasaannya kepada Haejoon. Dan tanpa perjuangan berarti, Seojung berhasil merubuhkannya.

Jinhee telah mengantisipasi balasan Seojung atas apa yang dia perbuat. Tapi bukan seperti ini jenis balas dendam yang ingin dia terima.

Seojung telah menyerang titik yang salah.

* Scene 10, Han Yumi
"One, and two, three, and four.”

Pantulan cermin di salah satu sisi ruang melukiskan potret lima orang dara, bergerak apik senada ketukan yang tercipta dari hentakan tumit. Hampir tampak sempurna tanpa celah, kecuali untuk seorang gadis bertubuh mungil yang menempati posisi sudut.

Benar, disinilah Han Yumi, terjebak dalam ruang latihan bersama tiga rekan yang tak henti menatap pantulan figurnya lewat cermin. Belum genap satu minggu sejak pengumuman mengenai survival show “Raise” disuarakan, mendorong tiap-tiap trainee untuk mengisikan seluruh detik dengan rutinitas latihan.

Ini kali pertama dirinya menari sekeras ini, begitu keras hingga tetesan keringat membanjiri seluruh tubuh. Persendian miliknya mulai berdenyut seiring tiap gerakan yang dipimpin Hyomin – penari dari group Cherry yang kini mengambil alih posisi trainer untuk major dance. Dengan susah payah Yumi mengikuti gerakan yang dicontohkan, kerap tertinggal dalam beberapa ketukan tembang. Bukan maunya, Yumi memang cukup kesulitan dalam mengingat maupun melakukan tarian. Butuh beberapa kali pengulangan hingga sang dara mampu menguasai suatu ragam gerak.

“Bruk”

Pancaran sinis dari binar milik rekan di sisi kiri menyambut, tertuju tajam pada Yumi saat tanpa sengaja tungkai milik keduanya beradu. Kesalahan lain, entah berapa kali kata maaf ia luncurkan dari tubirnya hari ini. Yumi menghela napas dalam lelah tatkala gerakan lain yang ia buat tak sesuai ritme. Rasanya sia-sia, tak ada satu gerakan baru pun yang ia ingat walau peluh telah membanjiri seluruh tubuh. Sang dara menghentikan ayunan tungkai seketika, menatap kesal ke arah ubin tempatnya bepijak.

“Kenapa tidak ikut menari? Apa ada gerakan yang sulit untukmu?” Ucap Hyomin diiringi tatapan tajam lewat cermin, sontak menyadarkan Yumi dari lamunan yang sempat menyelimuti ruang benak.

Mendengar teguran dari Hyomin, Yumi memasangkan senyuman canggung di wajah seraya mencoba menemukan gerakan tersulit menurutnya. Hampir seluruh gerakan tampak sulit untuk Yumi, hingga jeda berpikir sempat mengisi ruang ketika dirinya tengah memutar otak.

“Bagian kedua setelah awal, Sunb--”

“Hyojung, tolong lakukan bagian chorus yang baru saja kita pelajari.” Ucap Hyomin cepat, bahkan tak memberi kesempatan bagi Yumi untuk menyelesaikan kalimat.

Diiringi sebuah seringai di wajah, Hyojung memulai tarinya, menyesuaikan ketukan pada tiap ayunan kedua lengan. Sorotan mengejek terlukis di iris hazel miliknya, seolah mengolok Yumi yang bahkan tak dapat melakukan gerakan awal dengan benar. Yumi tak sedikitpun bergerak, hanya menatap tiap gerakan yang dibuat sang dara tanpa bergeming. Benak perlahan memulai rutukan untuk diri sendiri, kesal karena sekeras apapun upaya yang ia kerahkan, Yumi tak dapat melakukan tarian dengan baik.

“Sudah? Bisa kau ulangi gerakan yang sama?”
Tutur Hyomin sebagai penutup dari tarian Hyojung.

Hening. Yumi menggeleng cepat, menunduk dalam hingga ekspresi sang trainer tak terjangkau oleh netra miliknya.

“Lakukan cepat Han Yumi.”

Gelengan lain dilakukan oleh sang dara, menjawab kalimat berintonasi tinggi yang terlontar dari tubir Hyomin.

“Ah aku bisa gila. Apa boleh aku merutuk murid di kelas? Apa kau pikir ini main-main? Kau lamban dan bahkan tak mau berusaha?”

Kalimat Hyomin sontak bergema dalam ruang, sontak menarik sunyi tanpa ada satupun suara maupun gerakan yang tercipta. Tiap trainee tampak mengulum senyuman, seolah puas dengan reaksi yang di berikan Hyomin pada polah Yumi. Senyuman kian melambung di wajah para gadis tatkala sang tutor menyeret tungkai kasar menuju pintu, memukulkan telapak tangannya kuat hingga rona kemerahan menghiasi. Detik kemudian, jemarinya bergerak menuju knop, membuka lebar pintu hingga pemandangan lorong tampak jelas menyambut.

“Kau hanya membuang waktuku dan teman-teman lain. Pergilah keluar dan jangan kembali hingga seluruh gerakan telah kau kuasai.”

Diringi bisu miliknya, Yumi menggerakkan tungkai lunglai meninggalkan ruang latihan. Tiap kritikan terus mengiang, seolah menggema pada lorong rungu milik sang dara. Malu dan kesal, Yumi berharap sel-sel otak miliknya dapat bekerja secepat ketiga rekan yang sejak tadi menyimpan bahagia, layaknya insan yang rampung membalaskan dendam. Bulir air mata mulai mengisikan ujung netra tatkala figurnya bergerak turun menuju posisi jongkok, menyisakan samar-samar isak tercekat yang mengisi hening lorong.

* Scene 11, Goo Sanghyuk and Han Yumi

[Goo Sanghyuk]
Kedua tungkai jenjang nan kuat tersebut melangkah, menciptakan suara khas antara sol sepatu dan lantai keramik yang saling berbenturan. Siulan kecil keluar dari mulutnyaㅡ Sanghyuk baru saja selesai dari pertemuan singkatnya bersama presdir, kini ia kembali ke kamarnya.

Beberapa ruangan latihan ia lewatiㅡ dentuman musik pelan memasuki rungu Sanghyuk, menandakan bahwa beberapa trainee tengah berlatih koreo mereka masing-masing. Kebanyakan adalah gadis yang seumuran dengan Sanghyukㅡ wajarlah.

Hingga saat itu ia tak sengaja melewati salah satu ruang latihan tanpa musik didalamnya, tanpa hentakkan kaki dan suara yang ia dengar. Namun sukses membuatnya berhenti melangkah.

Bukan, ruang latihan tersebut sama saja seperti yang lain. Berlantai kayu licin dengan kaca sebagai dinding, tak ada yang spesial. Namun justru, sosok kecil yang kini telah berjongkok di sudut ruang tersebut yang menarik perhatian sang adam.

Gadis tersebut tampak menyembunyikan wajahnya diantara lipatan tangannya, bahunya bergetar; tanda dirinya terisak. Han Yumiㅡ entah mengapa Sanghyuk begitu yakin kalau sosok mungil yang ia lihat ini adalah Yumi.

Alih-alih meninggalkan sang gadis sendirian, Sanghyuk justru berbalik, memilih melangkahkan kakinya masuk ke ruangan kosong tersebut; menghampiri dara yang tengah bermuram durja itu.

"Yumi-ssi?" panggilnya pelan. Teruna tinggi tersebut ikut berjongkokㅡ mensejajarkan wajahnya dengan Yumi yang kini masih terlihat tampak terisak.

"Kau menangis?" Tangannya dengan jahil menyusup disamping wajah Yumi, meraih dagunya dan mengangkatnya dengan cepat, menampilkan wajah dara bermarga Han tersebut yang tengah memerah; tampak berantakan.

"Ada apa? Kau sungguh terlihat sangat jelek kalau menangis, aku tidak bohong."

[Han Yumi]
“Yah! Apa yang kau lakukan?” ucap Yumi seraya menepis kuasa milik sang adam – yang ia sadari adalah sosok menyebalkan di hari lalu.

Relung kecil di dadanya sempat bergetar sejenak tatkala netra bertemu pancaran binar milik si pemuda. Jemarinya sontak menyeka wajah, menghapus jejak-jejak yang tertinggal dari bulir airmata. Yumi tak ingin dikasihani, terlebih lagi oleh sosok tak dikenal dihadapannya. Sang dara menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum meloloskan jalinan frasa lain dari celah tubir.

“Bukan urusanmu. Pergilah jangan ganggu aku!”

[Goo Sanghyuk]
Kekehan kecil lolos dari tubir sang adam. Masih dengan tetap berjongkok agar wajahnya tetap sejajar dengan Yumi, Sanghyuk menaikkan satu alisnya.

"Galak sekali, sih? Kau harusnya ramah pada orang baru, tahu." dengus Sanghyuk. Tangannya /kembali/ dengan jahil mengusak surai Yumi.

Menggemaskan juga gadis didepannya ini.

"Hum, biar kutebak," Sanghyuk memasang pose berpikir sebelum menatap lurus netra sang dara. "Melakukan banyak kesalahan saat latihan? Lalu dimarahi salah satu anggota grupmu?"

Well, hanya tebakan. Jika biasanya Yumi terlihat selalu tersenyum karena menerima pujian dari anggota grupnya –Sanghyuk pernah sempat mendengarnya–, mungkin saja kini ia bersedih karena hal sebaliknyaㅡ dimarahi?

[Han Yumi]
Tepat sasaran.

Entahlah bagaimana si pemuda dapat mengetahui kegundahan Yumi – Apa mungkin ia bukan manusia? – tetapi hal tersebut membuat rasa kesalnya kian bertambah. Emosinya mungkin akan meledak dari pucuk kepala, jika bukan karena ekspresi si pemuda yang hampir mengundang tawa. Sang dara tanpa sadar mengerucutkan bibir, sesungguhnya tak berniat berpolah lucu di hadapan sang adam, sebelum membalas usapan jemari di helaian surai milik sosok dihadapan.

“Kau itu menyebalkan. Kenapa harus muncul lagi di depanku?” ucap Yumi, tanpa sadar mengeluarkan kata perlahan dengan nada melembut.

Helaan napas kini ia loloskan dari tubir seraya kembali menatap lamat pada sosok di hadapan. Mungkin menceritakan pada pemuda ini bukan hal bukan hal buruk, lagipula Yumi tak pandai berbohong.

“Iya! Aku dimarahi Hyomin Sunbae karena tarianku yang buruk. Aku tak ingin diganggu siapapun saat ini. Karena itu, pergilah.”

[Goo Sanghyuk]
"Aku tidak menyebalkan." elaknya mentah-mentah, sebelum kalimat selanjutnya soal mengapa Yumi bersedih sekarang keluar dari tubir gadis manis tersebut.

Sanghyuk melipat tangannya dan menyenderkan dagunya untuk mendengarkan sang dara, namun sesegera mungkin mengangkat kembali kepalanya saat Yumi menyuruhnya pergi.

"Tak ada ceritanya aku pergi dengan keadaan kau masih kalut seperti ini." ucapnya refleksㅡ membuatnya segera menutup mulut setelahnya.

'Bodoh, Sanghyuk. Kau tak boleh terlihat begitu perhatian di depan Han Yumi.' batinnya berbicara.

"Uㅡum, maksudku.. kurasa aku bisa membantumu." Sanghyuk membawa dirinya berdiri, meregangkan kedua ototnya akibat berjongkok cukup lama tadi.

"Ingin berlatih bersamaku? Siapa tahu aku bisa memperbaiki beberapa gerakanmu yang salah."

Seakan lupa bahwa dirinya sendiri sebenarnya tidaklah begitu mahir dalam hal menari dan menyanyi, kuasanya kanannya terulurㅡ mengajak Yumi untuk berdiri.

[Han Yumi]
Refleks menggapai uluran kuasa si pemuda, Yumi beranjak meninggalkan posisi jongkok, kembali mensejajarkan pandangan dengan netra milik sosok di hadapan. Tanpa sadar jemarinya menggenggam erat telapak tangan sang adam, cukup lama tatkala otaknya mencerna perkataan yang diterima rungu. Sontak menyadari perbuatan kuasanya, Yumi dengan cepat melepaskan genggaman seraya melemparkan pandangan ke arah lain dengan kikuk.

"Mengajariku? Kau? Seseorang yang bahkan belum sebulan menjadi trainee? Cih!" Ucap tubirnya seraya mencibir pelan.

Bukan bermaksud meremehkan, hanya saja Yumi bahkan tak pernah melihat sang adam menari. Jangankan menari, menemukan dirinya di ruang latihan pun sulit. Tidak salah jika Yumi berpikir begitu, bukan?

[Goo Sanghyuk]
Wah.

Apa-apaan kalimat yang baru saja keluar dari mulut Yumi itu?

"Kau meremahkanku?" Tangannya mengepal begitu saja dan nadanya berubah satu oktaf lebih rendah.

"Ya sudah kalau begitu. Yang penting aku sudah mau membantu." Sanghyuk melipat tangannya di dada, melemparkan tatapan kesal pada gadis bermarga Han.

"Dasar! Tak bisa apa-apa tapi sombong." balasnya lagi dengan nada yang mencibir pula.

Sanghyuk berbalik, dan memunggungi sang dara, kembali melangkahkan kedua tungkai jenjangnyaㅡ berniat kembali pada tujuan awalnya, kembali ke kamarnya yang nyaman.

Masa bodoh. Toh, kalau memang Yumi membutuhkannya, ia akan mencegat Sanghyuk, 'kan?

[Han Yumi]
"Tidak bisa apa-apa? Enak saja!" Dengus Yumi penuh kesal seraya memunggungi sosok di hadapannya. Ketukan langkah sang adam terdengar samar, semakin lama semakin menipis menjauhi sang dara.

Sedang Yumi? Tetap terpaku di tempat, tak berpindah barang sejengkal pun.

Jemarinya bergerak menyusuri jalur-jalur surai, berharap benaknya dapat terbantu walau hanya sedikit. Tanpa latihan, tentu Hyomin akan memarahinya habis-habisan di tiap latihan. Berlatih dengan Seojung? Ah! Seojung pun sama lambannya dengan Yumi -- mungkin lebih baik 1%. Lagipula major keduanya berbeda, dan Yumi tak ingin menyulitkan Seojung lebih dari yang telah ia lakukan selama ini.

"Berpikir, Han Yumi. Berpikir!" Tutur sang dara, memukul pelan sisi kepalanya dengan frustasi

Menghela napas perlahan, Yumi memberanikan diri untuk menoleh ke arah sang adam yang telah meninggalkannya. Tanpa pilihan, sang dara mengayunkan tungkai cepat, mengejar sosok pemuda menyebalkan yang kini menjadi satu-satunya harapan. Kuasanya ia arahkan ke depan, dengan cepat menggapai pundak kokoh milik si pemuda.

"Hey menyebalkan! Aku berubah pikiran, tolong ajari aku."

[Goo Sanghyuk]
Senyum tak simetris menghiasi wajahnya saat tangan yang ia yakin ialah milik Yumi menggapai pundaknya. Langkahnya terhenti.

Bukan Goo Sanghyuk namanya jika tidak jahil.

Dengan tangan terlipat di depan dadanya, Sanghyuk berbalik dan menatap sang dara. "Kau bilang aku trainee baru yang tak bisa apa-apa."

Percayalah, Sanghyuk tengah menahan tawanya saat ini. Wajah Yumi terlampau memelas, sebenarnya.

"Sebagai hukuman telah mengejekku tadiㅡ" Helaan nafas keluar dari tubirnya sebelum dirinya melanjutkan. "Lakukan aegyo untukku, lalu aku akan dengan senang hati mengajarkanmu."

Begitulah, Si Jahil Sanghyuk.

[Han Yumi]
"Yak! Apa-apan kau ini?" Protes Yumi tatkala otaknya selesai mencerna tiap kata.

Aegyo? Yumi tak pandai dalam hal macam itu, terlebih lagi jika harus menunjukkannya pada makhluk menyebalkan di hadapan. Usaha membujuk sang adam sempat terlintas, sontak ia urungkan tatkala netranya menatap ekspresi jahil si pemuda. Berani bertaruh, apapun yang Yumi katakan tak akan mengubah permintaan jahilnya.

"Ah ... Baik-baik. Jangan protes! Aku tak biasa melakukan ini." Ucap Yumi di menit kemudian, tampak sepenuhnya menyerah pada si pemuda.

Memutar seluruh isi benak dengan ekstra, Han Yumi menyaring tiap jenis aegyo yang dapat ia ingat, memilih gerak yang mungkin dapat ia lakukan tanpa canggung. Sungguh, Yumi tak pandai dalam hal ini.

"Kau tau three-set-aegyo? Lihat baik-baik karena tak akan ada pengulangan."

Sang dara menarik napas dalam, mengisikan rongga udara seolah hendak berperang. Kedua telunjuk ia arahkan menunjuk pipinya, melambungkan senyuman canggung di ujung tubir.

Dilanjutkan gerakan seolah terasuki seorang kelinci, dan diakhiri cepat oleh "flying kiss" di iung jemari, Han Yumi seolah tengah melewati ribuan rintangan yang hampir membunuhnya. Tanpa menunggu respon dari si pemuda, Yumi memutar langkah, memunggungi lawan bicara seraya menundukkan wajah.

"Besok jam 4 sore di practice room!"

Langkah tungkai milik sang dara kini terdengar memenuhi lorong, meninggalkan sosok adam yang masih mengulum senyuman jahil. Samar rona kemerahan masih tertinggal pada tulang pipi si gadis, tak menghilang, justru semakin terlihat seiring langkah yang diambil.

Ah! Tampaknya kini hari-hari Han Yumi akan sedikit berbeda.

* Scene 12, Han Yumi and Goo Sanghyuk

[Han Yumi]
“Krek”

Yumi melangkah memasuki ruang latihan dengan canggung, menundukkan wajah hingga netranya tak mungkin bertemu pandang dengan milik Hyomin. Bayangan potret amarah Hyomin masih segar terekam dalam ingatan, seolah tak berniat hengkang barang sejengkal pun. Takut dan malu, perasaan itu berkecamuk dalam relung kecil milik sang dara.

Kelas tari dimulai tanpa perubahan, seolah kejadian kemarin hanyalah aliran angin lalu. Bersama dentuman musik sama, sang trainer dan keempat trainee menggerakkan figur, mengulang beberapa gerak yang telah dipelajari sebelumnya. Yumi kini bekerja lebih keras, tak ingin perkara lalu kembali terulang. Tetapi bukan Han Yumi namanya jika bisa mengingat dengan baik, sungguh, bukan Han Yumi.

“Apa ada lagi yang sulit?”

“Deg”

Yumi sontak tersentak mendengar suara khas seorang dara menyapa rungu, dengan cepat mengarahkan pandang pada pantulan diri di cermin. Ada yang berbeda dengan hari kemarin, sorot netra sang dara tak menunjukkan kemarahan.

“Aku akan mencontohkannya. Karena itu, perhatikan baik-baik, oke?” Tutur Hyomin, bernada lembut hingga sempat membuat mulut Yumi menganga.

Dengan perlahan, Hyomin mengajarkan tiap gerakan yang belum ia kuasai, bahkan sesekali menyelipkan canda dalam frasa yang ia lontarkan dari tubir. Kritikannya hari lalu berganti kalimat instruksi lembut, dibuat semudah mungkin hingga Yumi dapat mencerna dengan baik. Beberapa pujian pun turut dilontarkan pada Yumi, seolah mimpi indah bagi sang dara. Bukan hanya Yumi; Nana, Minah, dan Hyojung pun sempat tertegun melihat polah sang trainer yang berubah 360. Apa mungkin kalimatnya kemarin tak sungguh-sungguh? Entahlah, hanya saja Yumi kini diliputi rasa bahagia karena dapat kembali berlatih perlahan tanpa beban, seolah gumpalan kekhawatiran yang bersandar di pundaknya telah menghilang.

“Baik! Karena ada beberapa jadwal yang harus kuselesaikan hari ini, maka kelas cukup sampai disini. Terimakasih atas kerja keras kalian.”

Dengan perasaan lega, Yumi pun berlari cepat meninggalkan ruang, teringat akan janjinya pada seorang pemuda – Sanghyuk. Hmm … Yumi bukannya memata-matai, ingat itu! Dirinya hanya tak sengaja melewati lorong saat sang adam tengah bercakap-cakap dengan seseorang, sekali lagi bukan memata-matai, dan akhirnya mengetahui nama pemuda menyebalkan yang beberapa hari kian mengganggu dirinya.

“Sanghyuk!”

Yumi mempercepat langkah setelah sempat melambaikan tangan, menuju empunya nama yang tampak berdiri tak jauh dari tempat keduanya bertemu di hari sebelumnya. Sang dara mengulumkan senyuman tatkala dirinya tepat berada di hadapan Sanghyuk, perlahan menuturkan kalimat seraya mengelus sisi tengkuk.

“Soal latihan, maaf sepertinya harus dibatalkan. Begini … Sesungguhnya aku tak bisa pulang larut.”

[Goo Sanghyuk]
Sanghyuk mematut dirinya di kaca kamar mandi umum gedung sejenak sebelum tersenyum puas pada dirinya sendiri. "Kau selalu tampan, Goo Sanghyuk."

Tungkai panjangnya kembali memacu langkah panjang, hendak berbelok kembali ke ke kamarnya kalau saja salah satu trainee pria yang tampaknya lebih muda darinya tersebut memanggil namanya.

"Sanghyuk-hyung!"

Dirinya menoleh dengan cepat, menaikkan satu alisnya seraya dengan tanda tanya besar tersirat di wajah. "Ya?"

Yang lebih muda menghampiri Sanghyuk, membicarakan bahwa presdir sempat menanyakan kabarnya.

Baru saja bibirnya terbuka hendak menjawabㅡ panggilan lain yang kali ini berasal dari seorang gadis mengalihkan perhatian.

Ah, gadis bermarga Han tersebut, rupanya.

"Uh, aku harus pergi sebentarㅡ bilang pada presdir aku baik-baik saja, oke? Sampai jumpa!"

Melambaikan tangan pada trainee muda tersebut, Sanghyuk tak menghabiskan waktu sebelum kakinya bergerak menghampiri Yumi.

Satu dua kalimat yang muncul dari bibir Yumi cukup membuatnya terkejut.

"Tidak!" sergahnya cepat. "Kau harus mau latihan denganku. Masalah pulang larut bisa aku antarkan."

Baru saja Yumi hendak menjawab, Sanghyuk dengan cepat menyelanya. "Atau aku akan menganggapku musuhmu dan melakukan pembullyan padamu?!"

Terpaksa mengancam. Ayolah, ia tidak bisa mendapat keuntungan dari perjanjian bodoh ini kalau saja Yumi tetap menolak mengikuti latihan.

[Han Yumi]
"Dasar menyebalkan!" Ucap Yumi seraya mendengus pelan.

Mem-bully dirinya? Sungguh konyol dan terdengar mengesalkan. Dari wajahnya pun tak terlihat bahwa Sanghyuk mungkin melakukan hal tersebut. Yaa .... Walaupun ekspresinya sering kali mengesalkan.

Sang dara sesaat terdiam, menimbang beberapa hal yang kini terasa kusut dalam benak. Sesungguhnya hati kecilnya enggan membatalkan latihan, pasalnya ini kali pertama Yumi memiliki kesempatan untuk berlatih hingga larut -- terlebih lagi ditemani seseorang. Sosok di hadapannya pun tampak tak akan menerima penolakan, kian terlihat menyebalkan tiap kali Yumi menatapnya. Tetapi bagaimana dengan ibunya?

"Aaaaah! Baik-baik aku akan mencoba meminta izin." Tutur Yumi seraya mengacak pelan surai miliknya sendiri sebelum beralih meraih ponsel di saku. Membiarkan jemari bermain pada layar digital, sang dara dengan cekatan mengetik pesan singkat untuk ibunya. Alih-alih mendapatkan balasan serupa, panggilan suara dari sang wanita kini menyapa ponselnya.

"....Eomma?"

Gawat!

"Anu Eomma! Tampaknya Yumi akan pulang terlambat hari ini." Tuturnya cepat setelah sambungan telepon ia terima.

"Tugas! Iya iya, Tugas!" Ucapnya seraya mengelus tengkuk pelan.

Han Yumi, apa tak ada ide lain untuk kebohonganmu? Beruntung Ibunya tak menggunakan panggilan berbasis video, karena kini ekspresi miliknya sungguh tak terlihat meyakinkan.

"Tidak bisa, Eomma. Ini tugas kelompok, jika aku tidak datang dalam kumpul kelompok, nilaiku bisa 0."

Kini Yumi sedikit merengek, berharap usahanya berhasil dengan bantuan. Dan tampaknya berhasil, nada suara di seberang terdengar melembut.

"Boleh, yaa? Yaa? Yumi tidak mau dihukum Seonsaengnim. Ia guru yang sangaaaaat jahat, bahkan tatapannya menakutkan. "

Mau tak mau menumbalkan guru sekolah. Sang dara berulang kali melafalkan ucapan maaf dalam hatinya seraya menunggu kalimat balasan dari ibunya. Ukiran senyuman samar terlihat, namun perlahan menghilang seiring sambungan telepon yang berakhir. Mengalihkan tatapan pada Sanghyuk, sang dara mendekatkan tubirnya pada telinga si pemuda.

"Yah! Ayo cepat latihan! Awas saja kalau tak bisa melatih." Teriaknya tepat di telinga dengan cengiran jahil melambung pada wajah. Sempat memukul pelan bahu sang adam, Yumi melangkahkan tungkai cepat, berlari meninggalkan Sanghyuk menuju ruang latihan.

[Goo Sanghyuk]
"Yak, aish!" Sanghyuk mengusap telinganya yang tengah berdengung akibat teriakan sang dara tadi. Namun alih-alih kesal, Sanghyuk justru tersenyum tipis. Tingkah Yumi sangatlah menggemaskan dimata Sanghyuk.

Tungkai jenjangnya menyusul Yumi kedalan ruangan latihanㅡ namun tiba-tiba dirinya berhenti di tengah jalan.

Bukannya.. ia tak punya bakat apa-apa dalam bidang menari? Apa yang harus ia ajarkan pada Yumi?

"Sanghyuk, cepatlah!"

Suara yang kini sudah familiar menyapa rungu Sanghyuk. Ia menyahut dengan teriakan 'Iya, iya!' sebelum mempercepat langkahnya; masuk ke dalam ruang latihan.

Yumi sudah berdiri di sana, tengah merenggangkan ototnya. Sanghyuk menelan ludahnya, otaknya sibuk mencerna apa yang harus ia ajarkan untuk gadis ini.

"Sudah selesai stretching-nya?" tanyanya basa-basi. Anggukan dari Yumi ia terima, justru membuatnya makin panik.

"Aku akan ajarkan basic dari menari—"

Sebentar lagi, urat malu seorang Goo Sanghyuk akan putus.

"L–lihat, nih."

Baru saja Sanghyuk hendak menggerakkan sendi-sendinya, ia berhenti di tengah.

Tunggu.

Ia harus menari.. seperti apa?

Lagu pertama yang muncul dipikirannya langsung ia nyanyikan begitu saja. Tubuhnya bergerak secara refleks.

"Kom sema-ri-ga. Han chi-be-yi-so." ucapnya begitu saja. Diikuti dengan badannya yang condong ke depan dua kali saat lirim 'sema-ri-ga' dan kedua kuasanya yang membentuk atap rumah saat 'be-yi-so'.

Sanghyuk sudah tak perduli dengan ekspresi Yumi sekarang– bahkan wajah sang adam sudah merah padam sekarang, mengingat lagu yang ia nyanyikan adalah lagu anak-anak.

"Appa gom, omma gom, ae-gi gom." Mencakar udara saat bagian 'appa', berkacak pinggang saat bagian 'omma', dan menepuk pantatnya seraya badannya bergerak ke kanan dan kiri saat bagian 'ae-gi'.

Memalukan.

Ini benar-benar memalukan.

"Appa gommun tung-tung-hae." dendangnya sembari melebarkan lengannya, menggambarkan beruang gendut seperti imajinasinya.

Lalu dengan cepat meletakkan kedua kuasanya di kedua sisi pinggang, lalu bergoyang dengan gemulainya. "Omma gommun nal-shin-hae."

"Ae-gi gommun," Menepuk kedua pantatnya kembali, sebelum tangannya ia kepalkan– dan meletakkannya di kedua pipi. Melakukan gerakan 'shy shy shy' dengan wajah yang semakin memerah saja. "Na bul-gwi-yo-wo."

Lirik terakhir.

"Hishuk hishuk cha-rhan-da." Tangannya menengadah dan melebar, sembari senyum /palsu/ terpatri di bibirnya saat manik Sanghyuk bertemu dengan manik Yumi.

Hening sesaat, hanya deru nafas sang adam yang terdengar mengisi ruang.

[Han Yumi]
Hening.

Satu detik, dua detik, tiga detik.

Tak ada sedikitpun suara yang dikeluarkan dari tubir milik Han Yumi. Bisa bayangkan ekspresi yang ada di wajahnya?

"Maaf, Sanghyuk. Aku sudah tak bisa menahan..." Belum sempat kalimat terselesaikan, tawa Yumi meledak, menggantikan senyuman yang sejak tadi tertahan di wajahnya.

Belum pernah Yumi tertawa sekeras ini hingga otot wajahnya terasa kaku. Ekspresi Sanghyuk pun tak membantu, wajah semerah tomat yang sungguh lucu, meningkatkan intensitas tawa dari tubirnya.

"Haha ... Ha... A-Aku sakit perut. Ini terlalu lucu."

Yumi kemudian beranjak dari posisinya, menjalankan niat jahil yang terlintas di benak. Meletakkan kedua kuasa di pinggang, sang dara menggerakkan tubuhnya asal menyerupai gerak Sanghyuk, masih diiringi ledakan tawa yang terarah padanya.

"Hmm apa aku melakukannya dengan benar? Begini? Kkk." Ucapnya dengan ekspresi jahil jelas terpatri di wajah.

[Goo Sanghyuk]
Sudah Sanghyuk tebak akan jadi seperti ini.

"Y–yah, kau tidak boleh menertawakanku!" Sanghyuk berdecak kesal, masih dengan wajahnya yang memerah karena malu.

"Ini basic dari menari, tahu! Dan kau bahkan belum melakukannya dengan benar."

Sanghyuk mendelik sebal pada gadis Han yang masih saja menertawakannya itu.

Aish— harga diri seorang Goo Sanghyuk benar-benar jatuh kali ini.

* Scene 13, Son Jinhee
“Menyebalkan, sekarang Hyomin sunbae juga sudah tahu siapa Yumi.”

“Kenapa kita tidak beri pelajaran kepadanya? Aku sudah muak.”

Yumi.

Langkah Jinhee terhenti secara otomatis saat mendengar itu. Sebelumnya, dia tak pernah tertarik dengan satu nama itu. Tidak, dia tidak seperti semua staff di sini yang cari muka kepada anak presdir tersebut. Pun seperti trainee lain yang mencibir secara terang-terangan. Dia hanya menjauhi apapun yang tidak bermanfaat baginya.

Tapi segala hal yang berhubungan dengan Seojung kini menarik perhatiannya.

“Lakukan sekarang, beri pelajaran kepada Han Yumi.”

Itu suara Jinhee, bersandar di bingkai pintu dengan tangan dilipat di dada. Senyum tipis terlukis di bibir sang dara saat ketiga trainee itu, Nana, Minah, Hyojung, menoleh ke arahnya.

“Kenapa memperhatikanku?” Sebelah alisnya terangkat. “Aku salah bicara?”

Jinhee akui dia juga tak terlalu dekat dengan ketiganya. Hanya pernah bertegur sapa dan berada dalam kelompok yang sama.

Terlalu berpusat pada ambisi dan Haejoon, bukan begitu Jinhee?

Dia hampir saja mendengus saat mendengar sebuah ejekan dalam kepalanya sendiri. Tidak, Jinhee punya teman selain Haejoon. Dia punya teman perempuan yang (lumayan) dekat dengannya.

“Tapi jika Yumi buka mulut kepada ayahnya, kita habis.” Nana angkat bicara, mengeluarkan apan yang menjadi batu sandungannya.

Jinhee berjalan mendekati ketiganya. “Kita juga sama, mulut kita berfungsi untuk angkat suara kepada media.” Sebelah bibirnya tertarik ke atas. “Mereka telah salah melakukan diskriminasi, satu kalimat dari kita bisa menghancurkan reputasi Hero.”

“Untuk semua perjuangan kita yang sia-sia hanya karena sebuah jabatan,” kakinya menutup pada jarak sekitar 3 langkah lagi dengan ketiga gadis lain dalam ruangan ini. “Lakukan. Aku akan ikut dengan rencana kalian.”

Jinhee tersenyum puas saat ketiganya mengangguk.

* Scene 14, Han Yumi and Son Jinhee

[Han Yumi]
Yumi melangkahkan tungkai meninggalkan ruang latihan, masih dengan senyuman yang melambung di sudut wajahnya. Diluar dugaan, latihan bersama Sanghyuk bukanlah hal buruk. Tak banyak yang ia pelajari sesungguhnya – kecuali tarian beruang khas siswa taman kanak-kanak. Tetapi … Entahlah! Hanya perasaan senang yang bersemayam di hati kecilnya, cukup lama tak dirasakan oleh sang dara.

Lenggang santai tungkai mengantarkan sosok Yumi perlahan menyusuri koridor. Kesempatan langka untuk gadis sepertinya, bermain hingga larut di gedung Hero Entertainment. Bagaimanapun pandangan insan lain, sesungguhnya Yumi pun hanya seorang gadis belia, penuh rasa ingin tahu akan hal-hal yang tak bisa ia lakukan di hari biasa. Sanghyuk? Ah, tak perlu ditanya. Dengan alasan lelah, sang adam menolak mentah-mentah undangan “ekspedisi tengah malam Hero” yang ditawarkan Yumi.

Tak seperti yang kerap kali ia dengar, suasana malam hari kali ini cukup sepi. Hanya beberapa lampu ruang yang tetap menyala, samar-samar mengedarkan alunan musik pada rungu miliknya. Beberapa kali iris hitam miliknya mengintip melalui celah pintu-pintu, memandang lamat tiap interaksi yang terjadi dalam ruang latihan.

“Kriuk.”

“Ah, kebiasaan buruk! Apa masih ada café yang buka di sekitar sini?” Gumamnya seraya memeluk sisi perutnya. Sang dara melirik ponsel yang sedari tadi bersembunyi dalam kantung celana latihan. Hanya layar hitam yang menyapa penglihatannya.

“Hah ... Ponselku mati. Mungkin lebih baik lekas pulang.” Ucapnya sedikit kecewa, menyadari bahwa ekspedisi kecil malam ini harus segera berakhir.

Belum genap pangkal tungka menyalurkan langkah, sebuah cengkraman kuat melingkupi pergelangan Yumi, menarik paksa figurnya memasuki ruang lembab. Hentakan pintu terdengar, diiringi bunyi putaran kunci yang membelai rungu. Tiga sosok tak asing menyapa netra, berseringai khas layaknya tokoh serigala dalam tiap dongeng ; Nana, Minah, dan Hyojung.

“Kau! Kenapa masih saja datang ke Hero?”

Sebuah bentakkan dilayangkan tepat di depan wajahnya, diiringi hempasan pada tubuh yang memojokkan Han Yumi di sudut toilet. Yumi tahu ketiganya tak menyukai dirinya sejak minggu pertama, tetapi tak pernah terpikirkan bahwa ketiga dara bernyali untuk melakukan hal tak perlu macam ini.

Jemari milik Hyojung mulai bergerak, menyusuri jalur-jalur surai Yumi, memainkannya dengan ekspresi mengejek di wajahnya. Tubuh Yumi terasa mulai bergetar tatkala tatapan intimidasi terus terhujam dari kedua netra.

Tidak! Kau tak boleh terlihat lemah Han Yumi.

Mencoba menyembunyikan rasa takut, sang dara terus menggigit sisi tubir, menatapkan lamat netra miliknya tanpa bergeming. Sentuhan pada surainya yang semula lembut, kini berganti menguat, perlahan menjalarkan rasa sakit di kepala Yumi.

“Haruskah aku … Yang membuatmu tak bisa datang? Dengan tanganku sendiri?” Tutur Hyojung diiringi seringai yang kian melambung pada sudut tubir.

Dua dara mencengkram erat lengan Yumi, menghentikan seluruh pergerakan yang dapat ia lakukan. Sekuat apapun dirinya meronta, kekuatan Yumi tak dapat menandingi ketiganya. Guyuran cairan kehitaman dengan cepat membasahi tubuh sang dara, tak menyisakan satu ruang kering pun pada tubuh. Tawa terdengar menggelegar memecah kesunyian, tatkala cairan kotor lain ditumpahkan pada tubuhnya. Belum puas dengan hasil kerja, kuasa milik Hyojung kembali bergerak, meraih beberapa butir telur dan memecahkannya langsung di kepala Yumi.

“Tempatmu disini Han Yumi. Disini! Bukan di ruang latihan.”

[Son Jinhee]
Irisnya memperhatikan setiap detail yang terjadi sejak Nana, Minah, dan Hyojung menyeret Yumi ke toilet. Wajahnya tak
memperlihatkan sedikitpun rasa iba saat melihat penganiayaan yang terjadi di toilet.

Jinhee ikut andil dalam rencana ini, untuk apa memberikan sebuah simpati?

Gema ketukan sepatunya dengan lantai serta tepuk tangannya membuat ketiga orang yang tengah mengerubungi Yumi memberinya jalan.

Meski dia ikut andil, tapi sang dara tak mau repot-repot turun tangan dan mengotori tangannya. Tidak, bukan begitu cara bermainnya.

"Yumi-ssi, kau tidak apa-apa?" Kepalanya menunduk, memperlihatkan kekhawatiran yang sangat ketara dibuat-buat.

Sebuah senyum samar tersungging di bibir seiring pergerakan tangannya yang naik mengeluk puncak kepala Yumi yang lengket oleh telur.

"Apa kau terluka? Apa telur-telur tadi melukai kepalamu kepalamu?"

Sedetik setelah kalimat tersebut terucap, Jinhee mengambil satu langkah mundur.

"Apa kalian melemparnya dengan keras?" Kepalanya sedikit menoleh ke arah Nana.

Telunjuknya mengangkat dagu Yumi. "Semoga cukup keras untuk menyadarkanmu bahwa kau tak pantas berada di sini."

Kepala si gadis yang tak memberikan perlawanan itu dia ditolehkan ke samping kanan dan kiri.

"Sedang memikirkan kalimat aduan kepada Pak Presdir, Yumi?" Hazelnya menatap Yumi tajam dengan sudut bibirnya yang tertarik mengulas sebuah senyum miring.

[Han Yumi]
Suara itu.

"J-Jinhee?"

Yumi menatap lamat netra sang dara, mencari titik belas kasihan yang mungkin terlukis.

Nihil. Seringai yang melambung di wajah si gadis menarik takut di sekujur tubuhnya, tak bergeming meski coba ia sembunyikan.

Sakit.

Kepala Yumi berdenyut hebat, tepat di pucuk tempat telur-telur diadukan sebelumnya. Kuasa coba ia gerakkan, teriakan coba ia loloskan, tetapi tak satupun dituruti inderanya. Tubuh Yumi gemetar, bahkan tak sanggup menahan gerak kelopak pada kedua manik hitam, perlahan menutup dan menarik kesadaran dari dirinya.

"To...Tolong Le...paskan."

[Son Jinhee]
"Apa? Kau bilang apa?" Tubuhnya agak dicondongkan, mendekatkan daun telinga ke sumber suara.

"Tolong?"

Sebelah alisnya naik ke atas, lalu digantikan bibir bagian bawahnya yang sedikit maju.

"Tidak ada perlawanan darimu?" Jinhee mendesis kecewa.

Tapi kekecewaan itu hilang seketika. Memang bukan tujuannya untuk mendapatkan perlawanan Yumi, kepasrahan sang korban tentu merupakan keuntungan untuk memperlancar rencananya.

"Ah, aku tahu." Ekspresinya tiba-tiba berbinar. "Bagaimana kalau kita minta tolong pada Park Seojung? Bukannya kalian sekarang bersahabat?"

"Wah, sekarang Yumi sudah punya sahabat. Dia kini punya seseorang yang akan membelanya, Jinhee-ya." Sambung Nana, sementara Jinhee hanya mengangguk sekali, bersikap acuh.

Urusannya dengan Nana, Minah, dan Hyojung telah selesai sejak dia memasuki toilet tadi. Sekarang hanya dia, Yumi, dan Seojung yang dia tarik untuk 'bermain'.

Telapaknya merogoh saku, mengambil ponsel dalam kantung celana yang dia pakai.

"Karena sebenarnya aku tak berniat untuk menyakitimu, kau kuizinkan untuk berpose." Telapak tangan yang berkuasa atas benda persegi itu naik. "Berikan pose terbaik untuk Seojung."

"Tak ada pesan yang ingin kau sampaikan pada Seojung?"

Pernyataan retoris. Karena Jinhee tak perlu repot mendengar jawaban Yumi, dia telah menekan tombol kirim sesaat setelah pertanyaannya dilayangkan.

"Ayo tunggu pahlawanmu Yumi," Jinhee mengangkat ponsel, memperlihatkan layar yang menampilkan room chat dengan Seojung.

"Aku tak sabar untuk melihat apa yang akan Seojung lakukan untuk menyelamatkan sahabatnya." Menyusul kata sahabat yang sengaja ditekankan, bibirnya mengulas senyum manis.

Sekaligus mematikan.
     
 
what is notes.io
 

Notes.io is a web-based application for taking notes. You can take your notes and share with others people. If you like taking long notes, notes.io is designed for you. To date, over 8,000,000,000 notes created and continuing...

With notes.io;

  • * You can take a note from anywhere and any device with internet connection.
  • * You can share the notes in social platforms (YouTube, Facebook, Twitter, instagram etc.).
  • * You can quickly share your contents without website, blog and e-mail.
  • * You don't need to create any Account to share a note. As you wish you can use quick, easy and best shortened notes with sms, websites, e-mail, or messaging services (WhatsApp, iMessage, Telegram, Signal).
  • * Notes.io has fabulous infrastructure design for a short link and allows you to share the note as an easy and understandable link.

Fast: Notes.io is built for speed and performance. You can take a notes quickly and browse your archive.

Easy: Notes.io doesn’t require installation. Just write and share note!

Short: Notes.io’s url just 8 character. You’ll get shorten link of your note when you want to share. (Ex: notes.io/q )

Free: Notes.io works for 12 years and has been free since the day it was started.


You immediately create your first note and start sharing with the ones you wish. If you want to contact us, you can use the following communication channels;


Email: [email protected]

Twitter: http://twitter.com/notesio

Instagram: http://instagram.com/notes.io

Facebook: http://facebook.com/notesio



Regards;
Notes.io Team

     
 
Shortened Note Link
 
 
Looding Image
 
     
 
Long File
 
 

For written notes was greater than 18KB Unable to shorten.

To be smaller than 18KB, please organize your notes, or sign in.