Notes

Ia bersyukur Tuhan mempertemukannya dengan pemuda yang sangat baik ini.
"Kau benar nak. Jarang sekali aku menemukan pemuda ramah dan perduli sepertimu dikota tempat tinggalku. Untuk tawaranmu, tentu saja boleh Aku sangat berterima kasih untuk itu."
.
.
.
Dua adam itu melangkahkan tungkainya masing-masing untuk berjalan. Yang lebih tua mencoba membuka bahan obrolan baru agar dapat mengenal pemuda disampingnya itu lebih lagi.
"Ngomong-ngomong Lukas mengapa pemuda sepertimu datang kehutan?"

"Ah- sebenarnya pekerjaanku adalah mencari ranting kayu untuk ku jual dipasar pak pendeta. Sayangnya hari ini aku mendapat berita buruk" Tampangnya berubah menjadi lesu mengingat semua kejadian dihari ini.
"Berita buruk apa itu nak?" Lawan bicaranya kembali bertanya.

"Hutan yang kita lewati tadi sudah dibeli oleh orang kota yang akan menjadikannya menjadi jalan raya. Seluruh warga desa setuju karena mereka telah diberi uang yang banyak dari orang-orang kota itu. Padahal hutan ini memiliki begitu banyak manfaat bagi para warga desa, termasuk menahan banjir yang sering melanda desaku. Entah apa yang mereka pikirkan bila tidak ada lagi tanah serapan saat hujan nanti" Helaan nafas panjang keluar melalui lubang hidungnya. Ia pasrah, tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia hanya tak ingin warga desa akan menyesal dengan keputusan mereka nantinya.

"Uang membuat mata mereka menjadi buta, membuat pikiran mereka menjadi sempit, membuat hati mereka tertutup. Mereka hanya memikirkan kesenangan sesaat,bukan masa depan. Kau tenang saja Lukas, aku akan memberi mereka petuah saat khotbah nanti. Dan aku akan meyakinkan bahwa keputusan mereka itu adalah kesalahan besar" Tutur Si pendeta tenang. Tak dapat dipungkiri rasa senang dalam hati Lukas, Ia langsung memeluk pendeta yang tubuhnya lebih kecil dibandingkan miliknya.

"Terima kasih pak pendeta. Aku sangat berterima kasih"
"Hahaha kau tak perlu berterima kasih nak. Bumi milik kita semua yang menghuni, jadi sudah menjadi tugas kita para penghuni bumi untuk saling mengingatkan apabila ada salah satu dari kita berulah merusak bumi ini. Bukankah begitu?" Kerlingan penuh canda ditunjukkan si pendeta kepada Lukas, dibalas gelak tawa dari yang lebih muda.

"Kau benar pak pendeta. Sangat benar"
.
.
.
Malam harinya, seluruh warga desa berkumpul bersama mendengar sebuah khotbah seorang pendeta kota. Semua mendengar dengan seksama, termasuk Lukas. Pendeta itu tak mengingkari janjinya, Ia benar-benar memberi petuah kepada warga desa tentang bumi dan apa saja yang harus dilakukan para manusia agar bumi ini masih dapat dinikmati hingga cucu serta cicit kita nantinya. Semua warga desa tersadar akan kesalahan yang telah mereka lakukan. Bumi bukanlah sesuatu yang dapat dibeli untuk dirusak, meskipun untuk sebuah kemajuan akan tetapi tetap harus diperhatikan pula hal itu dapat merusak atau tidak keseimbangan alam untuk kedepannya.

Keesokan harinya, mereka semua mengembalikan uang yang telah diberikan para orang kota itu. Lalu kemudian mengusir mereka secara keras, tak lupa memberi mereka peringatan agar tidak merusak hutan-hutan ditempat lain. Lukas tersenyum lebar mengamati hutan desanya aman. Meskipun beberapa pohon telah mati, tapi masih bisa untuk direboisasi nanti. Semua berakhir dengan baik untuk saat ini. Meskipun dimasa depan akan ada banyak orang yang ingin merusak hutan desanya kembali. Tapi Ia dan seluruh warga desa tak akan membiarkannya. Tidak akan pernah mereka membiarkan paru-paru desa mereka rusak.

--- The END ----