NotesWhat is notes.io?

Notes brand slogan

Notes - notes.io


나도 너의 꿈이 되고 싶어's episode 1

{ 🎬 }

ㅡ SOLO PLOT ; Park Seojung.

시작.

Wangi khas tanah basah selepas hujan menguar, segar merasuk penghidu gadis dalam balutan seragam lengkap berteman long cardi rajut berwarna marun yang sama-sama sedikit lebih tinggi dari batas lututnya.

Park Seojung, namanya. Sibuk menghindari rintik hujan yang tersisa menggunakan ransel mocca yang alih fungsi jadi penutup kepala; berupaya menyelamatkan surai panjangnya yang tergerai, meski sudah setengah lepek oleh guyuran sebelumnya.

Bunyi kecipak disusul decak sebal yang lolos dari bibir Seojung menjadi penyalip nyanyian gerimis, kala sneakers putih yang menjadi alas kakinya tak sengaja membentur aspal bergenang becek, hingga meninggalkan genangan lain di samping kanan dan kirinya serta noda kecoklatan yang mengganggu warna bersih sepatu sang dara.

Beruntung, bus yang ia tunggu tak lama kemudian segera tiba.

*

Tangis alam benar sudah habis, begitu dua puluh menit setelahnya, bus berhenti di halte ratusan meter dari kediaman Seojung. Tak ayal, gadis penyandang marga Park itu lekas melompat turun dari bus usai menjejalkan earphone ke alam lubang telinganya.

…dan seperti hari-hari lain sebelum ini, Seojung berjalan pulang seorang diri. Menyenandungkan seisi playlist yang ia putar dari halte sampai dalam rumahnya sendiri. Memang sudah seperti itu adatnya, sampai-sampai beberapa tetangga pemilik toko di sekitar rumah gadis manis itu bisa maklum atas polahnya.

“…when you say I’m just a friend to you,”

“cause friends don’t do the things we do~”

Menjentikkan jari-jemari selagi bibirnya tak henti memuntahkan penggalan larik sepanjang jalan, sopran bening Seojung nyatanya sukses mencuri atensi sosok pria yang diam-diam mengekorinya dari depan halte tadi.

Sadar dibuntuti, Seojung mempercepat langkah; gusar, nyaris setengah berlari.

Sedang di belakang, pria yang sadar targetnya mulai bereaksi, ikut berusaha mensejajari langkah besar Seojung.

Si gadis jadi pucat, takut-takut menengok ke belakang, mendapati pria tambun itu tak jua menyerah dan makin mudah saja menjangkau langkahnya.

“Y-yaa, p-paman!” Hardik Seojung tanpa menghentikan langkah, namun menoleh demi menjaga langkahnya agar tak terkejar.

Gagal, tentu saja. Sebab secepat kedipan mata, paman dengan perut bulat besar itu sudah tiba di depan dan mengunci jalannya.

“M-mundur!” titah Seojung, namun malah mengamini titah itu untuk dirinya sendiri; gadis itu yang mundur, setapak demi setapak karena rontoknya nyali.

“H-hey, jangan takut!” Tak tahan, pria yang sejujurnya jua kelelahan karena Seojung terus bergerak mundur akhirnya angkat bicara. “Suaramu indah. Bagaimana jika coba ikut audisi tertutup di tempatku bekerja?” Tanpa aba-aba, mengutarakan maksudnya yang jauh dari kata jahat.

Seojung berhenti.

Menggeragap.

Sedetik kemudian mengerutkan kening, dalam-dalam.

“Paman sedang sakit?” Cetusnya, sarkastis.

‘Pletak!’

Satu jitakan mulus mendarat di kepala Seojung diikuti omelan. “Apa maksudmu?! Aku gila, begitu?”

“T-tidak, bukan begitu..” Bantahnya, mengerucutkan bibir. “Hanya terkejut karena paman berkata yang tidak masuk akal begitu.”

“Tsk!” Gemas, si tambun merogoh saku celana dan mengeluarkan kartu berlabel perusahaan sebuah agency musik ternama dari dalam dompetnya.

“Aku salah satu pencari bakat di tempat itu. Kalau tidak percaya, ayo ke sana sekarang bersamaku? Ikut audisi tertutup saat ini juga!”

Seojung mengecilkan pupil matanya, menyipit terus hingga fokusnya menumbuk sepasang penglihat pria di depannya.

“Yaa anak nakal!” Decak pria itu, meski setengah bercanda.

“Paman tidak sedang menipu hanya karena aku masih kecil, ‘kan?”

“Aku sungguh-sungguh.”

“Atau karena aku cantik?” Selidiknya lagi, belum menyerah.

“Aish benar-benar! Ini sungguh karena suaramu terdengar indah di telingaku tadi!” Erang sang pria, misuh-misuh di depan targetnya.

Kikuk, Seojung menggaruk belakang tengkuknya yang tak gatal.

Ada setitik asa yang ingin dipercayainya.

Gadis itu lantas mengulum senyum, sebisa mungkin menahan agar raut bahagianya tak tertangkap terlalu jelas di mata pria yang sempat dikiranya gila.

“Oke!” Putusnya /berlagak/ pongah meski yang tertangkap justru sebaliknya. “Aku akan datang,” ujar Seojung hati-hati, mulai bersikap lebih sopan dibanding yang tadi-tadi. “Tapi besok, bagaimana?”

Raut sumringah jelas memeta paras adam di hadapan Seojung, disusul perut buncitnya yang kemudian naik turun mengikuti tawa ringan yang lolos dari bilah bibirnya.

Sekali lagi, Seojung menyipitkan mata dan meneliti lekat-lekat garis wajah pria di depannya. “Aku sudah hapal wajah paman, awas saja kalau ternyata paman berbohong!”

Merasa penolakan yang didapatnya tak lagi terlampau frontal, pria dengan rentang usia jauh di atas Seojung itu mengulurkan tangan untuk menepuk pelan puncak kepala gadis pemilik suara yang membuatnya jatuh cinta pada kesan pertama.

“Ya, ya, aku bukan penipu, nona muda.”

*

“Choi Tak Jin, Choi Tak Jin.”

Alih-alih menikmati kilau gemintang seperti kebiasaannya tiap malam, Seojung malam ini terpekur memandangi langit-langit kamar. Beberapa kali sepasang palpebra gadis itu mengerjap tak percaya, mengikuti netranya yang jua terus-terusan merubah fokus antara layar ponsel dan langit-langit kamarnya, bergantian.

“Jadi paman itu tak berbohong…” Seojung menarik simpul tipis dari kedua sudut bibirnya yang tak henti menyuarakan gumaman.

‘Tok. Tok!’

Asik bergumul dengan imaji yang seketika dipenuhi mimpi masa kecilnya menjadi seorang penyanyi, Seojung terkesiap tatkala ketukan pelan yang bersumber dari depan pintu kamar menghadirkan profil seorang wanita paruh baya sederhana dari baliknya.

Tidak seperti biasanya pula dimana Seojung akan menghambur ke pelukan sang ibunda yang baru saja pulang bekerja, kali ini ia pilih bergeming, bersila memeluk bantal selagi membiarkan wanita yang melahirkannya itu berjalan mendekat lalu mengisi tempat kosong di sisi kanannya.

“Sudah makan?” Pertanyaan klasik yang selalu namun tak pernah bosan ia dengar adalah apa yang pertama dicetus bibir merah sang bunda.

Seojung menggeleng, namun segera mengangsurkan ponsel dengan layar yang masih tertambat di laman pencarian dengan kata kunci Choi Tak Jin; asma yang tertera pada kartu yang ia terima tadi siang.

Dibuat bingung lantaran tingkah aneh putri tunggalnya, Chae Ri; ibunda Seojung, mengerutkan kening sembari menatap ganjil ‘gadis kecilnya’.

“Ada apa?”

Sejurus setelahnya, kisah tentang kejadian yang dialaminya di jalan pulang, lugas diurai Seojung kepada sang bunda yang mendengarkan dengan sabar.

*

Seumur-umur sepanjang sejarah pendidikannyaーgaris bawahi kecuali saat Seojung terserang demam tinggi hingga tidak bertenaga bahkan hanya untuk mengangkat kepalaー tak pernah sekalipun sang ayah mengijinkan gadis itu dengan cuma-cuma mangkir dari kegiatan sekolahnya.

Tapi, keajaiban itu terjadi pagi ini, tepat saat Seojung baru saja selesai mandi.

Beberapa jam lalu sebelum Seojung dan sang ayah tiba di tempat ini, pemimpin keluarga kecil Park itu menagih cerita serupa seperti yang dikisahkan Seojung pada sang ibu meski pria itu sudah tahu runtut kisah dari istrinya.

Entahlah. Ia hanya ingin menegaskan seraya diam-diam memperhatikan binar yang kelewat jelas menghiasi manik karamel putri semata wayangnya saat mengulang kisah tentang kejadian kemarin siang.

Tuan Park tahu, Seojung-nya tak hanya sekedar penasaran pada tawaran pria asing bernama Choi Tak Jin itu.

Maka saat naluri menuntun dirinya meloloskan keinginan Seojung untuk pergi ke agensi yang menjanjikan mimpi untuk buah hati tercintanya, Tuan Park mengikhlaskan absen dari pekerjaannya satu hari demi menemani Seojung yang waktu ini ada di dalam ruang audisi.

ー;

Mempercayakan nasib pada lagu yang semalam telah berhasil mencuri hati Tak Jin, Seojung memamerkan bakat yang dianugerahkan Tuhan padanya lewat suara, membawakan judul yang sama ditemani gitar hadiah ulang tahun dari kedua orang tuanya.

“You say I’m just a friend to you,”

Lincah memetik senar dengan jari-jemarinya yang lentik dan panjang, sepasang netra Seojung ramah mengabsen tiga dari empat orang selain Tak Jin yang hadir sebagai juri pada audisi tertutup hari ini.

“Friends don’t do the things we do, everybody knows you love me too~” Warna suaranya yang bening memenuhi seisi ruang, mulus mengisi laju dengar tiap pasang mata yang mengamati polahnya dengan raut datar.

Seojung tak gentar. Mempertahankan senyum tipisnya yang manis sementara menyelesaikan larik terakhir dari satu lagu penuh yang saat ini tengah ia suguhkan.

“Tryna be careful with the words I use, I say it cause I’m dying to, I’m so much more than just a friend to you.”

Jreng.

Satu.

Dua.

Tiga.

Lalu ditambah sepersekian detik setelahnya, gemuruh tepuk tangan terdengar memenuhi seisi ruang. Tak ayal, mengundang gemuruh lain yang membuat raga Seojung bergetar.

Dari jarak tak sampai satu depa, gadis itu menerima amplop marun yang diangsurkan Choi Tak Jin yang sama dengan yang ditemuinya semalam.

Amplop berisikan hasil audisi tertutup yang ia dapat tak sampai lima menit setelah penampilannya.

Pencapaian awal yang tidak akan pernah mungkin Seojung lupakan seumur hidup kecuali jika ia menderita amnesia.

Kertas putih bertuliskan ‘CONGRATULATION’ yang membuat dada gadis itu seolah meledak karena bahagia.

***

[ Park Seojung ]

{ 🎬 }

ㅡ DUO PLOT ; Park Seojung & Son Jinhee.

시작.

Angin penghujung musim gugur lembut menggelitik kulit leher Seojung yang telanjang. Menemani gadis bersurai perak itu mengurai langkah di bawah rimbun Ginkgo dan sesekali mencipta bunyi gesekan kecil saat wedges rendahnya tak sengaja merobek beberapa helai daun yang ada di bawah.

Selagi sekumpulan orang berlalu lalang di dekatnya, Seojung tetap berporos pada dunianya, mendekap erat map cokelat berisi data diri serta berkas penting lain yang diminta agensi dua hari sebelumnya.

Tiba persis di pelatar gedung Hero Entertainment yang berjanji akan menaungi mimpi masa kecilnya, saat itu pula Seojung merasakan pipinya mulai memanas karena bahagia.

Enggan membuang waktu lebih lama, Seojung mengayun kembali sepasang tungkai jenjangnya ditemani manik karamelnya yang nyalang meneliti isi gedung yang beberapa kali membuat bibir sang dara nyaris menganga.

Dalam pandangan Seojung, hari ini lobby utama lebih lengang dibanding saat pertama ia ke tempat ini tempo hari.

Nilai lebihnya adalah Seojung bisa leluasa mengagumi calon rumah keduanya. Sementara payahnya adalah gadis itu jadi kesulitan mencari ruang tujuan karena tak menemukan orang yang tepat untuk dijadikan peta berjalan.

Terlalu asik menjelajahi lorong di sisi kanan dan kiri, Seojung lupa pada kenyataan bahwa di depan ada meja resepsionis yang bisa ia tanyai sesuka hati.

Kepalang tanggung dan terlalu malas kembali ke depan, Seojung pilih menguji kekuatan instingnya, iseng memakai metode ‘cap-cip-cup’ yang barangkali bisa menjadi alternatif paling tepat untuk menunjukkan ruang mana yang harus didatanginya.

Berhenti di depan sebuah ruang yang seolah memiliki magic dalam imaji gilanya, Seojung dengan percaya diri mengepal genggam dan mengetuk pintu berwarna putih gading yang ada di hadapan.

‘Tok! Tok!'

Lalu tanpa persiapan, gadis yang tak sedikitpun memikirkan dampak macam apa yang akan ia tanggung kalau ternyata salah ruangan, memutar gagang pintu dan seketika dibuat meringis karena merasa tak enak atas apa yang baru saja ia lakukan.

{ @AN_Serin98 }

***

[ Son Jinhee ]

@WM_Eclair95 )

'And when the lights start flashing like a photo booth'

Cermin besar yang terpasang pada hampir seluruh bagian ruangan itu memantulkan figur seorang gadis yang tengah berdansa dengan irama.

Saat larik 'and' terpantul di dinding ruangan, tungkai kanannya maju selangkah bersamaan dengan sepasang telapak tangan yang saling bertumpuk mendorong ke bawah. Secara kontinu, Jinhee ㅡnama penghuni ruangan itu menarik pasangan tangannya ke dada dengan kaki yang tertinggal di belakang dari kesatuannya diangkat serata-rata air dan diluruskan ke pinggir. Seiring dengan pergerakan kakinya, kuasa kanan Jinhee ditarik meninggalkan tempatnya semula.

Hari ini hari sabtu, dan ruangan di salah satu gedung milik Hero Entertaiment masih terbakar oleh passion membara dari diri Jinhee. Jinhee seakan tak mengenal lagi apa itu akhir pekan.

Hidupnya hanya berotasi pada mimpi.

Jinhee seakan memiliki dimensi miliknya sendiri, tak tersentuh dunia luar. Bahkan saat pintu ruangan diketuk, indra pendengarannya tak mau repot-repot untuk mengirim impuls suara tersebut ke otak. Baru saat pantulan sosok lain tertangkap oleh korneanya, dia langsung berhenti menari.

Jinhee memutar tumitnya, menghadap gadis asing yang tengah berdiri di pintu. Matanya otomatis bergerak mengamati gadis tersebut dengan pandangan menilai.

Sebelah alisnya naik sekilas sebelum Jinhee dengan cepat menormalkan ekspresi wajahnya.

'And the stars exploding we'll be fireproof'

Jinhee bergerak meminimalisir jaraknya dengan gadis yang tak menduduki tempat sedikit pun dalam ingatannya. Dia berhenti sejenak untuk mematikan musik sebelum kini dia telah berdiri pada jarak sekitar 3 langkah dari fokusnya saat ini.

"Anda siapa?"

( @WM_Eclair95 )

***

[ Park Seojung ]

{ @AN_Serin98 }

Belum habis keterkejutan Seojung, sang dara kembali dipeluk canggung manakala mengetahui kehadirannya disadari sosok lain di dalam ruangan itu.

Terlanjur basah, si gadis Park hanya mampu memamerkan seringai canggungnya yang berlagak tak berdosa.

“Halo?” sapanya spontan, melambai singkat pada gadis di dalam.

Sama dengan yang dilakukan sosok di hadapan, Seojung bergerak dari ambang pintu lalu mendekat pelan-pelan ke satu-satunya objek yang bisa diajaknya bertukar cerita.

Kuasa kanan Seojung terulur saat esem tipis terlihat mengganti seringai canggung yang mulanya mendominasi paras sang dara. “Namaku Seojung,” tuturnya, menjawab tanya gadis yang sempat menatapnya dengan pandangan… menakutkan?

“Aku trainee baru di tempat ini.” Lanjut Seojung, cemas respon pertamanya tak terdengar memuaskan untuk sang lawan bicara.

{ @AN_Serin98 }

***

[ Son Jinhee ]

@WM_Eclair95 )

Kelopak matanya mengerjap dua kali. "...halo...?"

Sorot kebingungan kini mendominasi hazel kecoklatan Jinhee. Detik selanjutnya, sudut bibir gadis dalam balutan kaus putih itu terangkat sebagai balasan meski benaknya mulai terasa berisik dengan berbagai pertanyaan mengenai identitas lawan bicaranya.

"Ah... trainee baru?" Kepalanya mengangguk-angguk, dibarengi dengan tangannya yang menyambut uluran hangat dari Seojung. "Son Jinhee."

Lebih banyak lagi pertananya meramaikan isi kepalanya.

Satu pertanyaan yang tak pernah alfa, selalu terselip saat ada peserta latihan baru.

'Apa aku akan tersisihkan?'

Meski rasa percaya diri selalu menyelimutinya, pertanyaan itu perlahan mulai muncul sebagai manifestasi dari hal yang telah berlalu. Dimana trainee lainnya yang mulai menghilang satu per satu, kebanyakan menyerah.

Raut wajahnya tetap terlihat normal meski benaknya mulai meracau.

Melihat map yang ada dalam pelukan gadis di hadapannya ini membuat Jinhee berusaha mengenyahkan segala bentuk pertanyaan yang diproduksi otaknya.

Jinhee kembali tersenyum tipis. "Butuh bantuan?"

@WM_Eclair95 )

***

[ Park Seojung ]

{ @AN_Serin98 }

Mendapat respon yang jauh lebih terasa hangat dibanding sapaan awal, Seojung kontan mempertahankan senyum tipisnya yang lambat laun merambat makin lebar.

“Son Jinhee.” Gumamnya, merapal asma gadis yang bolehkah kini ia sebut… kawan?

Selama beberapa saat, Seojung mengikhlaskan hening mendominasi atmosfer yang menaungi keduanya.

Sampai pertanyaan berikutnya meluncur dari bibir gadis yang kini memperhatikan map dalam dekapannya.

‘Butuh bantuan?’

Tepat sekali!

Tawaran yang sempurna mengembalikan kesadaran Seojung perihal niat awalnya datang.

“Ah, ya.”

Serta merta, Seojung ganti mengangguk sebagai jawaban. “Sebenarnya aku tidak tahu harus mengantar berkas ini ke mana,” tuturnya, menggaruk bagian belakang telinga seraya memiringkan kepala; kikuk.

Merasa gadis yang mengaku bernama Jinhee barusan adalah calon teman baiknya, Seojung tanpa segan mengamini tawarannya.

Gadis itu menggerakkan lengan Jinhee yang masih bertaut dengan genggamannya. “Bisa tolong tunjukkan di mana tempatnya?”

{ @AN_Serin98 }

***

[ Son Jinhee ]

@WM_Eclair95 )

“Berkas?” Matanya melirik map coklat dalam rengkuhan Seojung. “Sebentar, biar aku antar.”

Jinhee berbalik, mengambil sebuah ransel yang sedari tadi menemaninya latihan. Hari sabtu ini seperti biasa dia memulai latihan di pagi hari. Tak ada salahnya untuk menyelesaikan latihan lebih cepat. Karena biasanya dia berlatih seharian penuh bahkan hinga larut meski Jinhee masih ingat dengan jelas bahwa sabtu termasuk akhir pekan.

Baginya, hari libur hanyalah hari minggu.

“Ayo, tapi aku berharap kau tak keberatan dengan satu hal, aku tak terlalu wangi setelah latihan.”

Tawa kecil lolos dari sela bibir Jinhee, berkolaborasi dengan suara ketukan sepatunya di lorong yang lengang.

“Ruang staff ada di lantai atas,” jelas Jinhee disela percakapan kecil mereka.

Belum sempat mereka sampai di tempat tujuan, Jinhee telah kehabisan pertanyaan. Membuat sisa perjalanan mereka dikuasai seutuhnya oleh keheningan.

Kakinya menutup, berhenti sejauh 1 meter dari lift. “Itu ruang staff,” iris kecoklatannya bergerak menunjukkan sebuah ruangan yang dibatasi oleh dinding kaca.

“Aku akan menunggumu disini, barangkali kau butuh bantuan lagi nanti.”

Matanya memperhatikan gerak-gerak Seojung, membuat satu kotak dalam ingatannya membuka. Reminisansi masa lalu, saat pertama kali dia menginjakkan kaki di gedung ini. Mirip dengan Seojung, kebingungan sekaligus merasa bahagia. Bahagia atas pencapaian yang didaki dengan penuh luka.

( @WM_Eclair95 )

***

[ Park Seojung ]

{ @AN_Serin98 }

Terhitung hari kedua sudah sejak pertama Seojung resmi menjadi penghuni salah satu kamar asrama milik agensi Hero Entertainment.

...dan kurang dari satu jam lagi, kelas vocal perdananya akan dimulai.

Sayang, meski Seojung keluar dari kamar dengan semangat membara sarat sukacita, seperti kebiasaannya saat tiba di tempat baru, gadis itu kembali dibuat kesulitan mengingat lokasi penting yang harusnya cepat ia hapal luar kepala.

Tsk!

Memang dasar si buta denah. Meski sudah diberi gambaran kasar, tetap saja tak berhasil menjamah.

Beruntung, gadis yang sama lagi-lagi mengentaskannya dari kebingungan.

Entah, bagaimana bisa Tuhan begitu apik menggarap takdir yang membawa Seojung dan Jinhee dalam satu garis berlabel pertemanan.

Saat tengah asik melempar canda selagi tungkai keduanya menghantar sang empu menuju kelas pertama, Seojung menghentikan langkah tiba-tiba begitu manik karamelnya bersirobok dengan ketegangan yang tersuguh beberapa meter di depan wajahnya.

"Benar-benar kekanakan." Komentar Seojung, samar menunjuk pertengkaran yang melibatkan dua sosok lelaki asing tak jauh dari tempatnya memijak langkah dengan kedikan dagu.

Menoleh pada Jinhee yang berdiri di sisi kirinya, Seojung mengerutkan kening seraya berbisik pada teman pertamanya. "Tidak penting sekali 'kan, bertengkar hanya karena masalah sesederhana itu?"

Gelengan heran dilaku sang dara, mendukung decakan gemasnya saat menuntut persetujuan Jinhee atas opininya.

{ @AN_Serin98 }

***

[ Son Jinhee ]

@WM_Eclair95 )

Bahkan sebelum Seojung sadar, pandangan Jinhee telah terpaku pada dua sosok yang dulu begitu terasa hangat untuknya. Ini bukan kali pertama dia melihat pertengkaran mereka, dan tiap pertengkaran yang dia saksikan selalu membukakan pintu untuk satu perasaan aneh di hatinya.

Kakinya menutup, ikut berhenti di sebelah Seojung. Masih membisu dengan fokus yang tak berganti, membuat frekuensi suara Seojung hanya membelai daun telinganya bersama angin.

Satu masa yang selalu berkelebat dalam benak Jinhee saat pemandangan keduanya tertangkap indra. Kapan terakhir mereka tertawa bersama? Bertiga, tanpa friksi.

Kini ketiganya membentuk fraksi. Atau hanya Haejoon dan Jinwoo yang menjauh, sementara Jinhee terjebak diantara keduanya. Ada dinding yang memisahkan Haejoon dan Jinwoo, yang selalu berusaha dia hancurkan tapi tak pernah sedikitpun meninggalkan jejak.

“Mereka dulu bersahabat,” balas Jinhee tanpa menoleh.

Bibirnya terangkat sebelah, dia mendengus kecil. “Abaikan saja, mereka berdua sedang mengalami masa puber.”

Pada kenyataannya, Jinhee sendiri tak bisa dengan begitu mudahnya mengacuhkan mereka.

( @hse_jackson )

***

[ Seo Haejoon ]

( @AN_Serin98 )

Dengan tas merah yang menggantung di bahu kanannya, Haejoon berjalan dengan kasual menyusuri lorong bernuansa putih tersebut. Ia menghela nafasnya ketika menyadari bahwa hari ini akan berjalan dengan biasa saja. Seperti duplikat dari hari-harinya yang kemarin-kemarin.
Tidak akan ada yang berubah.
Tidak akan ada yang terjadi.
Tidak akan ada—
Tungu dulu.
Tidak, Haejoon mengubah pikirannya tatkala ia melihat beberapa orang lelaki sedang berjalan dari arah yang berlawanan darinya, menuju ke arahnya.
Haejoon spontan menghentikan langkah kakinya dan memusatkan pandangannya pada salah satu sosok pemuda disana, melemparkan ekspresi datar yang sukar ditebak.

( @inxredivle )

***

[ Kim Jinwoo ]

( @hse_jackson )

Sekumpulan lelaki nampak tengah berbincang sembari menyusuri sebuah lorong guna mempersingkat waktu menuju tempat tujuan mereka, yakni pintu belakang menuju tangga turun untuk ke parkiran. Pakaian yang mereka gunakan terlihat rapi dan masih baru. Wajah mereka pun disertai riasan tipis, dengan beberapa jepitan pada rambut yang berfungsi untuk menahan tatanan rambut.

Sebutlah mereka BREAK. Rookie boygroup dari Hero Entertainment.

Kim Jinwoo, sang maknae, tiba-tiba saja terlihat lebih sumringah dari detik sebelumnya kala ia melihat sosok yang berada beberapa meter di hadapannya.

"Oh, Haejoon hyong! Hahaha," sapanya disertai tawa dan dengan senyuman lebar menghiasi wajah. Senyumannya tidak bertahan lama karena Jinwoo menggigit bibir bawahnya, mempertunjukkan raut muka arogan dengan alis mata yang bergerak naik. "Apa kabar kau, hyong?" Lelaki 17 tahun ini kembali mengeluarkan suara sembari kaki melangkah mendekati sang lawan bicara.

Terdengar bisikan dari belakangnya, yang jelas ia ketahui dari para hyung sesama member BREAK.

Belum benar-benar sampai di hadapan Haejoon, langkah Jinwoo terhenti karena sebuah tinjuan pelan di lengannya. "Ya. Jangan lama-lama. Kami tunggu di parkiran segera atau manajer-nim akan menyusulmu," bisik sang leader tepat di daun telinganya, sebelum mereka semua pergi meninggalkan Jinwoo dan Haejoon berdua di dalam lorong putih yang terbilang sunyi ini.

Sebuah helaan napas akibat tawa yang ditahan terdengar ke luar mulut Jinwoo. Kepalanya sedikit ia miringkan ke kiri, sementara manik matanya intens menatap Haejoon. Sudut bibir kirinya naik, melukiskan seringai tipis. "Hyong?" Nada bicaranya meninggi, layaknya adik yang memanggil kakaknya apabila ingin mengajak bermain. Selain itu, tangannya pun ia rentangkan, seolah memanggil Haejoon untuk datang ke pelukannya. "Tidak kah kau ingin dipeluk oleh seorang idol?"

( @hse_jackson )

***

[ Seo Haejoon ]

( @inxredivle )

Merutuk. Haejoon menyesal kenapa pagi harinya harus dilewati seperti ini.

Sang anak adam tak memberikan reaksi atas pertanyaan Jinwoo barusan. Namun diam-diam tangan kanannya mengepal cukup kuat. Dari tatapan setajam belati dan kepalan sekeras batunya, sudah bisa disimpulkan bahwa emosinya telah terpancing.

Ia menghela nafasnya, berusaha untuk mengontrol hati, pikiran, dan anggota geraknya untuk tidak menghajar sosok dihadapannya itu, ini masih terlalu pagi untuk membuat wajah seorang 'idol' penuh dengan memar. Haejoon bertahan seperti itu selama beberapa detik, hingga akhirnya ia mengeluarkan kalimatnya.

"Tidak bisa kah kau tutup saja mulutmu, Kim. Jin. Woo?" Tanyanya dengan memberi penekanan di setiap suku kata pada nama Jinwoo.

( @inxredivle )

***

[ Kim Jinwoo ]

( @hse_jackson )

Alis matanya kembali terangkat naik dengan bibir yang mulai mengerucut kala menunggu respon yang akan diberikan oleh Haejoon. Pikirannya bercabang menjadi dua, yakni rentangan tangannya disambut dengan baik atau justru sebaliknya.

"Tch," decakan pelan terdengar, bertepatan dengan gerak lambat kedua lengan Jinwoo yang turun kembali ke sisi tubuhnya, setelah ia mendengar jawaban yang diberikan sosok di hadapannya. Lelaki ini sudah ditolak mentah-mentah, namun manik matanya masih menatap Haejoon dengan intens. "Bagaimana bisa aku menutup mulut kalau sedang bertemu denganmu begini, hyong?" Teruna yang namanya disebutkan tadi memutar balik pertanyaan, atau mungkin gertakan, yang diberikan kepadanya.

Bukan Jinwoo namanya kalau ia menuruti permintaan Haejoon untuk bungkam. Buktinya? Kalimat lain turut ia lontarkan kepada sosok yang lebih tua dua tahun darinya itu. "Tidakkah kau merindukanku? Oh, hyong, jadwalku begitu padat belakangan ini," ujarnya mengagungkan diri dengan nada yang sebisa mungkin terdengar sendu, mencoba mempermainkan emosi sang lawan bicara, sebelum atensinya teralihkan sejenak oleh trainee yang mulai berdatangan untuk memulai latihannya. Satu dua orang di antaranya membungkukkan tubuh ke arah Jinwoo, memberikan sapaan santun yang tergolong wajib diberikan kepada senior.

Dan kejadian itu membuahkan pikiran untuk kembali berbicara kepada Haejoon. Kedua tangan Jinwoo terlipat memangku di depan dada, "Aah, sepertinya hyong tidak kalah sibuk dariku. Apa hyong masih sering berlatih hingga larut malam seperti dulu?" Penekanan ia berikan di beberapa kata, yakni masih dan seperti dulu. Sepertinya, menggoda dan berupaya menyulut emosi dari seorang Seo Haejoon merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Jinwoo, entah sedari kapan.

( @hse_jackson )

***

[ Seo Haejoon ]

( @inxredivle )

Haejoon melirik beberapa trainee lain yang membungkuk sebagai formalitas pada Jinwoo. Pandangannya sedikit melemah menyadari bahwa tak perduli selama apapun ia telah menetap disini, statusnya masih sama dengan orang-orang tadi.

Ia masih berada di bawah Jinwoo.

Tentu saja kenyataan itu membuat hatinya terasa seperti dihujam banyak mata pedang. Namun, siapa yang bisa ia salahkan? Haejoon telah memberikan segala yang ia punya, namun dirinya masih saja dianggap kurang.

Pemuda itu kembali memandang ke arah Jinwoo, pandangannya tiba-tiba saja berubah kembali menjadi tajam.

Ia mengepalkan tangannya dengan lebih kuat lagi, bibirnya bergetar pelan. "Aku bilang tutup mulutmu, Kim Jinwoo!"

Kali ini, kalimatnya sukses membuat seisi lorong yang sudah mulai dipenuhi oleh trainee lain memusatkan atensi mereka pada kedua lelaki yang sedang saling melempar tatapan tajam itu, namun Haejoon berusaha untuk tak menggubris mereka. Ia adalah trainee yang terkenal cukup ramah, maka tak heran jika mereka merasa sedikit terkejut dengan seruannya yang menggema dengan cukup keras barusan.

Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulutnya, Haejoon sudah kehabisan kata-kata. Ia tak memiliki bahan untuk membalas semua omongan Jinwoo, karena disini, saat ini, ia masih berada di belakang.

( @inxredivle )

***

[ Kim Jinwoo )

( @hse_jackson )

Haejoon memiliki garis wajah yang tegas. Dan kini, Jinwoo dapat dengan jelas melihat bahwa garis wajah itu semakin mengeras pertanda kalau emosinya sudah benar-benar terpancing. Kedua sudut bibirnya naik perlahan, lalu ia menundukkan kepalanya agar senyumannya dapat ia sembunyikan. Di saat ini lah Jinwoo dapat melihat kalau ternyata Haejoon sudah mengepalkan tangannya. "Hm," gumamnya pelan keluar tanpa ia sadari dan segera ia tahan. Ia sudah dapat menduga apa yang akan terjadi setelah itu kalau saya lorong ini sepi dan hanya ada mereka berdua. Namun beruntunglah Jinwoo, Haejoon hanya membalasnya dengan sebuah kalimat gertakan yang lebih powerful dibandingkan sebelumnya.

Kepalanya ia tolehkan, membalas tatapan tajam Haejoon seakaan memberitahu bahwasana tidak ada kata menyerah di dalam seorang Kim Jinwoo. Perlahan, kepalanya kembali terangkat dan Jinwoo mengambil selangkah maju untuk lebih mendekat ke arah Haejoon. Lelaki ini menggenggam pergelangan tangan Haejoon yag telah mengepal, "Hyong..., kamu gapapa?" Pertanyaan itu diajukan dengan penuh kekhawatiran. Setelah itu, Jinwoo menghadapkan tubuh ke belakang untuk sedikit membungkuk kepada beberapa trainee yang nampak memperhatikan ia dan Haejoon. "Maaf atas keributannya, selamat berlatih," ujarnya menyemangati, tentu dengan raut wajah yang dibuat-buat.

Detik kemudian, Jinwoo mencondongkan tubuhnya ke arah Haejoon. Menghapus jarak antara keduanya kala ia meletakkan kepalanya di samping kepala Haejoon. Bilah bibirnya tepat berada di hadapan daun telinga sang lawan bicara, bersiap untuk membisikkan sesuatu yang mungkin akan sedikit terasa menggelitik. "Bukannya kau tahu apa akibatnya kalau seorang trainee terlibat keributan di agensi, hyong?" Penekanan pada kata trainee jelas terdengar. Jinwoo kembali menarik mundur tubuhnya, walau tangannya masih setia menggenggam pergelangan tangan Haejoon.

( @hse_jackson )

***

[ Seo Haejoon ]

( @inxredivle )

Busuk.

Aksi Jinwoo barusan sukses membuat Haejoon perlahan tertawa masam. Namun pemuda itu memilih untuk diam dan tak mengambil tindakan, membiarkan lelaki yang lebih muda melakuan apapun yang ingin ia lakukan.

Pada 'penonton' dari insiden kecil itu seakan belum rela meninggalkan tontonan mereka, walau sudah diusir secara tak langsung, mereka hanya mengambil langkah mundur namun masih memusatkan atensi mereka pada dua pemuda yang menjadi penyebab dari panasnya atmosfer di koridor ini.

Pupilnya ikut bergerak tatkala Jinwoo mendekatkan wajahnya dan memposisikannya tepat di sebelah telinga Haejoon.

'Bukannya kau tahu apa akibatnya kalau seorang trainer terlibat keributan di agensi, hyong?'

Lelaki itu kembali menjauhkan wajahnya, kali ini pupilnya kembali mampu melihat wajah sang lawan bicara. Haejoon terdiam sejenak dan menatap lurus mata Jinwoo selama beberapa detik. Ia kemudian melirik tangannya yang masih dipegang oleh sang lawan bicara.

Emosi pun tak ada gunanya, bersikap seperti itu akan membuat Jinwoo makin bersemangat untuk menggodanya. Ia baru menyadari hal itu.

Haejoon kemudian mengangkat tangannya dan merubah posisi, kali ini tangannya lah yang memegang tangan Jinwoo. Ia menggunakan tangannya yang bebas untuk menepuk-nepuk genggaman tangannya pada tangan Jinwoo.

"Jadilah senior yang baik, hyung-hyungmu sudah menunggu di mobil. Jangan buat mereka terlambat," ucapnya pelan sambil menepuk-nepuk genggaman tangannya dan kemudian melepaskannya, berjalan ke depan meninggalkan yang lebih muda begitu saja di koridor.

( @inxredivle )

***

[ Kim Jinwoo ]

( @hse_jackson )

Tiba-tiba saja posisi menjadi berbalik. Tepukan yang diberikan Haejoon di atas punggung tangannya membuat Jinwoo merasa rendah dan ini sungguhlah memuakkan. Mau tak mau, pemuda ini memejamkan mata seraya menggerutukkan giginya di dalam diam guna meredam emosi. Ia menarik napas panjang sebelum ia hembuskan perlahan, bertepatan dengan kelopak mata yang kembali terangkat.

'...hyung-hyungmu sudah menunggu di mobil....'

Kalimat itu seakan menjadi bijih timah panas yang melesat memasuki indera pendengarannya, lalu terpendam dalam benak.

Sial.

"Tch," decaknya kesal seraya memalingkan pandangan kala Haejoon melepaskan pegangan tangannya dan berlalu begitu saja. Kembali Jinwoo mengatur napasnya agar emosinya meredam. Ia tidak boleh merusak imejnya di hadapan penonton setia yang sedari tadi tak kunjung pergi jua. Selang beberapa detik dari sepeninggal Haejoon, Jinwoo membalikkan tubuhnya untuk menghadap tubuh pemuda tersebut. Tangannya melambai semangat kala ia menyerukan kalimat, "Semangat berlatihnya, hyong!" Kedua sudut bibirnya kembali terangkat naik, walau perlahan dengan jelas seringai lah yang tertinggal di sana.

Tanpa berharap akan adanya balasan dari Haejoon, Jinwoo pun mulai berlari menuju tangga yang akan membawanya ke lahan parkir tempat mobil van yang menunggunya terparkir.

( @hse_jackson )

***

[ Seo Haejoon ]

( @inxredivle )

'Semangat berlatihnya, hyong!'

Kalimat yang diteriakkan Jinwoo barusan sukses membuat Haejoon sedikit memelankan langkahnya dan melirik ke belakang, walau dirinya tak benar-benar bisa melihat lelaki tersebut.

Pemuda kelahiran 1998 itu berjalan naik ke atas tangga dan membungkuk sopan pada beberapa staff yang tak sengaja berpas-pasan dengannya selama perjalanan menuju ruang latihan yang biasa ia gunakan.

Haejoon mengedarkan pandangan ke sekitar koridor yang sedang ia lewati itu, dan tiba-tiba langkahnya terhenti melihat salah satu ruang latihan yang kosong, dengan hanya diterangi oleh sinar matahari yang menembus kaca besar di salah satu sisi ruangan tersebut.

Pandangannya terlihat melemah, ia memandangi ruangan itu selama beberapa detik sebelum akhirnya kembali berjalan menuju ruangan yang ia tuju di ujung koridor tersebut.

( @inxredivle )

***

[ Kim Jinwoo ]

( @hse_jackson )

— Next scene.

"Maaf telah menunggu lama," ucapnya dengan napas yang beradu saat tiba di hadapan pintu mobil van yang terbuka di lahan parkir. Seisi mobil, member BREAK lainnya beserta sang manager, nampak memperhatikan dengan pandangan kurang suka. Walau mau bagaimanapun, Jinwoo tetaplah disuruh masuk agar mereka bisa segera berangkat.

Beberapa bulir peluh menghiasi keningnya, hasil dari langkah ekstra cepat kala ia berlari dari lorong tempatnya bercengkerama dengan Haejoon menuju mobil yang kini sudah melaju ini. Jinwoo duduk di kursi deretan paling belakang, berhubung denah duduk diatur berdasarkan usia dan ia merupakan member paling muda. Dengan punggung tangan, pemuda ini mengusap peluh pada wajahnya. Hingga pergerakan tangannya di tahan oleh salah satu member yang duduk di sampingnya, "Eish, kau ini. Pakai sapu tangan agar tidak merusak riasan." Kalimat tersebut terucap beriringan dengan sebuah sapu tangan yang diarahkan kepadanya. Jinwoo terdiam sesaat, hingga akhirnya menerima sapu tangan tersebut. "Terima kasih, hyong," ucapnya setelah mengambil sapu tangan milik hyongnya itu dan mulai membasung peluh. Namun, tiba-tiba saja pikirannya melayang, membawanya kembali ke masa-masa terdahulu di mana peluh merupakan karibnya karena ia selalu berlatih bersama teman akrabnya sesama trainee.

— Kilas balik; Awal tahun 2014 —

Tidak disangka, ternyata tahun kuda kayu ini merupakan awal mula dari keberuntungan seorang Kim Jinwoo. Dengan masih mengenakan seragam sekolah, lengkap dengan tas slempang menggantung di bahunya, pemuda ini berdiri di hadapan sebuah gedung besar bernama Hero Entertainment. Akhirnya. Setelah berkali-kali ia mencoba untuk mendaftarkan diri dan menjalani prosesi audisi, kali ini ia berhasil merebut status trainee yang ia damba-dambakan.

Sore itu, Jinwoo memutuskan untuk tidak mengikuti pelajaran tambahan di sekolah guna menuju gedung agensi yang menaunginya itu. Tekadnya begitu besar, ia ingin segera memulai latihannya karena tidak mau kesempatan yang telah ia dapatkan terbuang sia-sia. Di sore itu pula, ketika ia baru akan melangkah memasuki gedung tersebut, Jinwoo bertemu dengan seorang gadis yang menggetarkan hatinya. Entah bagaimana bisa, namun dapat dengan jelas ia merasakan degup jantungnya berdetak lebih cepat. Gadis itu ... cantik. Namun, ada hal lain yang perlu Jinwoo ketahui agar ia dapat mengerti mengapa ia dapat dibuat terpesona saat mereka baru pertama kali berjumpa. Melihat gadis itu memasuki Hero Entertainment membuatnya sadar kalau mereka akan menempati gedung yang sama. Hal ini juga membuatnya mulai menggerakkan sepasang tungkainya dengan cepat guna menyusul gadis itu. Sayangnya, ia tidak dapat menghampiri sang gadis secara langsung karena ia ditahan oleh resepsionis. Berhubung ia trainee baru, terlebih dahulu Jinwoo harus melengkapi data dan menyelesaikan administrasi yang ada agar kontrak trainee dapat segera dicetak.

Waktu setelahnya terasa begitu cepat, hingga hari demi hari pun kini berganti sudah. Jinwoo telah mengetahui nama sang gadis, yakni Jinhee. Son Jinhee. Pemuda ini memang belum sempat mengajak Jinhee berbicara karena belum mendapatkan kesempatan, namun ia sudah memiliki tekad untuk mengajaknya berkenalan suatu hari nanti. Hari terus berganti. Selama masa pelatihan sebagai trainee, Jinwoo turut memanfaatkan hari-hari tersebut untuk memperhatikan gerak-gerik Jinhee. Mulai dari dengan siapa saja gadis itu bergaul, hingga makanan dan snack apa yang sering gadis itu beli di kantin. Dari situ juga ia mengetahui kalau Jinhee akrab dengan trainee pria bernama Seo Haejoon, yang merupakan trainee setingkat di atasnya. Pengamatannya juga mengatakan kalau keakraban mereka nampak lebih dari sekadar senior-junior maupun teman dekat. Ada yang berbeda dari cara Jinhee memandang Haejoon, serta cara Haejoon merespon segala tindakan yang dikeluarkan Jinhee.

Walau bagaimanapun rintangannya, Kim Jinwoo tetaplah Kim Jinwoo. Ketidakpastian seperti itu tidaklah menyurutkan keinginannya untuk berkenalan dan mengakrabkan diri dengan Son Jinhee. Hingga pada suatu sore yang dingin di bulan Januari, ia menghampiri gadis itu dan mengajaknya berbincang. Di dalam ruang practice, hanya ada ia dan Son Jinhee. Gadis itu baru saja tiba, sama seperti dirinya. Kesempatan emas, bukan?

"Hm, Son Jinhee-ssi?" Panggilnya pelan dengan nada bicara yang begitu sopan kala menyebutkan nama tersebut. Gadis tersebut menolehkan kepalanya, hingga menghadapkan tubuhnya ke arah Jinwoo. "Iya? Kau mengenalku?"

3 kata itu adalah ucapan pertama dari Son Jinhee kepada Kim Jinwoo. Terdengar cukup ketus, namun tidak ia pedulikan. Kepalanya mengangguk, lalu menggeleng, dan mengangguk lagi. "Ah, sekitar dua minggu lalu saya diterima sebagai trainee di sini dan, hm, masih merasa asing akan beberapa hal. Apa boleh saya meminta bantuanmu?" Sebisa mungkin, ia mengajukan pertanyaan yang masuk di akal berhubung menurutnya ini adalah satu-satunya alasan yang tepat agar mereka dapat menghabiskan waktu bersama. Hening menyelimuti, hingga Jinwoo sadar kalau ia belum menyebutkan nama. Wajar saja tatapan heran masih dipancarkan gadis itu. "Jinwoo. Nama saya Kim Jinwoo," sahutnya seraya mengulurkan tangan ke hadapan Jinhee, agar gadis itu dapat menjabat tangannya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, Jinhee menyambut jabatan tangannya dan mereka mulai berinteraksi. Dengan cukup aktif, Jinhee menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Jinwoo. Dimulai dari pertanyaan mengenai pelatihan, tentang senior mereka baik yang sudah debut ataupun yang masih trainee, hingga hal-hal sepele seperti jadwal makanan yang disediakan oleh kantin. Melalui percakapan ini, Jinwoo sedikit ditampar oleh kenyataan karena mengetahui secara langsung dari Jinhee mengenai seberapa paham ia tentang sosok Seo Haejoon. "Selamat malam!" Sapaan riang tersebut memecah interaksi antara Jinwoo dan Jinhee. Rupanya, trainer mereka telah tiba. Mau tak mau percakapan di antara dua insan ini pun berakhir, walau Jinwoo sempat meminta Jinhee berjanji untuk menemaninya berkeliling esok hari. Dan sisa malam itu dihabiskan untuk berlatih tari, salah satu kelas yang disukai Jinwoo.

Keeseokan harinya, dan beberapa hari setelah itu, hari-hari Jinwoo diisi dengan kehadiran Jinhee yang membuat masa traineenya menjadi lebih berwarna. Baik itu saat sedang latihan, istirahat, maupun waktu makan mereka lalui bersama. Walaupun terkadang tidak hanya ada mereka berdua, namun tetap saja kehadiran Jinhee sudah lebih dari cukup bagi Jinwoo untuk menyingkirkan kehadiran insan lain dalam pertemuan mereka.

Suatu siang di akhir minggu bulan Februari, Jinwoo membuat janji untuk mentraktir Jinhee memakan nasi kari di kedai Jepang tak jauh dari gedung Hero Entertainment. 15 menit sudah ia menunggu, akhirnya figur yang dinantikan pun tiba. "Ayo, selagi masih jam makan siang," ajaknya kepada Jinhee yang direspon dengan penolakan. "Tunggu sebentar lagi, ya?" Pinta gadis itu, yang tidak mungkin bisa ditolak oleh Jinwoo. Selama menunggu, entah menunggu apa, kedua insan itu kembali bertukar cerita dan bercanda ria. Hingga akhirnya suara yang sudah tidak asing lagi memasuki indera pendengarannya dan mengusik atensinya. "Sudah menunggu lama, kah?"

Seo Haejoon datang.

Rupanya, Seo Haejoon lah yang ditunggu oleh Jinhee sedari tadi.

Apakah tidak bisa ia bertemu dengan Jinhee tanpa gangguan Haejoon sekalipun? Sekali saja? Hanya ... satu kali?

"...Cukup-"

"Tidak lama kok! Yuk, kita berangkat." Jinhee memotong kalimat yang baru saja ingin disampaikan Jinwoo. Membuat pemuda ini menatap sosok seniornya itu dengan penuh ketidaksukaan, walau pada akhirnya ia tetap berusaha bersikap biasa akan kehadiran Haejoon. Mau bagaimanapun, dia adalah sosok yang senior yang ia hormati. Meski di sisi lain dia juga merupakan sosok saingan yang harus disingkirkan dari sisi Jinhee.

Persaingan itu nampak lebih membara di sisi Jinwoo. Berbagai cara untuk memberikan jarak antara Jinhee dan Haejoon ia lakukan, meski tidak membuahkan hasil yang ia inginkan. Lambat laun, sikapnya yang seperti ini justru membuatnya dekat dengan Haejoon. Dua pemuda ini sering berbincang saat Jinhee sedang tidak bersama mereka, bahkan tak jarang mereka menghabiskan waktu bersama untuk berlatih dan meningkatkan skill tari mereka.

( @hse_jackson )

***

[ Seo Haejoon )

( @inxredivle )

Haejoon menekan tombol play pada layar ipodnya yang sudah tersambung pada aux speaker di sudut ruangan latihan mereka.

"Bersiaplah!" teriaknya pada Jinwoo seraya kembali berjalan ke tengah ruang latihan tersebut, memposisikan diri mereka tepat di depan cermin. Ia menurunkan tudung kepalanya kemudian mengacak-acak rambutnya yang sudah basah karena keringat. Ketika intro lagu mulai dimainkan, Haejoon segera menutup rambutnya lagi dan merapihkan hoodienya sambil mengambil beberapa langkah mundur, semakin menjauh dari cermin besar dihadapannya itu.

"A few bottles on the table, a few waters," Haejoon sedikit menyanyikan lagu tersebut sambil menunggu timing yang tepat untuk mulai menggerakan tubuhnya.

( @inxredivle )

***

[ Kim Jinwoo ]

( @hse_jackson )

Sontak saja, tubuh pemuda yang tengah berbaring dengan tangan terlentang itu bangkit bangun dengan melompat. Peluh memenuhi wajah dan kemejanya yang kini sudah basah, namun semangat tetap membara untuk melanjutkan latihan. Tanpa membalas seruan dari partner latihannya, Haejoon, Jinwoo melangkahkan kaki untuk berdiri sejajar dengan Haejoon sembari menggerakkan kepala mengikuti ketukan lagu.

"Guess whose it is? Guess whose it is?" Lantunan lirik itu terdengar bak bisikan yang keluar dari mulut Jinwoo, menyahuti lirik yang dinyanyikan Haejoon. Tatapannya lurus dan tajam menuju refleksi dirinya yang terpantul di layar kaca yang menjadi lapisan dinding ruangan ini. Ia nampak begitu serius, berbeda apabila sedang tidak latihan. Kini, hanya tinggal menunggu ketukan yang tepat untuk mulai menggerakkan tubuhnya.

'It's yours....'

( @hse_jackson )

***

[ Seo Haejoon ]

( @inxredivle )

Haejoon dan Jinwoo mulai bergerak mengikuti beat lagu tersebut. Mereka melangkah maju dengan posisi menyorong sambil mengepalkan kedua tangan mereka dan kemudian seakan meninju udara keatas dengan bertenaga namun terkontrol. Kemudian menekan tangan mereka ke bawah dan membuka tangan kiri mereka ke atas.

'Next time we fxck, I don't want to fxck, I want to make love. Next time we talk, I don't want to just talk, I want to trust'

Mereka menggerakan tubuh mereka dengan tempo yang cepat, kaki kiri mereka menapak sedikit jauh ke kiri, dan tangan kanan mereka kemudian seakan menarik kaki kiri mereka kembali ke posisi awal dari atas. Mereka memutar tangan melewati kepala dan kal ini menengok ke kiri. Tangan kanan mereka bergerak seperti mengisyaratkan mulut yang sedang berbicara sambil kembali menariknya mendekat pada tubuh mereka. Kemudian mereka menyilangkan kaki mereka sembari kini mengulurkan kedua tangan mereka ke kanan, dan perlahan-lahan menariknya kembali.

'Next time I stand tall I want to be standing for you. And next time I spend I want it all to be for you'

Kedua pemuda yang hanya berselisih umur satu tahun itu berjengkeng dan kembali berdiri dengan gerakan yang patah-patah, setelah itu menghadap ke kiri dan menarik tangan kiri mereka ke belakang sementara tangan kanan mereka menunjuk ke depan. Berputar hingga kini menghadap ke kanan, mereka kemudian melangkahkan kaki kiri mereka ke depan dengan ringan, namun kembali menariknya dan membuat keduanya kini menghadap ke depan. Haejoon dan Jinwoo seakan menyiku udara dengan kedua tangannya, setelah itu bergeser ke kiri dengan langkah kaki yang menyilang.

'Peaking, I'm peaking, wake up with me this weekend, weekend'

Mereka menunjuk ke depan sambil perlahan-lahan menunduk dan kini menopang tubuh mereka dengan tangan dan lutut di lantai, mengambil posisi seperti kuda. Kaki kiri mereka disilangkan di atas kaki kanan, mereka menggeser ujung telapak kaki mereka dan kini kembali berjongkok dengan lutut kiri yang ikut menjaga keseimbangan tubuh mereka. Tangan kanan mereka seakan nyaris menjedugkan kepala mereka dengan kaki kanan mereka.

Dengan itu, keduanya kembali berdiri sambil mengikuti irama dan memutar tubuhnya, berakhir menghadap ke arah kanan dengan berjinjit. Masih mengikuti irama musik, keduanya seakan sedikit menjatuhkan tubuh mereka dan memberi efek pantulan, sementara tangan kanan mereka perlahan bergerak menjauh.

'Guess who's it is? Guess who's it is? Guess who's it is? It's yours'

Haejoon dan Jinwoo memposisikan kedua tangan mereka sedikit berjarak dari tubuhnya, dan melangkahkan kaki mereka secara menyilang dengan besar ke depan sambil mengepalkan tangan mereka di depan.

'Own it'

Ketika lagu mencapai titik lirik yang di-loop tersebut, keduanya berjalan ke belakang dengan sedikit membungkuk dan kedua tangan yang sikunya ditekuk seperti berjalan bebek. Mereka kemudian sedikit menggerakan kaki mereka, kemudian melempar kaki kanan mereka dan kembali menariknya, membuat kini mereka menghadap ke kanan dan melakukan hal yang sama pada kaki kiri mereka.

Keduanya setelah itu menggeleser ke kiri dan mengambil satu langkah ke depan sebelum kembali berhenti dan membuat getaran pada tubuh mereka mengikuti irama lagu tersebut.

'I said go own that shxt. Own that shxt, go own that shxt.'

Pada bagian ini, keduanya berputar dan bertukar posisi, kemudian kembali berjengkeng dengan arah yang berlawanan dan memposisikan kaki kiri mereka menjauh dan perlahan kembali menariknya sebelum menopang tubuh keduanya dengan tangan mereka dan berputar sambil berusaha untuk kembali berdiri.

'Own it.'

Masih dengan arah yang berlawanan, kali ini mereka menggerakan tubuh mereka ke kiri dan ke kanan sambil perlahan-lahan merendahkannya. Keduanya kembali berdiri tegap dan kini memposisikan belakang telapak kaki mereka ke kiri dan ke kanan disusul dengan tubuh keduanya.

'I said go own that shxt. Own that shxt, go own that shxt.'

Kedua lelaki itu menggerakan kedua tangan kanan mereka seperti akan mengambil sesuatu di dalam kantung baju mereka dan kembali menariknya dengan gerak kaki kanan yang menyesuaikan, sementara tangan kiri mereka berada diatasnya sebanyak beberapa kali. Setelah itu kembali membuat gestur mulut yang sedang berbicara dengan tangan kanan mereka, sambil menggerakannya menjauh dari keduanya. Mereka kemudian menunjuk ke arah kiri dengan kedua tangannya sambil mengambil selangkah mundur. Dan dengan gerak cepat, mereka menggerakan kedua tangannya membentuk sebuah persegi tanpa sisi bawah, kemudian menyiku kedua sisi samping mereka dan melipat tangan mereka sementara kaki mereka yang berdiri rapat berjinjit dan kini menghadap ke kiri.

Keduanya mengambil langkah ke belakang dengan kaki kiri mereka sementara tangan kanan diposisikan diatas kepala dan tangan kiri mereka sejajar dengan tubuh mereka. Mereka kemudian berputar dan berakhir menghadap ke kanan.

Terdiam sejenak, dada keduanya terlihat naik dan turun secara tak beraturan. Mereka tentu membutuhkan banyak pasokan oksigen untuk paru-paru mereka yang sudah hampir terbakar ini.

Haejoon kemudian menengok ke arah Jinwoo yang juga masih merauk udara sebanyak yang ia bisa. Pemuda yang lebih tua kemudian tersenyum dan mengangkat kedua tangannya di udara, dan yang lebih muda menanggapi tangan Haejoon dengan menepukkan kedua tangannya pada tangan Haejoon--melakukan high five.

— End of Flashback —

( @inxredivle )


**

[ Han Yumi ]

[Solo Plot Han Yumi, Episode 1]

“Yumi?”

Gadis pemilik nama tersentak tatkala suara lembut ibunda memecah lamunan. Yumi menoleh pada sumber suara, sekilas menarik sudut bibir hingga membentuk kurva manis asimetris.

“Sudah sampai, sayang. Kau tak ingin terlambat latihan dan mengecewakan Ayah bukan?” tutur Ibunya pelan dibalik kursi pengendara.

Yumi kembali tersenyum, menggangguk perlahan sebelum mengarahkan kuasa pada knop pintu. Tungkainya bergerak cepat diiringi getaran hebat, menjauhkan raga dari Bentley Cotinental GT berpoles kelabu milik Ibunda. Ia tak ingin sang wanita tahu rasa takut yang perlahan menyelimuti tiap kali raganya memasuki gedung kebanggaan Ayah, Hero Entertainment.

“Nona Yumi baru tiba? Tetapi tenanglah saya pun belum melihat trainer Choi. Semangat untuk latihan anda!” sapa seorang petugas yang tampak ramah.

Yumi kembali memberikan senyuman sama, perlahan kehilangan makna dari sang lengkungan. Helaan nafas lega sempat ia susupkan seraya mengucapkan terimakasih pada sang adam, sebelum kembali menggayunkan pangkal tungkai seirama degup jantungnya.

Sejujurnya ia benci keterlambatan, namun beberapa tugas sekolah memaksa untuk tinggal lebih lama. Kini hanya hentakan langkah mengadu pada ubin senantiasa menemani, tersalur cepat oleh ujung tumit hingga menuju ruang latihan.

Si gadis menghela nafas panjang untuk kedua kalinya, memaku pandang cukup lama di hadapan pintu ruang. Rungunya cermat terpasang, sejenak menikmati untaian canda yang teralun dari balik dinding pemisah. Alunan canda yang tak pernah ada untuknya, Han Yumi.

‘Grek’

Riuh yang sejak tadi terdengar seolah hilang seketika tatkala pintu terbuka, berganti bisikan dari celah bibir dan pandangan sinis beberapa trainee. Tiap corak iris menggambarkan kebencian, rasa kesal, maupun ejekan yang tertuju padanya.

“Masih datang? Enyah saja!”

“Moodku hilang hanya dengan melihat wajahnya.”

Sang dara yang menjadi objek hanya diam, melenggang santai melewati diagonal ruang. Sudut ruang, itulah tempat Yumi. Tak ada satupun yang ingin berlatih di dekatnya, seolah ia bukanlah manusia wajar yang pantas bersanding di ruang empat sudut tempat mereka berlatih.

Dan inilah Han Yumi, memilih untuk tak acuh dengan mimik ketus terpatri pada wajah. Terkadang ia berfikir bahwa mereka tidak adil. Apa salahnya memiliki mimpi? Apa hanya mereka dengan bakat super yang dapat bermimpi? Tetapi dirinya sadar, mungkin bagi gadis-gadis itu ia lah yang tidak adil. Si gadis tanpa bakat, bermodal paras dan jabatan CEO milik orang tua, masih saja punya nyali menginjakkan ubin yang sama dengan trainee berbakat seperti mereka.

Yumi menutup rungu dengan sepasang earphone mini beraksen perak. Sekilas pandangan netra teralih, memastikan bahwa gadis-gadis sama tak lagi mengusiknya. Alunan piano 8 bar yang memanjakan indera perlahan menemani gerak sendi tungkai sang dara, memutar diri perlahan, memulai lembaran hari lain dalam dunianya.

"Tetapi sungguh, apakah mengharapkan seorang teman itu mustahil untukku?"

( @SJH_Seungcheol )

***

[ Goo Sanghyuk ]

[ # — Goo Sanghyuk ; EPISODE 1. ]

Pria bersurai hitam kelam tersebut menendang batu jalanan dengan asal, ia memilih untuk kembali ke kediaman nyamannya sehabis pulang sekolah, mengingat sang ibu akan kembali pulang sore nanti.

Jas almamater yang terpasang apik di tubuhnya sedikit berkibar karena angin keras siang itu. Tak seperti biasanya, sinar matahari tak begitu terik hari ini.

Orang-orang berlalu lalang melewati sang adam. Ada yang dengan berjalan dengan sang ayah di sebelahnya, dengan kekasih– atau berjalan sendiri dengan earphone yang setia menyumpal kedua indera pendengarannya.

Tidak seperti teman-teman sekolahnya yang ayahnya dengan senang hati datang untuk menjemput sang buah hati, Sanghyuk; pria bersurai hitam kelam tersebut, justru harus pulang sendiri.

Setidaknya setelah ayah dan ibunya berpisah.

Tak habis penderitaan Sanghyuk, ia dan ibunya tidak mendapat kesempatan untuk berkehidupan cukup saat sang ibunda dipecat dari pekerjaannya sebagai pegawai swasta.

Kini sang ibu hanyalah seorang petugas kebersihan di sebuah agensi ternama. Ze— apa namanya? Zero Entertainment?

Entahlah. Sanghyuk tidak begitu hapal dengan tempat kerja wanita yang menjadi prioritasnya itu.

Kedua tungkai sang adam masih melangkah; jarak rumahnya dengan sekolah memang cukup jauh. Terlebih ia harus menaiki ratusan– tidak, mungkin ribuan anak tangga untuk mencapai rumahnya.

Bukan berarti ia tinggal dalam kompleks perumahan mewah, justru ia dan sang ibu hanya tinggal di dalam rumah minimalis yang nyaman. Memang tak semewah rumah lain; namun Sanghyuk dapat menemukan hangatnya kasih sang ibu disana.

Gelengan pelan mengakhiri pergulatan batinnya, bersamaan dengan kaki kanannya yang mengijak anak tangga terakhir. Sanghyuk sudah terlalu terbiasa dengan rasa lelah yang menerpanya setiap kali ribuan anak tangga itu berhasil ia lewati.

"Hhh—" Helaan nafas lolos dari belah tubir sang adam, sembari kuasanya mendorong pintu kayu tersebut. Keadaan ruang tamu yang tertata apik langsung menyambutnya.

Sanghyuk mengulas senyum. Pasti ibunya sudah merapikan rumah sebelum dirinya pergi bekerja.

"Sanghyuk-ah? Apa itu kau, Nak?"

"Eomma?" Dahinya mengernyit; menyiratkan tanda tanya yang besar di wajahnya. Tumben sekali ibunya pulang lebih dulu? Apa ada sesuatu?

Tungkai Sanghyuk berjalan masuk lebih dalam, menghampiri ruang keluarga dan menemukan sosok wanita paruh baya duduk disana.

"Eomma? Kenapa sudah pulang, hm?" Nada bicaranya lembut; membiarkan pantatnya menyentuh empuknya sofa.

Bukanlah jawaban yang ia terima, justru senyuman lebar sang ibunda menyambutnya. Kernyitan dahinya tampak lebih jelas sekarang, tangannya dengan lembut meraih tangan sang ibu.

"Eomma sedang senang? Ceritakan padaku." Sanghyuk secara refleks menarik sudut bibirnya, tersenyum lembut.

"Sanghyuk-ah," Suara serak sang ibunda memenuhi rungunya, yang ia hanya jawab dengan deheman pelan. "Kau dipanggil presdir Hero Entertainment."

"Ne?" Sang teruna memiringkan kepalanya. "Dipanggil? Untuk apa, eomma?"

Wanita yang jauh lebih tua darinya ini menggeleng, tetap dengan senyum yang tak luntur dari bibirnya. "Eomma juga tidak tahu, sayang. Namun sepertinya.. bukanlah sesuatu yang buruk."

"Ah—"

"Mungkin suatu audisi?"

"Audisi?" ulangnya ragu. Bukannya apa, masalahnya Sanghyuk tidak pernah mencoba mengetes kemampuannya dibidang seni; setelah dirinya mendapat skor terendah di bidang menyanyi.

Dilihatnya sang ibunda mengangguk. "Iya. Eomma juga mendengar Hero Entertaiment sedang merekrut beberapa trainee. Ini akan mengubah nasib kita kalau kau lolos audisi, nak."

Sanghyuk terdiam. Tangannya dengan refleks meremat tangan sang ibunda.

Benar juga apa yang ibunya katakan. Kalau dirinya lolos, nasibnya akan berubah. Seratus delapan puluh derajat. Ia akan bisa membiayai sekolahnya sendiri, ia akan bisa membuat ibunya bekerja lebih layak.

Ia bisa membuat sang ibu bahagia.

Namun, ia benar tak ada kemampuan dalam bidang menyanyi, menari apalagi. Lalu apa yang akan ia tunjukan di audisi nanti? Kalau saja–

"Nak?"

Lamunannya pecah akan suara sang ibu yang kembali memenuhi rungu sang teruna. "Y-ya?"

"Bagaimana?"

Sanghyuk kembali tertegun– untungnya tak sampai lima menit, sebelum sudut bibirnya tertarik mengulum senyum. Ia mengangguk, mengeratkan genggamannya pada tangan sang ibunda.

"Ne, aku akan coba. Besok, kan? Aku ikut eomma pergi kesana, ya?"

( @WM_Eclair95 )

***

[ Park Seojung ]

{ @SJH_Seungcheol }

Seojung membungkuk meraih sebotol minuman isotonic yang sudah mengembun di dekat kakinya. Membuat surai ekor kudanya jatuh ke samping kanan beriring bulir peluh yang menggelinding dari pelipis lalu hilang di balik rahang.

Setelah menormalkan kembali posisi berdirinya dan menenggak isi botol hingga tandas hampir setengah, desah penuh kelegaan mencuat dari bibir sewarna peach milik sang dara.

Bertepatan dengan terangkatnya paras Seojung hingga iris karamel gadis itu dapat mengabsen isi ruang lewat pantulan cermin besar yang nyaris jadi pengganti dinding, saat itu pula ia mendapati sosok gadis dengan wajah kuyu bermandi peluh. Cukup untuk menegaskan jika apa yang dilakoninya di tempat ini melelahkan dan tak sebentar.

Memutar badan lantas disambut profil gadis lain yang eksistensinya di cermin tadi tak sempat ia perhatikan benar-benar, Seojung meringis menatapi Jinhee yang rela menemaninya sejak menjelang senja hingga dewi malam mulai merajai petang.

Masa trainee Seojung sudah terhitung lebih dari tiga puluh hari saat ini. Tak ayal, memaksa si gadis Park yang sekarang mengemban kewajiban tambahan selain tugas sekolah dan belajar, harus mulai memikirkan perihal bulan evaluasi trainee yang menghadang dalam hitungan hari.

Menyanyi boleh saja jadi kebisaannya. Namun, tidak dengan dengan olah gerak Seojung yang jauh dari kata sempurna.

Maka di sinilah gadis itu waktu ini. Kembali merepotkan Jinhee yang notabene senior dan sudah dianggapnya sahabat karena selalu membantu sejak pertama kemunculannya.

"Jinhee-yaa." Panggil Seojung, mengangsurkan botol miliknya kalau-kalau sang kawan merasa dahaga serupa.

Setelahnya, Seojung bergeser, kembali bersisian dengan Jinhee dan mengulang gumaman yang dicetusnya entah kali keberapa.

"Kenapa susah sekali gerakannya..."

Putus asa memutar panggul yang belum jua bisa harmonis dengan ketukan musiknya.

{ @AN_Serin98 }

***

[ Son Jinhee ]

@WM_Eclair95 )

Bibir tipisnya menggumamkan sebuah irama lagu disertai raganya yang bergerak-gerak kecil. Sementara fokus Jinhee terbagi dua, satu memperhatikan gerakannya dan lebihnya mengawasi pergerakan gadis yang mulai dekat dengannya. Ya, gadis yang diantarnya ke ruang staff sebulan yang lalu.

Jinhee berhenti menghafal gerakan sebuah lagu ketika Seojung berhenti menari. Dia tertawa kecil saat mendengar gerutuan gadis tersebut. Tangannya terjulur menyambut botol air minum dari Seojung dan meminumnya dengan kasual.

“Bagian mana yang sulit?” tanya Jinhee dengan senyum menenangkan, seolah berkata bahwa kau-pasti-bisa.

Sejak tadi, Jinhee telah mengawasi Seojung latihan setelah gadis itu menyeretnya (dan dia pun dengan sukarela menyanggupi permintaan Seojung) ke sini. Dia juga tak keberatan untuk memberi masukan ketika temannya itu menemui kesulitan.

Jinhee mengambil tempat di sebelah Seojung. “Jangan terpaku pada gerakan yang dihafal harus sempurna seperti aslinya, coba menari dengan feelmu sendiri. Dengarkan musiknya, sesuaikan juga dengan feel musik.” Dia menatap pantulan di cermin, memberi sedikit saran atas apa yang sering dia lakukan ketika menari.

“Itu, ubah kakimu seperti ini, kurasa akan mempermudah gerakan tadi.” Kakinya diluruskan ke depan dengan ujung kaki menyerong. Setelah sejak tadi dia hanya mengarahkan gerakan, akhirnya Jinhee turun tangan untuk memperbaiki gerakan Seojung secara langsung.

( @WM_Eclair95 )

***

[ Park Seojung ]

{ @AN_Serin98 }

Bagian mana yang sulit?

Oh... astaga!

Bolehkan ia bilang hampir seluruhnya?

Seojung berdecak samar, meski tak lagi berdiam diri di titik tarsalnya berpijak kini. Gadis itu beringsut mendekat, menurut pada titah Jinhee yang memintanya memperbaiki koreografi.

'Jangan terpaku pada gerakan sempurna pada lagu asli.' Pesan Jinhee sebelumnya.

Seojung menggaruk tengkuk. "Jadi harus bagaimana...? Aku bahkan belum menemukan 'feel-ku' sendiri." Protes gadis itu, mengucir bibir menghadap Jinhee yang ada persis di samping tempatnya berdiri.

Mengikuti fokus sang kawan, Seojung latah menilik pantulan dirinya yang masih terangkum dalam cermin di hadapan.

Dalam satu kali tarikan napas, Seojung meneguh tekad. 'Oke! Fokus, Park Seojung!'

Pertama-tama, gadis itu menarik tungkai kirinya sejengkal di depan kaki kanan dengan posisi menyerong. Kemudian, sirahnya tertoleh, secara tidak langsung menuntut tanggapan Jinhee soal gerakan yang dirasanya sudah mulai benar.

Tak cukup sampai disitu, Seojung seperti kembali percaya diri bermain dengan bahu; bergedik ke arah kiri selagi kuasa yang sama mengibas ke samping beriring hitungan ketukan yang ia rapal dari bibirnya sendiri.

Sekali lagi ditolehnya Jinhee, lalu Seojung menghadiahi senyum yang lebih melegakan dari sebelum ini.

Terimakasih pada Son Jinhee; guru, sahabat, sekaligus penolong yang dikirimkan Tuhan padanya di tempat ini.

Menerbangkan pandang, iris karamel Seojung tak sengaja tertambat pada pergerakan jarum pada jam bundar yang menggantung di tengah atas dinding ruangan.

Sudah lebih dari tiga jam ia mencuri waktu istirahat Jinhee untuk membantunya di sini.

{ @AN_Serin98 }

***

[ Son Jinhee ]

@WM_Eclair95 )

Ringisan pelan tak bisa ditahan Jinhee kala keluhan Seojung telah diproses dengan cepat oleh otaknya. Sibuk memilah kalimat lain yang lebih sederhana, berujung dengan menemui jalan buntu. Jinhee malah merasa gemas pada diri sendiri, terlebih pada Seojung.

Jinhee kini menghadap sepenuhnya ke arah cermin dengan kaki menutup, sebelah tangannya bertolak pinggang, menatap lekat bayangan Seojung, meneliti gerakan yang tadi dia contohkan. Berlanjut pada gerakan berikutnya, Jinhee memiringkan kepala dan menggigit bibir bawahnya. Merasa lagi-lagi ada yang bagian tak sesuai.

Tapi dia hanya tersenyum.

Jinhee mundur selangkah, memperhatikan gerak-gerik gadis yang tengah sibuk dengan gerakan tarian. Garis-garis imajiner mulai bermunculan di dahinya, tanpa mau membuka mulut untuk mengeluarkan isi dari pemikirannya.

Jinhee rasa dia telah mengoreksi gerakan ini tadi, atau belum?

Rasanya arahan Jinhee tadi terasa jelas, apa Seojung tak mendengarkannya? Atau kemungkinan lain karena gadis itu memang sulit menangkap apa yang diajarkannya. Opsi terakhir ini membuat Jinhee menghembuskan napas pelan, berusaha membuatnya senormal mungkin. Dia banyak bertemu dengan trainee baru seperti Seojung, hanya saja setiap mengajarkan mereka terkadang selalu berhasil membuat Jinhee menahan jengkel. Ya dia memang merasa maklum, tapi entahlah, sulit menjelaskannya.

Mengikuti arah pandang Seojung, Jinhee kini ikut menatap jam dinding. “Ah ya, sudah larut.”

Waktunya yang berharga.

Jinhee memang tak sepenuhnya menyesal mengajari Seojung meski dia telah menempuh latihan panjang seorang diri. Beberapa hari ini pun dia hanya tidur sekitar 1 atau 2 jam. Sibuk mempersiapkan diri untuk evaluasi bulanan.

Akhirnya Jinhee menyerah, cukup untuk hari ini. Walau dia membenci kalimat yang diawali dengan suku kata me dan diakhiri oleh konsonan ah itu.

“Aku izin untuk pulang terlebih dahulu ya?” Hanya sebuah kalimat basa-basi untuk pamitan, karena toh ranselnya telah tergantung dengan manis di bahunya. “Sampai jumpa besok, tetap latihan dengan giat ya.”

Debum pelan pintu yang tertutup menjadi penutup dari kalimat Jinhee bersama sosoknya yang meninggalkan ruang latihan.

( @WM_Eclair95 )

***

[ Park Seojung ]

{ @AN_Serin98 }

Sama-sama menghadap cermin, Seojung pilih mengamati gerak-gerik Jinhee lewat refleksi diri yang terpantul di sana saja.

Manik karamel gadis itu bergerak gelisah sementara palpebranya beberapa kali mengerjap saat otaknya sebisa mungkin menjejalkan semua gerakan yang Jinhee peragakan untuk bisa disimpan sebagai bekal.

Kapan sih Seojung bisa menari se-luwes itu?

Seojung meniru pose terakhir Jinhee; berdiri dengan kaki menutup dan sebelah tangan mengacak pinggang.
Kemudian gadis itu meringis, sadar yang barusan ia contoh tak terhitung tarian.

Merasa kapasitas otak tak lagi memadai dipaksa mencerna gerakan Jinhee yang semuanya indah sekaligus rumit di matanya, si gadis Park berhenti memforsir kerja tangan dan kakinya yang kalau diberi mulut oleh Tuhan mungkin sudah menjerit-jerit tak terima dieksploitasi oleh sang empunya.

Tak berjeda lama, disusul ucapan pamit Jinhee yang tahu-tahu sudah menggendong ransel kepunyaannya.

Seojung memutar raga hingga kembali berhadapan dengan sang lawan bicara, lalu mengangguk dengan segaris esem tipis menghias wajah letihnya.

Ekor matanya ganti mengejar punggung Jinhee yang hampir hilang dari pandangan. Sekonyong-konyong, membuat Seojung menjerit karena melupakan satu hal. "Hati-hati di jalan, Jinhee! Terimakasih hari ini."

Blam!

Cermin di depan kali ini benar-benar hanya menggandakan raganya seorang diri. Atau, mungkin ada tetangga sebelah yang ikut terangkum walau tak kasat mata?

Seojung mendengus pelan. Benar-benar imaji kekanakan yang tak masuk akal.

Kedua tungkai Seojung bergerak mendekati speaker portable di mana ponsel putih tipisnya juga tergeletak di sana. Bermaksud memulai lagi musiknya dan pergi mencari 'feel' yang diminta Jinhee sebelumnya.

Ya.... Seojung tahu menari perlu jiwa.

Tapi, mau dipikirkan sampai rambutnya rontok semua juga seperti tak ada guna. Seojung belum bisa menemukan perasaan nyaman yang memuaskan ketika melihat salinan geraknya pada cermin di hadapan.

Alih-alih berdiri untuk memplay instrumen pengiring yang menemani latihannya sejak tadi, Seojung justru terpekur menatapi lantai bersih yang dipijaknya saat ini. Menghayalkan hal tak penting semisal seberapa dingin ubin yang tidak terasa langsung sebab telapaknya dilindungi alas kaki.

Kuasa kanan gadis itu terulur menggapai ponsel. Kemudian memerintah jari-jemarinya spontan memilah judul yang tertera pada daftar lagu di dalamnya.

Seojung tersenyum sumringah. Menemukan satu dari sekian yang paling ia inginkan.

Klik!

Tanpa aba-aba, si gadis Park melipir ke tengah ruangan. Menyambut dentum musik yang entah memiliki magis macam apa hingga sukses membuat penatnya menguap pelan-pelan.

Mengabaikan sejenak frustasinya akan bulan evaluasi yang jadi momok menakutkan, Seojung melompat-lompat semaunya mengikuti ayun musik yang kini menguasai laju dengar.

{ @hse_jackson }

***

[ Seo Haejoon ]

@WM_Eclair95 ]

Suara dencitan sepatu yang beradu dengan lantai kayu ruang itu terdengar menggema bersama suara iringan lagu dan deru napas yang berasal dari satu-satunya orang yang tengah berada di ruangan tersebut.
Malam sudah semakin larut, tapi pemuda bernama Seo Haejoon itu masih dengan fokus menggerakan tubuhnya mengikuti irama lagu pengiring tariannya, matanya masih dengan jeli menatap ke arah cermin besar di hadapannya, mengawasi gerak tubuhnya sendiri agar bisa meminimalisir celah kesalahannya.

‘If I was your boyfriend, I'd never let you go. Keep you on my arm girl you'd never be alone,’

Jari telunjuknya mengacung dan tangan kanannya tertarik ke kanan, sementara badannya menggeser dengan halus ke kiri, dengan kaki yang sedikit berjinjit.
Otaknya seakan tak mengenali rasa lelah, terus mengontrol nyaris seluruh anggota tubuhnya untuk tak berhenti bergerak hingga lagu tersebut usai.

‘Na na na, na na na, na na na ey, if I was your boyfriend’

Haejoon memutar tubuhnya sebanyak dua kali dengan cepat kemudian menundukkan kepalanya sambil sedikit mengangkat kedua tangannya, dan kembali menjatuhkannya, dengan itu ia telah menyelesaikan tariannya.

Dengan dada yang naik turun, sang adam kembali mengangkat kepalanya dan kembali menatap ke arah cermin. Tak ada perkataan yang keluar, hanya deru nafas yang terdengar cukup jelas dikarenakan suasana sekitar yang sudah cukup sunyi.

Cukup untuk malam ini.

Haejoon kemudian berjalan menepi untuk merapihkan barang-barangnya juga merapihkan ruangan tersebut sebelum mengaitkan tali tasnya pada pundak kanannya dan berjalan dari ruangan yang sudah gelap itu dengan keringat yang masih mengucur.

Sepi.

Sepi sekali.

Lelaki itu mengamati kanan dan kirinya, pandangan yang selalu ia dapatkan sejak sekitar empat tahun yang lalu. Haejoon bahkan sudah merasa bosan untuk sekedar melintas di koridor ini, tapi apa lagi yang bisa ia lakukan?

Namun tiba-tiba, Haejoon menghentikan langkahnya.
Pemuda itu menengok ke arah ruangan di sebelah kirinya. Haejoon belum buta, ia masih bisa mendengar suara ricuh dari ruangan itu. Suara langkah kaki yang sangat tak teratur dan juga dentuman musik yang cukup keras. Suara itu membuat Haejoon akhirnya berjalan mendekat pada ruangan tersebut dan mengintip lewat jendela.

Haejoon mendekatkan wajahnya pada kaca ruang latihan untuk dapat melihat dengan lebih jelas apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam sana.
Senyuman pemuda itu perlahan-lahan mengembang tatkala melihat tingkah lucu salah satu trainee perempuan yang sedang menari seperti orang gila di dalam sana. Merasa semakin asik, Haejoon membetulkan posisinya dan kini meletakkan kedua tangannya di sebelah matanya, untuk dapat melihat dengan lebih jelas lagi.

Lelaki kelahiran tahun 1998 tersebut menggigit bibirnya sendiri, berusaha menahan tawanya. Akan sangat memalukan bagi sang gadis jika mengetahui bahwa ada yang sedang melihatnya bertingkah seperti ini.

Takut tawanya tiba-tiba saja pecah, Haejoon akhirnya mundur beberapa langkah menjauhi ruangan tersebut dengan langkah ringan. Ia tertawa dalam diam sambil mulai kembali berjalan menyusuri lorong tersebut.

“Ada apa dengannya?” Gumamnya bertanya-tanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

[ @WM_Eclair95

***

[ Park Seojung ]

{ @hse_jackson }

Hari H.

Akhirnya. Waktu yang jadi momok bagi Seojung selama satu minggu belakangan benar-benar tiba dan gadis itu tak lagi bisa berkilah meski hati kecilnya berkata belum siap untuk segalanya.

Setelah merapal doa singkat dalam hati, Seojung mengangkat wajah. Detik itu pula, dada gadis itu diselimuti kelut kala retinanya menyambangi satu demi satu paras tim penilai yang duduk berjejer tak sampai dua meter dari tempatnya berdiri.

Intro serupa irama kotak musik yang pertama menyapa gendang telinganya. Membuat Seojung secara spontan menggerakkan sepasang kuasanya patah-patah; kaku mengikuti robot.

Berpose membelakangi audiensi dan berbalik begitu hentakan musik mulai mengisi hening ruang evaluasi, Seojung merasakan tungkainya gemetar saat mengurai dua langkah ke depan disusul ketiaknya yang terbuka mengikuti lengan mengibas ke samping kiri dan kanan.

Telapak kanannya lalu bertengger di atas bahu kanan pula, sementara bagian lainnya dikembalikan ke samping raga. Melangkah terlalu dekat dengan meja juri nyatanya sukses merobohkan kepercayaan diri yang coba Seojung bangun sejak tadi.

Meski keringat dingin pelan-pelan merambati sekujur tubuhnya yang gemetar, Seojung berusaha mempertahankan senyum saat lututnya menekuk rendah sebelum sang gadis beputar satu kali untuk langsung melompat ke bagian reffrain.

"Bimiriyaa aaa~ Ajik aniya, aniya!"

Sayang, kecemasan membuat tungkainya tak kokoh menjejak dan Seojung hampir hilang keseimbangan.

Mengabaikan ngilunya atas insiden kecil yang baru saja ia alami, Seojung kembali melangkah ke depan dengan posisi serong ke arah kiri.

"Sumgyeodun nae mamiya, ajik neol moreugesseoㅡ!" Suaranya terdengar goyah sebab pemiliknya tengah menahan ringisan.

Tak gentar sekalipun netranya mulai dipenuhi kabut tipis, Seojung meneruskan tarian.

Gadis itu menghadap lurus ke depan, kembali menekuk rendah kedua lututnya dan mengangkat sepasang kuasanya membentuk segitiga mengelilingi kepala.

"Soljikhi geobi naseo,"

".... Neomu duryeowoseo."

Memindahkan kuasa kirinya untuk bertolak pinggang, Seojung ganti bergeser cepat ke samping kanan lalu membungkuk 90 derajat secepat kedipan mata.

"Hambura nal daehalkka bwa sencheokhage dwaeㅡ!"

Sial, begitu sang gadis kembali menatap audiensi di depannya, iris karamelnya langsung bersirobok dengan manik milik dewan juri yang menurut gadis itu sedang menatapinya tak suka.

"Bimiriyaa aaa~ Nae mamiya aaa~"

Masih berusaha meneguhkan hati, Seojung tetap tak bisa memungkiri jikalau dirinya mulai kehilangan kendali.
Segalanya begitu cepat terjadi. Detik-detik ketika semua gerakan dan lirik yang sempat ia kuasai seakan menguap karena sugesti negatifnya sendiri, diikuti instruksi berhenti bernada mencekam yang tercetus dari bibir salah satu juri.

Seojung menelan ludah, pasrah.

"Parah! Parah sekali!" Mulai lelaki berkepala plontos yang menginterupsi jalannya evaluasi Seojung.

Lelaki yang ditaksir Seojung berusia kisaran 40-an itu lantas memijat-mijat pelipis licinnya. Menatap Seojung dengan pandangan yang gadis itu tak bisa jabarkan saking buruknya, sebelum omelan kembali mencuat dari bilah bibirnya.

"Jadi apa saja yang sudah kau lakukan satu bulan ini? Bermalas-malas seenakmu sendiri?" Tuntut si plontos, mengetuk-ngetukkan pena di atas meja kaca yang menyekat keberadaannya dengan para trainee hari ini.

.... Yang dimaki? Nanar menekuri lantai dingin yang jadi saksi bisu kegagalan setelah satu bulan pertama masa trainee.

Seojung menggigit bagian bawah bibirnya hingga anyir darah terkecap lidah. Sekuat mungkin bertahan agar tangisnya tak sampai pecahㅡ Setidaknya, jangan sebelum ia enyah dari ruang setaraf neraka dunia, ini.

"Ck! Benar-benar jauh dari ekspektasi. Vokalmu yang aslinya bagus jadi berantakan karena lupa lirik, tarianmu apalagi!" Komentar pria itu sekali lagi, membuat Seojung seolah dibanting dari istana mimpi yang sudah dibangunnya rapi-rapi selama di tempat ini.

Membungkuk dalam untuk mewakilkan segenap rasa bersalah yang secara cepat menggerogoti dadanya, Seojung kemudian mundur guna mempersilakan trainee selanjutnya menampilkan bakatnya.

AJAIB!

Kalian tahu?

Si plontos yang memaki-maki Seojung tadi, langsung merubah mimik begitu seorang gadis berparas mungil unjuk kebolehan.

Pujian juga membanjiri gadis itu usai penampilan yang bagi Seojung tak ada bedanya dengan penampilannya beberapa saat lalu. Bahkan, Seojung masih punya satu nilai plus dari warna dan teknik vokalnya.

Menyebalkannya, pujian tidak hanya dari si plontos, melainkan keseluruhan tim penilai.

Coba eja jelas-jelas. Se-mu-a-nya.

Kening Seojung berkerut dalam. Pusing memikirkan entah orang-orang di meja itu yang tak waras atau dirinya memang kelewat 'parah' sampai tega menilai seseorang lebih buruk hanya karena cemburu pada komentar dewan juri di tengah mereka.

Ah.

Rasanya hati dan logika Seojung tidak sebuta itu.

{ @AN_Serin98 }

***

[ Son Jinhee ]

@WM_Eclair95 )

Figur gadis pemilik mata yang seakan memancarkan seluruh rasa percaya diri dalam dirinya disangga oleh kedua tungkai yang menutup rapat. Tangannya bergerak menyatu di depan dada dengan jempolnya sebagai irisan, membentuk seperti sayap.

Hari ini adalah satu dari berpuluh hari pada tiap bulan yang dia lewati sebagai peserta pelatihan untuk unjuk kebolehan di hadapan trainer dan beberapa petinggi perusahaan. Berdasarkan apa yang telah dia lewati, Jinhee tak memiliki alasan lagi untuk merasakan sedikit pun getar dalam dirinya. Apalagi merasa kecil dihadapan berpasang-pasang mata yang secara terang-terangan menilainya.

Gema musik mulai terdengar, sesaat setelah Jinhee membebaskan karbon dioksida dari sistem pernapasan. Saat irama pada intro lagu berubah cepat, sepasang tangannya bergerak memantul dari dada. Tangannya bergerak tanpa jeda setelah kembali ke hadapan tulang dada, kedua kuasa itu bergerak ke atas lalu membuka ke samping. Kedua tangan yang telah sampai ke sisi-sisi tubuh, kembali Jinhee angkat, menyerupai gerakan kepakan sayap. Gerakan wave menyusul pada tangannya yang telah terbuka, bersamaan dengan kedua kaki yang melebar sejajar bahu. Jinhee melakukan gerakan memutar yang diawali dengan kaki kiri menyilang ke depan setelah gerakan menutup ke atas oleh kedua tangannya.

Merampungkan koreo untuk intro dari salah satu lagu milik GFriend bertajuk Navillera itu, Jinhee mulai menunjukkan kebolehannya dalam bidang tarik suara. Meski dia lebih lama bergelut dalam dunia tari, Jinhee sangat mengetahui dengan jelas salah satu kualifikasi untuk debut bukanlah sekedar pandai menari. Dia sadar, menjadi seorang multi talenta dapat menjadi perisainya agar tak tergilas trainee lain.

Meski suara jernihnya itu belum bisa dipandankan dengan kemampuan seorang main vocal.

“Na eonjena,” satu persatu tangannya disimpan di dada selaras dengan gerak kaki kanan yang mulanya menyilang di depan kaki kanan lalu bergeser membuka ke samping. Kemudian satu kaki itu menemukan tempatnya di belakang kaki kanan, diikuti pasangannya yang membuka ke pinggir. Ditujukan hanya untuk pijakan cepat sebelum kaki itu memilih berpindah lagi.

“Geuraewatdeut irul geonikka~”

Suara instrumen berubah cepat sebagai awal dari dance break. Lengan kanannya lurus di depan perut dengan kaki yang berpijak di belakang. Tangannya diputar ke depan (setengah dibanting) membuat si tangan kiri menggantikan peran pasangannya di depan perut seiring gerakan menendang yang dihasilkan kaki kanan. Dalam gerakan cepat, kedua kakinya membuka dua kali diselingi gerakan menutup diantaranya. Pada gerakan terakhir, kaki kirinya sengaja ditarik agak lambat membawa tubuhnya bergerak menyamping, menghadap ke kanan.

Jinhee berputar dan memisahkan kedua tangannya dari atas kepala. “Kkumeseo kkaeeona nanana nabillera, eonjenga neowa na duriseo.”

Sebuah senyum ditorehkan bibirnya, sementara matanya mengunci pandangan dance trainer yang dapat dibaca rautnya oleh Jinhee, membuat senyum itu kian melebar.

Gadis itu menarikan gerakan wacking lalu memutar kedua tangannya sebelum kembali menirukan bentuk sayap di depan dadanya seperti di awal sebagai gerakan penutup.

Dia tersenyum puas, lalu membungkuk 90 derajat.

“Kerja bagus Jinhee, setiap bulannya kau selalu menunjukkan progres positif.” Tutor menarinya itu angkat suara, “Terus pertahankan. Kami telah menyiapkan progres lain pada kesempatan untuk mewujudkan mimpimu, juga untuk yang lainnya.”

Entah kenapa, diantara kalimat yang selalu dilontarkan setelah dia menyelesaikan evaluasi, yang satu ini membuat harapannya membumbung tinggi. Semoga hal itu terwujud untuk menyangga harapannya agar tak terjatuh ke inti bumi.

( @WM_Eclair95 )

***

[ Park Seojung ]

{ @AN_Serin98 }

Jam menunjuk angka 11 lewat sekian waktu setempat, saat Seojung yang bergelung dalam selimut tebal masih terjaga, gelisah menatap langit-langit kamar yang jadi naungan sang dara.

Ingatannya soal kritikan pedas siang tadi masih segar dan terasa nyata, berputar-putar dalam imaji serupa rekaman kaset rusak.

Jengah, Seojung melirik ke bawah. Mendapati teman-teman sekamarnya sudah lelap dalam pose beragam, berhasil menerbitkan senyum tipisnya meski terhitung sebentar.

.... Dengan hati-hati Seojung menuruni satu demi satu dari lima anak tangga yang jadi penyekat antar ranjang yang ia tumpangi dengan milik seorang teman trainee di bawahnya. Setelah telapaknya jejak menapak lantai, gadis itu berjengit pelan mendekati kursi tempat cardigan putih gadingnya tersampir.

Melupakan satu hal saat jangkauannya nyaris mencapai daun pintu, Seojung berbalik untuk menyambar kilat ponsel yang tertinggal di atas kasur. Membuat si gadis Park mau tak mau berjinjit untuk menggapai benda pipih yang sedang /amat sangat/ ia butuhkan, waktu ini.

Gamang tungkai tak bertenaga itu mengurai langkah, mengikuti titah sang empunya, menerobos lengang pekat malam.

Wajah cakrawala di atas Seojung berdasar serupa jelaga, meski kilau gemintang ada menemani bulan mengganti tugas surya.

Mendengus dalam satu kali tarikan napas seolah dengan cara seperti barusan bayu mampu membawa pergi frustasinya, Seojung diam menekuri lantai gedung yang entah memiliki rute ke arah mana.

Begitu mengangkat wajah, Seojung menemukan dirinya ada di gedung bagian barat dengan satu kursi panjang yang spontan menggoda atensinya.

Tanpa banyak pikir, sang gadis kembali mengurai langkah saru, mendekati kursi tak berpenghuni lalu mendaratkan bokongnya sendiri.

Selama beberapa saat, gadis itu membiarkan semilir bayu meniupi tengkuknya yang bahkan tak lagi mengindahkan dinginnya gigitan malam.

Merasa tak lagi sanggup menahan sesak yang menyeruak dari rongga dadanya, Seojung bergegas menekan layar ponsel untuk mencari kontak. Sejurus setelahnya, gadis itu menghubungi nomor favoritnya; Mama.

Cukup lama Seojung dibuat menunggu oleh nada sambung yang tak kunjung terhubung. Sampai ketika suara seorang terdengar mengganti 'tuut-tuut-tuut' yang beberapa menit mengisi pendegar Seojung, sang gadis spontan mengumpat, untuk suara wanita yang jelas-jelas bukan ibunya.

Wanita lain itu memintanya meninggalkan pesan suara.

Sial.

Refleks, manik karamel Seojung meneliti angka yang tertera pada layar ponsel dan membuatnya mengangguk samar. Wajar, sebab malam memang sudah makin larut saja.

Belum menyerah karena yakin tak bisa lelap sebelum bertemu tenang dari kehangatan sikap sang bunda, Seojung kembali mencoba menghubungi orang tuanya.

'Tuuut.'

'Tuuut.'

'Tuuut.'

Lagi, masih sama.

Pasrah, Seojung benar-benar meninggalkan keluh kesahnya lewat layanan kotak suara.

"Ma..." Mulainya, panjang dan hampa.

"Hari ini Seojung gagal dan rasanya sangat kesal." Lanjut sang gadis, diselingi helaan napas berat.

"Padahal Seojung sudah berusaha, latihan sampai kaki Seojung seperti lepas. Siang malam, sampai tidak lagi kenal lapar."

Berjeda, Seojung menengadah agar rinai air yang tahu-tahu sudah berkumpul di pelupuk tak segera meluncur oleh sekali kedipan mata.

Tsk.

Padahal Seojung tidak berniat menangis di hadapan orang tuanya.

"Maaa." Panggil gadis itu lagi. Suaranya bergetar dan bahunya gemetar menahan isak.

"Seojung rindu rumah, mama dan papa. Seojung ingin memeluk mama, ingin menangis sampai yakin kalau besok semuanya akan kembali baik-baik saja."

Pegal menengadah, Seojung yang terlanjur memuntahkan tangis kembali menunduk, menatapi tanah.

"Seojung ingin pulang, ma..."

{ @hse_jackson }

***

[ Seo Haejoon ]

@WM_Eclair95 ]

Untuk yang kesekian ratus kalinya, Haejoon kembali berjalan pulang menuju asramanya ditemani oleh terangnya sinar rembulan ditambah dinginnya udara malam. Malam itu terasa sangat dingin, bahkan jaket abu-abu dan suhu tubuhnya yang masih panas setelah melakukan latihan tak cukup untuk menepih rasa dingin itu. Masih berjalan menyusuri taman yang hampir selalu ia lewati setiap malam sejak sekitar 4 tahun terakhir ini, Haejoon mengacak-acak rambutnya kemudian menaikkan tudung kepalanya. Rasanya lelah sekali hari ini.

Pemuda itu tiba-tiba saja memutuskan untuk singgah sejenak di bangku terdekat dari posisinya saat ini. Ia menyandarkan punggungnya dan meluruskan kakinya sejenak sembari memejamkan matanya. Tangan kanannya terangkat untuk mengusap dan memijit-mijit pelan pundaknya, seluruh tulangnya seperti akan runtuh dalam hitungan detik.

Seo Haejoon tak kunjung membuka matanya. Pemuda itu masih menikmati semilir angin malam, ditambah heningnya suasana kota Seoul malam itu. Dirinya bahkan nyaris saja tertidur kalau tidak ada sebuah suara yang sukses membuka kedua matanya.

'Ma...'

Suara itu terdengar cukup pelan nan lemah. Tidak begitu kencang untuk mampu membangunkan Haejoon dan membuka matanya dengan sedikit terkejut. Hanya saja, suaranya terdengar cukup familiar.

'Hari ini Seojung gagal dan rasanya sangat kesal.'

Haejoon sedikit menengokkan kepala ke arah gadis yang ternyata sedang duduk di bangku di belakangnya. Pemikirannya benar. Ia memang benar mengenal gadis itu.

'Padahal Seojung sudah berusaha, latihan sampai kaki Seojung seperti lepas. Siang malam, sampai tidak lagi kenal lapar.'

Kali ini, Haejoon sedikit terkekeh atas pernyataan sang dara barusan. Walau gadis itu mungkin sedang kesusahan dan sedang berkeluh kesah di belakangnya, tapi keluhan sang gadis entah mengapa terdengar lucu di telinga Haejoon yang notabenenya telah lebih lama mengalami hal-hal sejenis itu dibandingkan dirinya.

'Maaa.'

Pemuda itu semakin menengok ke belakang kala suara sang gadis terdengar semakin lemah dan bergetar. Seringaiannya seakan meredup, pemuda itu tiba-tiba saja mengamati tampak samping dari gadis yang tengah menahan isakannya itu dengan pandangan kasihan.

Tck, padahal hidupnya sendiri pun masih perlu dikasihani juga.

Seo Haejoon kembali menengok ke depan dan memejamkan matanya, namun masih memusatkan pendengarannya pada setiap kata berisi perihnya penderitaan yang diucapkan oleh sang gadis.

[ @WM_Eclair95

***

[ Park Seojung ]

{ @hse_jackson }

Malam kian tinggi dan udara dingin berlomba melolosi tulang-tulang bahkan hingga membekukan ruas jari.

Detik itu Seojung menyadari kalau tak ada guna berlama-lama menangis di tempat ini. Toh, ibunya mungkin sudah lelap dan tidak akan balas menghubunginya malam ini.

Bangkit dari posisinya dan berbalik ke arah berlawanan dengan tempatnya datang tadi, Seojung terkesiap saat tiba-tiba netranya bersinggungan dengan siluet asing yang kalau Seojung boleh sedikit percaya diriㅡ mungkinkah sudah mendengar semua pembicaraannya di telepon?

Eh?

Kenapa pula langkahnya terhenti dan tungkainya seolah dibekukan waktu ini?

Teringat apa yang baru saja ia perbuat di bangku tadi adalah hal yang cukup memalukan, Seojung secara spontan meraba wajah, menyapu sisa jejak basah yang semoga tak akan terlihat kalau sewaktu-waktu sosok di hadapannya ikut berbalik arah.

{ @hse_jackson }

***

[ Seo Haejoon ]

@WM_Eclair95 ]

Merasa gadis itu sudah bangkit dari duduknya, Haejoon membuka matanya dan menunggu gadis tersebut untuk melangkahkan kakinya sebelum memutar kepalanya dan memandangi punggung sang dara.

Namun pemuda itu tak kunjung mendengar jejak kaki menjauh. Haejoon mengerutkan keningnya, perasaannya mengatakan bahwa gadis itu masih berdiri disana.

"Terasa berat, ya?"

Dengan berbekal perasaannya, ia mengucapkan pertanyaan barusan berharap sang gadis masih berdiri disana dan menjawab pertanyaannya--akan sangat memalukan jika ternyata gadis itu sudah pergi.

Haejoon mendongakkan kepalanya hingga matanya berhasil menangkap objek yang ada di bayangannya. Gadis itu masih berdiri di belakangnya, sedang mengusap wajahnya, seperti sedang menghapus bekas air matanya.

[ @WM_Eclair95

***

[ Park Seojung ]

{ @hse_jackson }

'Terasa berat, ya?'

Lagi, Seojung terperanjat kecil manakala baritone tanpa aba-aba memecah hening yang semula melingkupi kesendiriannya.

Tak ayal, gadis itu menurunkan tangannya kembali ke sisi tubuh, meninggalkan pipinya yang sekonyong-konyong berhias semburat merah, samar-samar dicumbui remang lampu jalan.

Seojung membalik raga. Kepalang basah, melongok ke kursi, mencuri pandang pada profil lelaki asing yang kini tak hanya bisa dinikmati siluetnya.

"Kau menguping, ya?" Cetusnya spontan sembari mengucir bibir.

Dibuat tak nyaman sendiri karena merasa bicaranya kurang sopan, Seojung lekas-lekas mengoreksi kalimatnya dengan agak terbata.

"Anu, maksudkuㅡ kau mendengar semua pembicaraanku di telepon tadi?"

Ringisan pelan kemudian mengiringi gumamannya.

"Pasti memalukan sekali, ya."

{ @hse_jackson }

***

[ Seo Haejoon ]

@WM_Eclair95 ]

Haejoon menggelengkan kepalanya, "Tidak."

Pemuda kelahiran tahun 1998 itu akhirnya mengembalikan kepalanya ke posisi normal dan akhirnya berdiri. Merapihkan pakaiannya sebelum kembali berinteraksi dengan sang gadis.

"Kau mau pulang ke dorm, kan?" tanya Haejoon memastikan, kemudian naik ke bangku taman dan melompati kedua bangku tersebut, mendarat cukup dekat dengan tempat Seojung berdiri.

[ @WM_Eclair95

***

[ Park Seojung ]

{ @hse_jackson }

Kening Seojung berkerut samar.

Tidak?

Entahlah. Seojung ragu tidak yang dimaksud pria di depan adalah tidak memalukan atau dia tidak mendengar pembicaraan.

Belum sempat memusingkan hal itu lebih jauh, Seojung sudah disusuli pertanyaan.

Ke dorm?

"Iya." Jawabnya, diiringi anggukan ringan.

Bibir Seojung hampir tak sengaja menganga saat melihat atraksi kecil yang dilakoni pria di depan.

"Kau sendiri? Ingin ikut ke dorm atau melanjutkan tidurmu di sana?" Tanya Seojung balik, menunjuk bangku dengan dagunya.

{ @hse_jackson }

***

[ Seo Haejoon ]

@WM_Eclair95

"Tidak juga," ia menggelengkan kepepalanya.

Haejoon kemudian menengok ke kiri dan menggerakkan kepalanya, memberi isyarat pada Seojung untuk mengikutinya berjalan dengan baik dan benar.

"Aku juga dulu seperti dirimu," ucapnya tiba-tiba.

[ @WM_Eclair95

***

[ Park Seojung ]

{ @hse_jackson }

Melihat pergerakan dari sang lawan bicara, Seojung tanpa ragu mengekor di belakangnya.

Celetukan tanpa peringatan lagi-lagi menyentak pendengar sang dara, serta-merta meraup atensi Seojung yang semula berniat tak banyak bicara.

"Oh, ya? Sepertiku?" Tanyanya mulai antusias, memiringkan kepala menatap lelaki yang bersisian dengannya.

"Jadi kau juga menelfon orang tuamu dan menangis tengah malam?"

{ @hse_jackson }

***

[ Seo Haejoon ]

@WM_Eclair95 ]

'Jadi kau juga menelfon orang tuamu dan menangis tengah malam?'

Pemuda itu mengerutkan keningnya, mengingat-ngingat apakah ia penah mengalami hal seperti tadi sebelum-sebelumnya. "Aku sering diam-diam menghubungi ibuku, pada awalnya aku mengeluh pada semua orang yang kukenal--ini melelahkan, ini kejam, aku 'salah jalan', ini bukan untukku, dan semacamnya."

Seo Haejoon kemudian berhenti dan menghadap ke arah gadis itu. Memegang kedua bahunya dan memberikan tatapan hangat padanya. "Menangislah dengan keras sekali saja. Tapi kemudian, lihat dirimu pada cermin dan buang semua pemikiran itu jauh-jauh. Semua orang pernah mengalaminya, kau tak sendirian," ucapnya dengan lembut, berusaha untuk menenangkan sang gadis. Ia kemudian menarik sudut bibirnya sedikit dan menepuk bahu Seojung beberapa kali sebelum melepaskan pegangan tangannya pada bahu sang gadis.

[ @WM_Eclair95

***

[ Park Seojung ]

{ @hse_jackson }

Sembari berjalan, sirah Seojung tertoleh menilik lelaki di samping yang kini lancar berbagi pengalaman. Meski rasa sesak belum sepenuhnya hilang, Seojung mengulas esem tipis tatkala mendengar penuturan sang adam yang secara samar menggambarkan jika semuanya memang tak selalu berjalan sempurna di awal.

Sampai ketika lelaki itu berhenti melangkah, Seojung ikut menutup kedua kakinya meski sedikit terlambat dari sang lawan bicara.

Tepukan pelan dan semangat serta senyum hangat yang dihadiahkan lelaki itu padanya, membuat Seojung balas tersenyum meski tak serta merta mengembalikan kepercayaan dirinya.

Tapi gadis itu mengangguk kecil, merasa lebih tenang meski si adam belum se-sempurna ibunya.

"Terimakasih sudah jadi pengganti ibuku malam ini," ucapnya tulus, memagut sepasang penglihat lelaki yang juga seniornya.

"Aku akan berusaha mengikuti anjuranmu tadi, umm, ...kakak?" Lanjut Seojung tak yakin.

Lagi, gadis itu lupa memperkenalkan diri. Sekaligus tidak mengetahui asma si lelaki.

{ @hse_jackson }

***

[ Seo Haejoon ]

@WM_Eclair95 ]

Haejoon mengerutkan keningnya mendengar kalimat yang dilontarkan oleh gadis dihadapannya itu. "Memang yang tadi terdengar seperti nasihat ibu-ibu, ya?" Tanyanya tak ingin disamakan dengan ibu-ibu.

Tapi tak apa lah. Yang penting, Haejoon sudah bisa memberikan sedikit bantuan dan meringankan sedikit beban pada gadis itu.

Mendengar si gadis yang tiba-tiba saja menyebutnya dengan sebutan 'kakak' Haejoon jadi teringat, mereka belum pernah bertegur sapa atau berbicara sebelumnya--Haejoon hanya pernah beberapa kali melihat gadis itu di gedung tempatnya berlatih. "Ah! Ngomong-ngomong, namaku Haejoon. Seo Haejoon. Delapan belas tahun," pemuda itu mengulurkan tangannya dan tak lupa menyelipkan umurnya untuk memperjelas 'posisinya' disini.

[ @WM_Eclair95

***

[ Park Seojung ]

{ @hse_jackson }

Tawa renyah pecah menyalip hening malam ini.

Membuat si gadis pencipta tawa, sedikit banyak kehilangan frustasi yang semula menggandoli pundaknya.

Seojung meringis pelan, cepat-cepat meralat kalimatnya meski gadis itu kepayahan menahan tawa berikutnya.

"Tidak, bukan begituㅡ"

"Ibuku biasanya selalu bisa menenangkan. Tapi malam ini kau yang menggantikan tugasnya, begitu." Terang sang dara, panjang lebar.

Wajah Seojung sudah lebih cerah dari sebelumnya dan gadis itu tanpa ragu menjabat lengan yang tersodor di depannya.

"Seojung. Park Seojung," ucapnya, diimbuhi senyum.

{ @hse_jackson }

***

[ Seo Haejoon ]

@WM_Eclair95 ]

Melihat sang gadis menjabat tangannya dan ikut memperkenalkan dirinya, Haejoon sedikit menarik sudut bibirnya membentuk sebuah seringaian kecil.

"Senang berkenalan denganmu," pemuda itu memberi sedikit jeda.

"Park Seojung."

— End of Episode 1 —





     
 
what is notes.io
 

Notes is a web-based application for online taking notes. You can take your notes and share with others people. If you like taking long notes, notes.io is designed for you. To date, over 8,000,000,000+ notes created and continuing...

With notes.io;

  • * You can take a note from anywhere and any device with internet connection.
  • * You can share the notes in social platforms (YouTube, Facebook, Twitter, instagram etc.).
  • * You can quickly share your contents without website, blog and e-mail.
  • * You don't need to create any Account to share a note. As you wish you can use quick, easy and best shortened notes with sms, websites, e-mail, or messaging services (WhatsApp, iMessage, Telegram, Signal).
  • * Notes.io has fabulous infrastructure design for a short link and allows you to share the note as an easy and understandable link.

Fast: Notes.io is built for speed and performance. You can take a notes quickly and browse your archive.

Easy: Notes.io doesn’t require installation. Just write and share note!

Short: Notes.io’s url just 8 character. You’ll get shorten link of your note when you want to share. (Ex: notes.io/q )

Free: Notes.io works for 14 years and has been free since the day it was started.


You immediately create your first note and start sharing with the ones you wish. If you want to contact us, you can use the following communication channels;


Email: [email protected]

Twitter: http://twitter.com/notesio

Instagram: http://instagram.com/notes.io

Facebook: http://facebook.com/notesio



Regards;
Notes.io Team

     
 
Shortened Note Link
 
 
Looding Image
 
     
 
Long File
 
 

For written notes was greater than 18KB Unable to shorten.

To be smaller than 18KB, please organize your notes, or sign in.