Notes

“Camera rolling? Action!”

Suara seorang sutradara bagai aba-aba bagiku untuk melaksana aksi lanjutan. Seakan hal ini adalah apa yang akan terjadi padaku, aku mulai memainkan peran; bertatap muka dengan pria di hadapanku dan memasang ekspresi sendu. Beberapa kali mengedip secara perlahan.

“Jooyoung-ssi,” ujarku, berusaha menghidupkan suasana antara emosi juga nuansa malam nan dingin. “Please don't leave me...” nyaris tercekat, aku melontar kalimat. Agaknya, aku berhasil membubuhkan nada bergetar pada vokalku.

“Aku ... tidak ingin kau tetap celaka jika berada di sampingku terus-menerus.” manik kecokelatannya nyalang menatapku, bagian kelopaknya nampak merah; seakan menahan tangis, tak ingin terlihat lemah. Sedang aku, sudah berhasil menimbulkan kristal-kristal bening pada ujung-ujung mataku. Masih berusaha keras menimbulkan emosi akan keputusan sepihak pria itu. “Kalau begitu, biarkan aku mati.” Ia terkejut, “Aku yang memilih jalanku.” ujarku, final, membuatnya terdiam, merasa tak mengerti apa yang ada dalam benak pria itu.

“Cut!” kudengar, sutradara memotong akting kami.

‘Apa yang terjadi?’

“Aku lupa teksnya, maaf.”

“Pabo-ya!” runtukku pada pemuda di hadapan. Seenaknya saja ia mengatakan hal seperti itu.