Notes

> First plot — "Homecoming"
> Bradley International Airport (BDL)
> Sabtu malam

LAPANGAN terbang masih dipadati manusia, bahkan pada Sabtu malam. Berderet-deret antrean yang memanjang adalah hal pertama yang menarik pandangan Cornelius Zen Islah. Lensa birunya berputar ke sekeliling, kemudian lelaki itu menghampiri seorang petugas bandara. Cornelius menyerahkan dokumen penerbangannya pada petugas berambut merah tersebut.

"Ah, Tuan Islah. Lewat sini; anda sudah ditunggu."

"Aku belum mengurus emigrasi," ungkapnya.

"Tidak masalah, Tuan. Seseorang akan mengurusnya untuk anda."

Bagus sekali, batin Cornelius. Ia melewati orang-orang yang mengantre untuk mencapai sebuah gerbang keberangkatan yang berbeda. Jika gerbang-gerbang lain disesaki orang, yang satu ini justru sama sekali sepi. Mencangklong sebuah ransel yang tidak besar di punggungnya, Cornelius menyeberangi landasan pacu untuk mencapai salah satu pesawat berukuran besar. Di badan pesawat itu terlukis tipografi "ISLAH AIRWAYS" dengan cat merah gelap.

Salah satu pintu pesawat terbuka, dan tangga diturunkan, sebelum Cornelius dapat mencapai pesawatnya. Ada binar di kedua mata biru itu begitu melihat seorang figur di pintu pesawat. Amatullah. Separuh rambut pria itu telah memutih, namun tetap tidak memudarkan senyuman lebar Amatullah yang familiar bagi Cornelius. Ia mempercepat langkah dan menjabat tangan Amatullah begitu mencapai pria itu. "Sudah lama sekali, Master," Amatullah berkata.

"Benar," Cornelius menyetujui. "Aku kehilangan hitungan. Sudah berapa lama?"

"Sebelas tahun, Master." Mendengar itu, Cornelius terdiam untuk menatap Amatullah Arya selama beberapa saat. Kemudian ia meloloskan kedua tangannya dari lengan mantel dan mengulurkan pakaian