Notes

Minjung ke luar kamar tepat makan malam. Saat ia membuka pintu, reflek ia memundurkan kakinya selangkah. Wajahnya menegang. Luhan berdiri di depan ambang pintu kamarnya dengan tangan posisi mengetuk. Lantas ia menyengir. "Maaf mengejutkanmu, bibi memintaku untuk memanggilmu"
Minjung mengangguk. "Lain kali kau tak perlu melakukannya" ucapnya. Ia bergerak menuruni tangga diikuti Luhan. Belum sampai bawah, tampak Minguk berlari menaiki tangga. "Ada apa?"tanya Minjung.
"Kami tidak jadi makan malam"jawab Minguk.
"Kenapa?"giliran Luhan bertanya.
"Ayah mendapatkan undangan makan malam dari atasannya. Ibu mengajakku untuk ikut. Sudah ya, aku mau bersiap dulu"
Minjung mendelik. Tidak mungkin. Ini buruk. Ia menuruni tangga dengan cepat.
"Ibu!" serunya.
"Ya, Sayang?"
Minjung menatap ibunya dengan tatapan meminta penjelasan. Seubyul tersenyum lembut.
"Tidak apa-apa. Luhan anak yang baik. Dia bisa
menjagamu"
"Bukankah Minguk harus sekolah besok?"
Ia berharap Minguk tetap berada di rumah. Setidaknya ia akan aman jika Minguk di sana. "Ini kan baru awal sekolah. Lagipula Minguk jarang ke luar rumah. Mumpung ada kesempatan, tak ada salahnya"
ujar Seubyul mengelus pundak anak gadisnya penuh kasih sayang. Minguk telah bersiap. "Minguk-a..." Minjung ganti menatap Minguk.
"Apa? Jangan hanya menatapku. Kakak mau apa?"
Minjung membuang napas. Adiknya itu memang tidak peka. "Tidak apa-apa"
"Nah, kau baik-baik dengan Luhan. Ibu sudah memasak untuk makan malam. Setelah makan, sisanya jangan lupa simpan di lemari es ya"
Minjung hanya mengangguk lemah. "Kami pergi dulu"
Orangtua Minjung beserta adiknya meninggalkan rumah. Bagus. Penderitaannya semakin meningkat dan ia merasa hidupnya telah berkurang sepuluh tahun. Luhan mulai menatapnya aneh. Sebelum mereka benar-benar pergi, Luhan sempat berseru untuk berlama-lama berada di luar. Biar dia yang menjaga Minjung semalaman ini. Mendengar itu, Minjung nyaris tersedak. Sebaiknya ia ambil pisau di dapur sekarang lalu mengakhiri hidupnya.
"Sekarang benar-benar kita berdua. Kau dan aku" Luhan tampak bangga.
Minjung menatapnya sinis. Tanpa banyak bicara ia pergi ke meja makan. Menyiapkan makan malamnya sendiri.
"Hei, kau tidak mau menyiapkan makan malam untuk calon suamimu?"
Minjung melirik tajam. "Aku tak akan pernah mau mengakuinya"
"Kalau begitu akan kupaksa kau mengakuinya"
Minjung mendelik. "Ambil saja sendiri. Tanganmu tidak cacat, jadi gunakan dengan baik" Minjung duduk dan menikmati makan malamnya. Ia harus cepat menyelesaikannya sebelum Luhan. Atau kalau tidak, ia akan benar-benar mengakhiri hidupnya. Berbagai macam cara berkelebat di kepalanya. Mulai kabur dari rumah dan membiarkan dirinya tertabrak mobil sampai melompat dari balkon. Kepala gadis itu saat ini tengah dipenuhi dengan pikiran-pikitan semacam itu. Berdoa saja ia tidak berubah menjadi psikopat. Kalau tidak, jika ia tak bisa mengakhiri hidupnya, mungkin Luhan yang akan menerimanya. Minjung menarik napas dalam. Imajinasinya menggila. Jangan sampai ia melakukan hal yang dapat menyelekai dirinya sendiri. Tentu ia tak mau dipenjara dan mati muda. Tapi semua pikiran itu tak akan muncul jika situasinya tidak seperti ini. Ya Tuhan, kuatkan gadis malang itu.