Notes

Belum lama ini saya sedang iseng dan melakukan "advanced search" pada akun twitter saya. Dengan menggunakan kata kunci "moon" dan "megan" saya seakan menyusuri sebuah terowongan kelam dipenuhi cahaya kenangan. Saya membaca setiap kata, setiap kalimat, setiap mention, setiap retweet, setiap "notisan" yang muncul dari hasil pencarian kata kunci tersebut. Sangat banyak cerita yang kembali jernih dalam ingatan saya, cerita demi cerita yang sempat terlupakan, kisah kisah jenaka yang membuat saya tertawa terbahak bahak, momen momen kecil yang sangatlah sepele namun mampu membuat saya meneteskan air mata. Semua hal yang saya baca seakan menampar saya dengan sangat keras. Hingga saya sampai di sekitar bulan Juli 2014. Benar benar terowongan yang sangat panjang. Saya terdiam di depan layar putih itu, tidak mampu berkata kata, terlalu banyak hal yang harus diproses otak saya, membuat kepala saya pening, dan hati saya sakit. Beberapa menit berlalu, dan hanya satu kata yang mampu saya ucapkan, "kenapa".

Kenapa semuanya jadi seperti ini. Kenapa saya menjadi seperti ini. Kenapa hubungan kami menjadi seperti ini. Kenapa..

Ketika membaca kalimat kalimat dari para rekan saya, saya bisa merasakan perasaan yang saya rasakan dulu, mungkin tidak sama persis, tapi saya masih ingat betul bagaimana perasaan saya kala itu, betapa bahagianya, betapa bebasnya, betapa "binal"nya, betapa "sengklek"nya. Ya, begitulah mereka mendefinisikan saya. Namun perasaan itu tidak bertahan lama, hanya beberapa detik, dan realita kembali menampar saya. Kenyataannya, rekan rekan yang dulu sangat saya sayangi, mereka yang dulu saya anggap seperti saudara saya sendiri, mereka yang dulu menghabiskan malam bersama dengan saya, mereka yang dulu selalu membuat notifikasi telefon genggam saya tidak pernah ada habisnya, mereka yang dulu sangat mengenali saya, mereka yang dulu selalu menemani saya, mereka yang dulu menceritakan keluh kesahnya kepada saya, mereka yang dulu selalu mencari cari saya ketika saya tidak sedang "online", mereka yang dulu memanggil saya dengan berbagai jenis nama panggilan, nama nama yang begitu aneh, nama nama yang begitu unik, nama nama yang begitu menggambarkan seberapa kenalnya mereka dengan saya.

Bukankah hidup saya terlihat sangat menyenangkan, sangat ringan dan sangat indah bersama mereka? Namun satu kata dari sekian banyak kata dalam paragraf tersebut menghancurkan segalanya, "dulu". Kemana mereka sekarang, dimana mereka sekarang, sedang apa mereka sekarang. Pertanyaan pertanyaan sepele itu menghantui saya.

Mungkin memang sudah terlalu terlambat bagi saya untuk menyadari hal ini, bahkan mungkin dari dulu saya sudah menyadari hal ini, namun hati kecil saya memilih untuk memalingkan wajah dan tidak menghadapi kenyataan yang ada, bahwa dunia maya, sangat sangat sangat sangatlah kejam, begitu kejamnya menghancurkan kebahagiaan kecil saya, begitu kejamnya mengubah lingkungan kecil saya, begitu kejamnya membuat saya kehilangan kepercayaan pada rekan rekan saya sendiri. Dan ini lah hasilnya, saya tertegun, terdiam, diselimuti banyak kecemasan, dikelilingi banyak pikiran, menuliskan cerita ini, huruf demi huruf.

Saya menyadari semuanya, saya mengakui semuanya, tapi apakah saya bisa menerima semuanya? Menerima semua kenyataan? Menerima semua perubahan? Untuk sekarang, saya belum mampu seutuhnya. Saya belum bisa seutuhnya meninggalkan dunia palsu ini, walaupun saya tau, saya sangat tau, suatu saat nanti, orang orang yang sangat saya percaya sekarang ini, orang orang yang selalu ada di sisi saya saat ini, orang orang yang selalu menemani saya saat ini, pada akhirnya yang akan tersisa adalah nama, dan kenangan yang menyelimutinya. Begitu lah dunia maya menyiksa kita semua, sebaik baiknya seseorang di dunia maya, seramah ramahnya seseorang di dunia maya, sepercaya percayanya saya terhadap orang orang itu di dunia maya, tidak menutup kemungkinan mereka akan menusuk saya dari belakang, tidak menutup kemungkinan mereka akan menjadi musuh terbesar saya, tidak menutup kemungkinan mereka akan menghianati saya dan meninggalkan saya sendirian, menangis ditengah lautan kenangan yang saya kira putih dan suci, namun kenyataannya hitam dan pekat.

Pada akhirnya, seberapa pun sayangnya saya pada seseorang, seberapa pun percayanya saya pada seseorang, seberapa pun nyamannya saya dengan seseorang, tidak akan ada artinya jika hanya sebatas di dunia maya. Saya kini mengerti, rasa cinta, rasa sayang, rasa senang, yang saya rasakan di dunia maya, hanyalah ilusi semata, yang akan hilang seiring berjalannya waktu. Karena itu, sedikit demi sedikit saya ingin kembali ke dunia dimana saya di lahirkan, kembali ke dunia dimana semuanya ini berawal, kembali ke dunia dimana saya bisa melihat wajah orang orang disekitar saya. Bukan berarti saya meninggalkan dunia maya seutuhnya, tidak, yang saya lakukan adalah, saya membuang kehidupan saya di dunia maya, dan mengembalikan fungsi dunia maya seperti yang semestinya, sebagai sebuah "hiburan".

Memang benar yang di katakan orang orang di dunia maya tentang hubungan yang terlahir di dunia maya, karena saya sendiri merasakannya. Saya dengan sahabat saya bertemu di dunia maya, berkenalan di dunia maya, dan persahabatan kami terjalin di dunia maya, tapi itu bukanlah "kehidupan". Saya dan sahabat saya kini sering bertemu secara langsung, saya cukup sering bermain ke rumahnya, saya bahkan kenal dengan ibunya, saya mengetahui latar belakangnya, dan saya mengetahui bagaimana kesehariannya. Itu lah yang dinamakan kehidupan persahabatan. Dunia maya hanyalah media sebagai tempat "lahir"nya hubungan hubungan seperti itu, namun bukan tempat "hidup" bagi mereka mereka yang terjalin hubungan tersebut. Jika di ibaratkan, dunia maya adalah seseorang yang meletakkan tali di sekitar gunung, menghubungkan kaki dan puncaknya, dan kita akan menarik tali itu, dan kita akan dipertemukan dengan orang orang yang menarik tali yang sama, namun tidak ada artinya pendakian itu jika tidak mencapai puncaknya, yaitu dunia realita.

Saya rasa kisah ini cukup sampai disini, saya tidak ingin ditampar lagi oleh kenyataan, karena saya yang akan menampar diri saya sendiri, dengan begitu, saya akan mampu berjalan tegap dengan kedua kaki saya sendiri, menjalani kehidupan yang semestinya, di dunia yang semestinya, menjalani tanggung jawab yang semestinya, tanpa perlu melarikan diri lagi ke dunia palsu yang dipenuhi ilusi.