NotesWhat is notes.io?

Notes brand slogan

Notes - notes.io

Aku Harus Memilih
“Maaf, aku tidak sengaja. Apa kau baik-baik saja? Mengapa kau menangis?”
“Es krimku..”
“Berhentilah menangis. Aku akan membelikanmu es krim yang baru.”
“Tapi..hiks..es krim yang..hiks..seperti itu..hiks..sudah habis.”
“Aku akan mencari es krim seperti itu di setiap toko sampai ketemu.”
“Benarkah?”
“Asal kau berhenti menangis.”
“Mm! Aku tidak menangis lagi.”
“Janji?”
“Janji!”
“Namaku Dark.”
“Aku Queen.”
“Senang bertemu denganmu, Queen.”
Queen tersadar ketika Julie menyenggol bahunya.
“Melamun di hari pertamamu?”
“Ah, hehe.”
“Kau lapar?”
Queen hanya mengangguk.
“Kalau begitu, ayo!” Julie meraih pergelangan tangan Queen, menyeretnya ke kantin.
Queen berjalan gontai. Mood nya sedang kacau akhir-akhir ini, karena dihantui oleh kenangan masa kecilnya yang terus berputar -seperti film- 24 jam dalam sehari di kepalanya. Ia merindukan sosok yang ada dalam film itu. Sosok yang meninggalkannya sejak 3 tahun lalu. Sosok yang akan segera genap berumur 17 tahun, jik ia masih hidup.
“Brukk!” seseorang menabraknya cukup keras, membuatnya terhuyung.
“Hati-hati kalau jalan!” gerutu Queen.
“Kau yang menabrakku.” Balas pria itu dingin.
“Apa?!” Queen sudah hampir meledak, Julie menahannya.
Teriakan Queen mengundang cibiran salah seorang di belakang si pria, “So brave!” Katanya pelan dengan memasang smirk sambil bertepuk tangan.
“M..Maafkan temanku, dia sedang kurang sehat.” Julie memaksakan senyum.
“Kenapa harus minta maaf? Aku tidak salah!” Queen tidak terima.
“Sudahlah, ayo kita pergi saja.” Julie kembali menyeret temannya itu.
“Tunggu!” ucap pria itu, “Hey, kau anak baru!”
Queen yang merasa statusnya disebutkan, membalik badan dengan kasar, “Apa?”
“’Apa’?” pria itu mengulang pertanyaan Queen dengan tampang yang semakin menyeramkan. Ia menatap gadis di hadapannya dengan tajam.
Julie yang sejak tadi berusaha kabur merasa putus asa karena usahanya sia-sia. Mereka sudah terlanjur menjadi pusat perhatian di kantin sekolah –yang baru pertama kali dikunjungi oleh Queen-, bahkan sebelum mereka sempat mengisi perut. Namun ia tetap menyeret temannya itu menjauh dari kantin.
“Apa kau ini sudah gila?!” teriak Julie begitu tiba di ruang rahasia milik Julie -yang aslinya adalah ruang musik lama yang sudah tidak terpakai-, tempat ia menenangkan diri ketika sedang ada masalah.
“Hhhee.. jangan teriak-teriak.” Balas Queen sambil mengusap kedua kupingnya.
“Queen, kau tahu siapa orang tadi?!” Julie mendudukkan Queen di bangku, sementara ia berjalan mondar-mandir di hadapannya.
“Kalau dari tampangnya, dia orang yang sok berkuasa, yang jadi idaman semua siswa di sini. Benar?”
Kali ini Julie melotot.
Queen menghela nafas berat, “sudah kuduga.”
“Kau tahu itu, tapi kenapa kau bertingkah seperti tadi?”
“Bertingkah seperti apa? Aku hanya membela diri. Dia yang menabrakku.”
“Itu tidak penting. Masalahnya, kau membentaknya. Dan yang paling parah,” Julie diam sejenak, “Apa?”Ia menirukan pose Queen lalu tertawa terbahak-bahak.
“Sekarang siapa yang gila?” Queen keheranan.
“Kau hebat! Di hari pertamamu di sini, kau sudah bisa membuat Max marah. Kau lihat ekspresinya tadi kan? Haha.”
“Jadi, namanya Max..”
“Aku tidak menyangka kau melakukannya!”
“Kelihatannya kau senang sekali. Apa menurutmu dia jadi terlihat semakin tampan saat marah?”
“Persetan dengan itu! Aku benci melihat dia tertawa di atas penderitaan orang lain. Sekarang, aku yang menertawainya. Hahaha!”
Queen pun ikut tertawa.
Percakapan mereka menjadi semakin seru, dengan tema Max dan ketiga temannya –seperti F4 saja-. Julie sangat bersyukur temannya itu bukan salah satu dari gadis-gadis pemuja Max. Mereka benar-benar sekutu. Tapi di lubuk hatinya, Julie merasa cemas akan terjadi hal yang tidak menyenangkan karena kejadian tadi siang. Selama ini, punya masalah dengan Max sama saja menjemput malapetaka. Siapapun pemerannya, tidak akan tenang sampai ia angkat kaki dari sekolah ini. Sementara Queen, bahkan belum cukup 24 jam statusnya sebagai siswi sekolah ini. Di sisi lain, Queen merasa aneh. Wajah Max mengingatkannya pada Dark, sahabat semasa kecilnya. Mereka tampak sangat mirip
“Jika saja Dark masih hidup, pasti dia terlihat lebih tampan dari Max diusianya yang ke-17” Queen membatin.
Queen berdiri sendiri, bersandar di gerbang sekolah dengan earphone menyumbat dikedua telinganya. Ia menunggu Julie yang mampir ke perpustakaan dulu.
“Pulang sendirian?” Tanya seseorang tiba-tiba, setelah melepas earphone dari telinga kanan Queen, membuat gadis itu mendesis kesal.
Namun ia segera terkejut, mendapati siapa yang melakukannya.
Max mentapnya lekat-lekat, datar. “Kau tidak mendengarku?”
“Bukan urusanmu.” Queen membuang muka.
“Kau terlalu sombong sebagai murid baru.” Max tertawa sinis.
“Dan kau terlalu menyebalkan sebagai murid lama.” Balas Queen.
Max baru membuka mulut ketika sebuah mobil sport hitam berhenti di hadapan mereka, “Kau salah mencari masalah denganku.” Lalu ia segera masuk ke mobil itu.
Pintu kaca di sisi driver terbuka, “Hai anak baru!” sapa si pengemudi dengan ramah.
Queen hanya mengangguk, terlalu heran untuk bersuara.
“Mau kuantar pulang?”
“Kau mau mati, Jakcson?!” teriak Max dari jok sebelah.
“Tidak, terima kasih.” Balas Queen, lalu menatap sinis ke arah Max.
“Baiklah. Aku pergi dulu.” Jackson melambai pada Queen.
“Sikapnya yang blak-blakan sangat mirip dengan Dark.” Queen kembali membatin.
“Mau kuantar pulang?” seseorang mengagetkan Queen yang masih sibuk dengan pikirannya.
“Kau..yang tadi..”
“Four.” Pria itu mengulurkan tangannya.
“Queen.” Balasnya.
“Queen..nama yang bagus.”
“Kau termasuk komplotan Max, bukan?”
Four tertawa kecil. “Tadi itu aku memujimu. Kau memang sangat berani. Max harus diberi pelajaran sekali-sekali.”
“Untuk apa aku takut? Toh kita sama-sama manusia. Yah, meskipun dia lebih mirip iblis.”
Four tertawa. “Dia memang seperti itu, tapi sebenarnya dia baik.“
“Tidak menurutku. Oh iya, Max, kau, Jackson, lalu satunya siapa lagi?”
“Itu Six.”
“Six? Kenapa kalian tidak seragamkan saja jadi Max, Five, Six, dan Seven? Haha”
“Boleh juga.” Four tertawa lagi, “Jadi, bagaimana?”
“Apanya?”
“Mau kuantar pulang?” Four mengulang pertanyaannya.
“Oh itu, tidak perlu. Terima kasih. Aku akan pulang dengan Julie.”
“Julie? Aku tidak melihatnya.” Four mengedarkan pandangan ke sekeliling mencari sosok yang dimaksud.
“Itu.” Queen menunjuk dengan dagunya ke arah Julie yang sedang berjalan mendekat.
Four membalik badan dan tiba-tiba membeku melihat sosok yang ia tunggu-tunggu nampak semakin cantik dan seksi di bawah sinar matahari dengan butiran keringat di wajahnya.
“Four?” Queen menyadarkannya.
“Eh?” Four gelagapan.
Queen memicingkan matanya, mencium ada sesuatu yang tidak biasa.
“Aku akan mengantarmu pulang.” Four menarik tangan Queen melewati Julie.
“Julie..” Queen memasang tampang yang seakan ketakutan agar Julie mengikutinya.
Mereka berhenti tepat di samping Lamborghini merah milik Four.
“Apa yang kau lakukan? Kau berusaha menculik Queen? Kau tahu? Langkahmu sangat lebar, aku kewalahan menyusul!” Julie mengomel.
“Aku hanya ingin mengantar kalian pulang.” Jawab Four dengan innocent.
“Julie, kau pulang duluan saja. Aku ingin ke suatu tempat. Sampai jumpa!” Queen meninggalkan mereka berdua.
“Eh? Queen! Queen, kamu mau ke mana?!” teriakan Julie hanya dibalas dengan lambaian dan senyuman penuh arti dari Queen.
Queen terlalu peka untuk masalah perasaan. Ia tahu tujuan tawaran Four tadi hanya untuk lebih dekat dengan Julie dan ia dijadikan umpan. Menurutnya Four tidak seburuk Max, jadi ia membiarkannya.
Hari-hari berlalu. Four akhirnya menyatakan perasaannya kepada Julie yang diiyakan setelah 2 x 24 jam karena begitu banyak hal yang dipertimbangkan sang gadis. Sementara Queen dan Max, mereka masih seperti Tom and Jerry, tidak akur, padahal Queen sudah akrab dengan Four, Jackson, dan Six. Queen sering puang bersama Jackson dan berbagi buku dengan Six. Ia tidak peduli dengan orang-orang yang mencibir dirinya dan Julie karena cemburu dengan kedekatan mereka berdua yang begitu tiba-tiba dan tidak terduga dengan kumpulan makhluk-makhuk Tuhan yang paling sempurna itu.
“Jackson, kau pulang duluan saja.” Kata Queen setelah melihat Jackson menunggunya di depan kelas seperti biasa.
“Kenapa? Kau ada pelajaran tambahan?”
“Tidak. Aku akan ke toko bunga dulu. Besok ulang tahun ibuku dan aku ingin merangkai bunga sendiri untuknya. Lalu aku akan ke super market untuk membeli bahan-bahan kue. Ini akan lama, jadi lebih baik kau duluan saja.”
“Kalau begitu, akan kutemani.”
“Sudah kubilang ini akan memakan waktu lama. Bukannya kau ada jadwal latihan basket nanti sore?”
“Tidak apa-apa. Lagipula, aku sedang malas bermain basket.”
Queen menyipitkan matanya, “aku tidak percaya kau pernah merasa malas bermain basket.”
“Hehe” Jackson menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Aku juga ingin ikut berperan untuk pesta ulang tahun ibumu, apa tidak boleh?” ia memelas.
“Baiklah baiklah..” Queen akhirnya mengalah.
Makin hari, mereka semakin dekat. Di meja makan kantin selalu tampak dua pasangan bahagia. Julie-Four dan Queen-Jackson. Sedangkan Six dan Max tampak seperti pasangan yaoi di saat yang bersamaan.
“Kalian kalau mau pacaran jangan di tempat umum!” protes Max.
“Gaya bicaranya, mirip.” Queen teringat lagi tentang Dark.
Julie dan Four hanya tertawa.
“Jangan cemburu sayang, kan ada aku.” Goda Six sambil wink yang dibalas dengan tatapan jijik oleh Max.
“Ada banyak gadis di sekitarmu Max, kau tinggal memilih.” Kali ini Julie.
“Sesuka-sukanya kucing dengan ikan, bisa bosan juga kalau terus-terusan dikasih makan ikan yang sama dan biasa-biasa saja. Aku mencari yang berbeda, yang luar biasa.”
“Aku?” Six memasang wajah sok imut.
“Sudah lama aku tidak memukul orang.” Max memberikan senyuman menyeramkan.
Six diam seribu bahasa.
Meskipun loker Max dan teman-temannya selalu penuh dengan surat cinta, bunga, dan banyak lagi benda pemberian fans –bahkan di loker Four yang sudah memiliki kekasih sekalipun-, mereka tidak pernah benar-benar tertarik dengan para pengirimnya. Seperti yang Max katakan, ia mencari yang berbeda, yang luar biasa. Well, yang membuat hal luar biasa sulit ditemukan adalah terlalu banyak hal-hal biasa yang sering mencuri perhatian dan membuat hal luar biasa itu tenggelam. Mereka memang trouble maker, tapi urusan hati mereka tidak mau main-main.
“Queen!” Six melambai dari arah tangga, lalu segera berlari menghampiri pemilik nama itu.
“Six? Ada apa?”
“Bisa tolong antarkan ini kepada Jackson? Aku sedang buru-buru.” Six menyodorkan sebuah buku.
“Tidak masalah, aku sedang free.” Ia meraih buku itu.
“Dia ada di lapangan basket.”
Queen dengan santai melangkah ke lapangan basket. Ia tersenyum excited mendengar decit lantai lapangan dengan suara pantulan-pantulan bola –terdengar sangat keren- ketika hendak membuka pintu. Namun senyumnya seketika pudar begitu mengetahui kenyataan yang tidak sesuai ekspektasi. Ia melihat Max tengah asik di tengah lapangan dan tidak ada tanda-tanda Jackson di dalam sana. Ia bergerak untuk keluar sebelum Max angkat bicara.
“Jackson sudah pulang. Ia menitip buku itu padaku.” Max masih sibuk dengan bolanya.
“Baiklah.” Queen meletakkan buku di lantai lalu menuju pintu.
Tiba-tiba Max melemparkan bola dari tangannya dengan keras ke arah pintu –hingga bola itu terpantul kembali ke arahnya-, membuat sasaran tertutup rapat.
Queen terkejut dan spontan melangkah mundur.
“Temani aku di sini.” Max menghentikan aktivitasnya, tapi masih menghadap lurus ke ring.
“Untuk apa?”
Max tidak menjawab. Ia berjalan ke sudut lapangan dan merebahkan tubuhnya.
“Aku pergi.” Queen kembali berjalan ke arah pintu.
“Aku tidak suka sendirian.”
“Ada bola, air minum, handuk, buku, dan masih banyak lagi yang menemanimu di sini.” Queen meraih gagang pintu.
“Aku mau kau!” Jawaban itu membuat Queen menghentikan gerakannya.
Queen membalikkan badan dan terlonjak kaget melihat Max sudah ada di hadapannya.
Max merampas tas Queen, “ikuti perintahku, kecuali jika kau menganggap benda ini tidak penting lagi bagimu.”
Queen menggerutu, lalu terpaksa mengekor Max kembali ke sudut lapangan.
Selama beberapa menit mereka hanya diam dalam duduknya. Max sibuk mengelap keringat dan Queen masih menggerutu dalam hati.
“Aku harus pulang sekarang.”
Max tidak langsung menjawab. Ia berdiri sambil membopong tas Queen ke tengah lapangan.
“5 menit lagi.”
Queen pasrah. Ia hanya bisa mengamati Max dengan permaina basketnya yang luar biasa.
“Dark juga jago main basket.” Katanya pada diri sendiri.
“Kembalikan tasku!” teriaknya setelah tidak tahan melihat refleksi Dark di hadapannya.
Tanpa menolak sedikit pun, Max menuruti perkataan Queen, membuat gadis itu sedikit tercengang.
“Kau boleh pulang.”
“Kau sendiri?”
“Di rumah tidak ada siapa-siapa. Aku tidak suka sendirian. Dan seperti yang kau katakana, di sini ada banyak yang menemaniku.”
Queen mendengar ada kesedihan di nada bicara Max. Ia mengurungkan niatnya.
“Tidak ada salahnya aku menemaninya. Untuk hari ini saja. Mungkin bisa membantu.” Pikirnya.
“Kenapa? Kau betah di sini?” Max menampakkan smirknya.
“Bu..” ucapan Queen terhenti ketika Max merebahkan kepalanya di bahu Queen.
“Aku lelah bertengkar denganmu. Aku ingin berbagi denganmu.”
Queen hanya diam. Ia merasakan kepala Dark yang bersandar di punggungya, seperti yang selalu dilakukan setiap selesai bermain basket.
“Katakan sesuatu.”
“Apa?”
“’Apa’ lagi.”
Mereka terdiam daalam posisi seperti itu selama beberapa saat. Queen terlalu sibuk dengan berbagai macam pikirannya, hingga akhirnya Max mengangkat kembali kepalanya.
“Kadang aku berpikir lebih baik aku benar-benar menjadi orang jahat.”
“Apa maksudmu?”
“Menurutku aku terlalu baik sampai mengorbankan perasaanku demi temanku.”
“Kau tidak baik.”
“Gadis itu juga bilang aku tidak baik.”
“Kau sudah jujur padanya?”
Max menggeleng. “Aku akan melukai perasaan temanku jika aku melakukannya. Kau masih mengganggapku tidak baik?”
“50%”
“Dia sudah punya seseorang.”
“Jangan-jangan..”
“Sepertinya Julie sudah tahu. Dia tidak cerita apa-apa padamu?”
“Benarkah? Dia tidak pernah membahas hal ini sama sekali.”
Diam sejenak.
“Kau hanya kalah cepat, Max. Waktu itu hatinya masih kosong sebelum seseorang memaksa masuk.”
“Dan dia menyambutnya dengan senang hati.”
“Karena dia sudah sangat nyaman. Dan tidak ada salahnya dia menerima.”
“Aku bukan tipe pria yang selalu bisa membuat gadis yang kusukai nyaman saat bersamaku. Aku lebih suka banyak berdebat dan bertengkar dengannya agar aku tidak nervous.”
“That is you.”
“Jika saja Jackson bukan temanku..”
Queen tertawa kecil, “Four, bukan Jack..son.”
Seakan ada petir yang menyambar dirinya, Queen mematung. Ia mencerna kembali kalimat-kalimat yang diucapkan Max. Gadis yang ada dalam cerita –yang ia duga adalah Julie- ternyata adalah dirinya sendiri. Gadis yang disukai Max adalah dia. Teman yang dimaksud bukanlah Four, tapi Jackson.
“Aku baru tahu kau sebodoh ini.”
Queen mengerjap beberapa kali, menyegarkan pikirannya.
“Aku baru tahu kalau Jackson..”
“Kau peka dengan perasaan orang lain terhadap orang yang mereka suka, tapi kenapa kau tidak peka sama sekali dengan perasaan orang lain terhadapmu?”
“Itu..aku tidak berpikir sampai ke situ.”
Max menghela napas berat, “kau sudah tahu perasaanku. Sekarang giliranmu.”
Queen terbelalak.
“Meskipun aku sudah tahu bahwa kau menyukai Jackson, tapi aku ingin mendengarnya langsung.”
“Aku tidak akan mengakui pernyataanmu itu benar ataupun salah.”
Max terkejut.
“Jangan sampai Jackson tahu hal ini. Aku tidak mau menghancurkan persahabatan kalian. Maaf, Max.”
Mereka terdiam sejenak.
“Aku tidak mau menyakiti kalian. Tapi aku harus memilih.”
Diam lagi.
“Max..” Queen menatapnya dalam-dalam “Aku tidak bisa memilihmu. Aku tidak mau melihatmu lebih tidak baik lagi.”
“Aku tahu.”
“Aku juga tidak akan memilih Jackson.”
Max mengerutkan keningnya, tanda tidak mengerti.
“Memang tidak apa-apa jika aku memilihnya, selama dia tidak tahu soal perasaanmu padaku. Tapi jika suatu saat nanti dia tiba-tiba sadar? Aku yakin Jackson juga akan melakukan hal yang sama.”
“Tidak. Jackson tidak akan tahu. Aku janji.”
“Aku percaya padamu. Tapi tidak pada keadaan yang bisa saja menjelaskan semuanya.”
Max terdiam.
Queen menarik nafas, “Max, kau sangat mirip dengan cinta pertamaku. Tapi dia sudah pergi. Dia bilang dia tidak akan memulai hubungan yang serius denganku sebelum dia berumur 17 tahun. Dan hari ini adalah hari ulang tahunnya.” Queen mulai berkaca-kaca, ia menarik nafas panjang, “seharusnya dia yang ada di hadapanku saat ini. Seharusnya dia yang menyatakan perasaannya padaku hari ini.”
Dengan sekali hentakan, Max menenggelamkan Queen ke dalam pelukannya. “Maafkan aku, Queen. Aku tidak tahu..”
“Bukan salahmu.” Queen melepas pelukan itu, “Aku senang kau jujur padaku hari ini. Meskipun kau bukan Dark, tapi setidaknya hari ini aku bisa mendengar kalimat seperti itu.”
“Tidak bisakah kau melihatku sebagai Max? Bukan Dark.”
“Justru karena aku melihatmu sebagai Max, aku tidak bisa memilihmu. Aku akan tetap memilih Dark.”
“Tapi Dark sudah..”
Queen tertawa. “Kau mengangapnya serius? Aku tidak mau jadi perawan tua. Aku yakin suatu saat aku akan bertemu dengan jodohku. 5 tahun kemudian, 7 tahun, 10 tahun? Entahlah, yang pasti bukan hari ini. Aku masih terhanyut dalam kenangan bersama Dark.”
“Bahkan aku kalah dengan yang sudah pergi.”
“Bahkan jika kau tidak mirip dengan Dark, aku tetap akan melakukan hal yang sama. We may find someone we love out there. But they are nothing when they separate us from our friends. Because friends mean the world for us.”

     
 
what is notes.io
 

Notes.io is a web-based application for taking notes. You can take your notes and share with others people. If you like taking long notes, notes.io is designed for you. To date, over 8,000,000,000 notes created and continuing...

With notes.io;

  • * You can take a note from anywhere and any device with internet connection.
  • * You can share the notes in social platforms (YouTube, Facebook, Twitter, instagram etc.).
  • * You can quickly share your contents without website, blog and e-mail.
  • * You don't need to create any Account to share a note. As you wish you can use quick, easy and best shortened notes with sms, websites, e-mail, or messaging services (WhatsApp, iMessage, Telegram, Signal).
  • * Notes.io has fabulous infrastructure design for a short link and allows you to share the note as an easy and understandable link.

Fast: Notes.io is built for speed and performance. You can take a notes quickly and browse your archive.

Easy: Notes.io doesn’t require installation. Just write and share note!

Short: Notes.io’s url just 8 character. You’ll get shorten link of your note when you want to share. (Ex: notes.io/q )

Free: Notes.io works for 12 years and has been free since the day it was started.


You immediately create your first note and start sharing with the ones you wish. If you want to contact us, you can use the following communication channels;


Email: [email protected]

Twitter: http://twitter.com/notesio

Instagram: http://instagram.com/notes.io

Facebook: http://facebook.com/notesio



Regards;
Notes.io Team

     
 
Shortened Note Link
 
 
Looding Image
 
     
 
Long File
 
 

For written notes was greater than 18KB Unable to shorten.

To be smaller than 18KB, please organize your notes, or sign in.