Notes

Malam ini, tidak ada yang lebih menyita pikiranku selain kamu. Membuatku ingin segera hilang dalam belantara imajinasi. Kamu dan aku adalah dua pena yang sedang menulis di atas kertas bernama usia. Aku belum pernah merasa hebat sehebat aku jatuh cinta padamu. Yah, memang itu benar, kok. Kata-kataku terlalu banyak. Mungkin sampai menggunung. Aku tidak akan sanggup memegangnya. Mungkin akan kudaki, lalu menjumpaimu di puncak kalimat.

Sayang, katakan kepadaku. Bagaimana bisa sebersit senyummu memecah rindu sekeras itu di dadaku? Tidak. Aku tak merasakan kesepian, namun aku merasakan kerinduan. Kerinduan yang sangat dalam. Sebagaimana lidah menambah megahkan perbuatan yang besar, ingin kukatakan aku sedang merindukan pelukanmu. Saat ini, aku putuskan untuk mengitarimu lewat doa terlebih dulu, dan semoga itu dapat menenangkanmu. Maaf, jika saat ini aku hanya mampu begitu.

Aku tidak bisa menghitung besarnya cinta, sejeli Tuhan tahu berapa banyak pasir di laut. Tetapi, kamulah lautku, dan aku ingin tenggelam. Aku hanyalah satu dari dunia ini, yang menghendakimu untuk menjadi satu, dan hanya satu-satunya. Ketika kamu jauh dan aku memikirkanmu, aku paham kamu selalu ada. Yah, setidaknya kamu ada di dalam pikiranku sendiri.

Aku... aku rapuh tanpamu. Semua tampak mati tanpamu. Seperti alunan melodi dalam kegelapan. Detak jantungku adalah nadanya, denyut nadiku adalah iramanya, dan kamu menari di antara keduanya. Kamu tidak ada pada puncak aku berdiri, namun kamu ada pada setiap langkah aku mendaki. Saat yang paling indah di hidup ini adalah ketika aku merasa cukup. Cinta itu indah, kan?

Kamulah kerianganku untuk menuliskan sesuatu, menjalani detak waktu dan memahami makna hidup. Kamulah itu, suatu perjalanan yang tidak akan pernah aku akhiri. Suatu keberadaan yang akan kutinggali, sendiri. Senyummu selalu menjadi komposisi rindu, ramuan paling syahdu yang selalu kujadikan candu, di setiap hirupan nafas. Kamu yang terikat di dalam hati, kuingat di luar kepala, melekat dalam denyut nadi, dan tertanam di aksara doa. Dan kamu adalah yang kulihat tanpa mata, yang kudengar tanpa telinga, dan yang kuucap tanpa bicara.

Aku bukan seperti apa-apa, sayang. Aku hanya seperti diriku sendiri, yang selalu mencintaimu dengan caraku sendiri. Kedipan mata, hirupan nafas, detakan detik, denyutan nadi, debaran jantung. Di situlah kamu kuletakan, kasih yang abadi. Jika cinta adalah sebuah jalan, aku adalah kaki yang menyetapakinya dengan riang, seakan itu jalan pulang, ke tempat segala tenang.

Mentari tersanjung saat kamu menerima sinarnya, dan saat itu juga aku akan selalu ada di sampingmu. Maka teruslah tinggal bersamaku, di sini. Karena meninggalkanku hanya akan membuatmu berlari dengan kaki telanjang di atas serpihan hatiku yang berserakan.

Aku mencintaimu, sayang.