Notes

E.C., 2015

Seorang gadis berambut pirang pucat tengah melangkah datar menuju aula utama. Jubah seragam Durmstrang-nya yang tersampir di bahu kiri berayun seirama langkah percaya dirinya. Gadis itu melirik jam di pergelangan tangan kiri, memastikan dia tidak terlambat.
Hari ini akan ada murid pindahan dari akademi di Asia, dan Durmstrang melakukan penyambutan besar-besaran. Principal telah duduk di meja tinggi khusus jajaran pengajar, kali ini mengenakan jubah sewarna darah —yang hanya dikenakan saat peristiwa besar saja. Kiranya kedatangan murid-murid Asia ini adalah sebuah momen raksasa.
Pria yang duduk di kursi tertinggi itu mengangkat tangan kanannya dengan telunjuk dan ibu jari teracung, sebuah gestur yang telah tersohor untuk menyuruh diam. Keriuhan aula utama dalam sekejap mereda. Seluruh mata memusatkan perhatian pada principal yang kini berdiri.
"Saya harap kalian bisa menjaga sikap dan menerima murid serta jajaran pengajar dengan baik," katanya. Hening sesaat ketika principal menyapu pandang pada seisi aula.
"Saya tidak ingin ada diskriminasi meskipun mereka semua muggle," lanjut Principal, lalu meminta seluruh pengajar berdiri. Sebagian murid masih berpandangan kaget, beberapa berbisik halus. Sama terkejutnya.
Tapi, siapa yang tidak? Durmstrang terkenal sebagai salah satu sekolah sihir yang mengajarkan Dark Arts. Ya. Muridnya adalah para penyihir berdarah murni yang terhormat. Kalaupun berdarah-campuran, bisa dipastikan memiliki kemampuan di atas rata-rata. Sekarang, tiba-tiba saja menerima akademi yang seluruhnya berisi muggle. Disambut sedemikian rupa pula!
Tidak berapa lama, pintu aula utama terbuka, menarik perhatian segenap orang yang berada di dalamnya. Barisan murid berseragam legam masuk. Suara sepatu bot beradu dengan lantai kayu aula, menyebabkan gema yang mampu meremangkan roma.
Seorang wanita berjalan di depan barisan para pengajar —terlihat bedanya karena mengenakan jubah kashmir biru gelap— dengan dagu sedikit terangkat. Professor Beowulf, principal Durmstrang, turun dari meja tinggi dan menyapa wanita itu. Ah. Principal akademi itu, kiranya.
"Selamat datang di sekolah sihir Durmstrang, Mika Sensei," ucap pria yang belum tampak berumur itu. Senyum tipis sempat terlihat sebelum ekspresi datarnya kembali dipasang.
"Terimakasih atas sambutan yang istimewa ini, Professor," wanita berstruktur wajah tegas itu merendahkan punggungnya sedikit, lalu kembali berdiri.
Seorang gadis bermata biru yang jubahnya diletakkan di pangkuannya (berat, begitu dia beralasan) menatap bosan pada prosesi penyambutan akademi yang dia tidak ingin repot-repot mengingat. Dia adalah Sandra Chichester, putri tunggal keluarga Chichester, yang terkenal sebagai penyihir berdarah murni tercemerlang di angkatannya.
Gadis itu menyelipkan anak rambutnya yang pirang ke belakang telinga, berharap basa-basi penyambutan segera berakhir.