Notes

o Nama face claim: Phan Linh Chi
o Nama karakter: Liu Xian
o Tanggal lahir: February 14th, 1994
o Personality: Gadis yang akrab dipanggil Xian ini bisa dianalogikan dengan air, tidak bisa mengatur dirinya sendiri, cenderung menjadi air yang tidak tenang, beriak, namun tetap mengalir dengan lancar. Xian adalah pribadi yang ceroboh, namun ia mudah beradaptasi. Gadis ini juga bersifat kurang sopan, namun dibalik itu Xian juga mempunyai sifat tidak tega-an terhadap sesuatu. Tipe orang yang sedikit tertutup dan licik.
o Physical trait: Kulit putih cenderung pucat khas orang china. Pipi Xian terlihat begitu tirus dengan bibir yang mungil, ia juga tergolong tinggi untuk seorang wanita. Sorot mata tajam dan mata besar yang didapat dari genetik ayahnya membuat wajah orientalnya tidak begitu terlihat. Kulit putih cenderung pucat khas orang china.
o Background story:
Anak berumur 11 tahun itu terdiam dipinggiran jalan, rambutnya sebahu terlihat kusut, menatap tajam setiap insan yang berjalan didepannya. Bibirnya terus menggumamkan syair pujian dari kitab lusuhnya. Berapa hari? Sekitar 4 hari sudah ia terduduk ditempat yang sama, jalan raya yang merenggut kebahagiaannya yang begitu sempurna. Masih ingat betul gadis kecil ini dengan sedan berwarna kehijauan dengan stiker ciri khas milik orang kalangan atas, melaju kencang melawan arus dari belokan perempatan. Kejadian itu terasa begitu cepat, gadis itu tidak pernah tahu sampai ia terbangun dirumahnya dengan keadaan yatim piatu, dituntut hutang milyaran yuan yang diturunkan oleh kedua orang tuanya. Rumahnya disita bank, seluruh hartanya raib, seorang saudara menawarkan tempat tinggal. Gadis kecil itu hanya bisa menggeleng lemah dan berlari ke tempat kejadian. Duduk, tidur, melamun disana tanpa ingin kembali ke peraduan empuk.
“aku ingin menyusul ayah bunda” ujarnya lirih ketika dibujuk orang untuk makan atau sekedar pulang.
Sampai suatu ketika, gadis itu memekik kesakitan ketika merasakan perih di daerah perutnya. Membuatnya harus menekan perutnya sendiri—hingga tak sadarkan diri.
<<>>
Genap 10 tahun, Aku diasuh oleh Paman Hong—seorang biksu di daerah yang tak jauh dari tempatku mengadu.
“untuk apa kau melakukan hal tidak berguna, aku tahu kau pintar dan kau anak yang hebat, ikutlah denganku dan tegakkan keadilan untuk orang tuamu” begitu kata Biksu Hong ketika aku menjelaskan kenapa hendak kabur pasca sadar dari saat-saat yang kukira akhir hidupku.
Di tempat ini aku berlatih, mengasah fisik, mengasah otak, mengasah segalanya untuk menjadi seorang yang membanggakan. Yang bisa membantuku untuk menunjukan sesuatu pada almarhum orang tuaku.
"Xian" panggilan singkat dari biksu pelatihku seakan memberi sinyal untuk mengeratkan selimut. Jangankan untuk menjawab, membuka matapun aku tak rela. Bekas luka pukul tongkat kayu kemarin membuatku harus berpikir dua kali untuk bangun. "Liu Xian, mau kutambah porsi latihanmu?" Nada iseng sedikit terdengar dari lantunan Biksu Hong, namun aku tahu pelatihku itu tidak pernah berbohong. Dengan bibir mengerucut, aku bangun dari peraduanku, membuka mata malas-malasan.
"......" hening, aku menatap Paman botak itu dengan wajah datar. Dapat kulihat lelaki itu membawa sebuah amplop yang agak lecek ditangan kanannya--terangkat seakan ingin dipamerkan padaku, "ayo latihan" aku berkata, menyetop rasa penasaranku dengan isi amplop di genggaman Biksu Hong.
"Inteligence....." suara berat dan pelan dari lelaki tua itu menggantung, namun sayup suara itu cukup untuk membuatku berdiri dan berlari kearahnya.
"SOCAL? ASTAGA..." pekikku, Federation of South California Justice and Equality Intelligence Service, atau biasa disebut SoCal. Tempat yang memotivasiku untuk melanjutkan pelatihan tangan kosongku--dan hobi-hobi anehku. Sebuah obsesi yang awalnya kupikir tidak akan tercapai.
"......" aku terdiam, menatap Biksu Hong--yang tidak pernah mendukungku untuk berangkat kesana karena berbahaya untuk wanita--dengan wajah memelas, "boleh.. ya?"
"Ambilah, isi, nanti kukirimkan kesana" dengan tenang lelaki itu berkata, membuatku berdebar dan hampir berteriak senang. Tanganku meraih amplop coklat itu dan mengisinya tanpa berpikir dua kali.
".....aku pasti bisa, doakan aku.." ucapku padanya, dan aku berlari ke vihara terdekat untuk berdoa.
Ditempat lain, Biksu Hong mengirimkan formulirku ke SoCal.