Notes

Kau tidak pernah tahu bagaimana rasanya tidak berdaya.
Aku mengalaminya bertahun-tahun.
Setiap detiknya, seperti orang cacat.
Termangu seperti orang bodoh.
Aku terjebak. Dan tidak bisa keluar.

–

Montana, AS, 2010
Hari begitu dingin saat kami berdua bersembunyi di sebuah gang buntu sempit dan kumuh, dengan pakaian basah kuyup karena hujan dan raut wajah tegang. Mata kami menyalang waspada, kami sedang diintai kegelapan. Tidak, bukan kami, tapi hanya saudara kembarku. Aku bisa saja melenggang pergi dan selamat, tapi dia adalah tanggung jawabku—meski dia lebih tua dariku beberapa menit. Seaneh apapun kedengarannya, itu adalah suatu perkara yang tak dapat diubah sampai kapanpun, absolut.

Sungguh, Daren—kakak kembar yang sama sekali tidak mirip denganku, tidak lemah. Tapi mengingat siapa yang mengejar kami membuatku bungkam tak mampu berkata apa-apa kala kulihat mata coklatnya mengeluarkan beberapa tetes air dari lakrimal. Justru aku meraih tangannya yang pucat, mengaitkan jarinya dengan jariku dan mengenggamnya erat. Berharap ia dapat merasakan semangat yang berusaha aku transfer ke dirinya. Ia menatapku takut, dan aku yakin ia melihat ketakutan yang sama dimataku.

“Semua akan baik-baik saja.” Ucap dhampir cilik berusia 12 tahun kala itu—aku, dengan nada yang berusaha ditegaskan ditengah perasaan kacau balau. Daren sesegukan, tanpa suara. Wajahnya melunak. Ia balas mencengkram tanganku, berharap ucapanku dapat menjadi kenyataan. Sejenak kami merasa semua benar akan jadi baik-baik saja. Kami masih bisa meniti hari esok ditempat yang lebih hangat dibanding dinding kumuh ini. Tapi, hal itu tak lama, karena beberapa saat kemudian terdengar geraman kejam dari sang kegelapan yang mengincar.

Aku merogoh sakuku, menatap nyalang sebuah batu yang dinamai Dark Light oleh ayahku. Memegangnya erat, attribut terakhirku. Aku berdiri didepan badan Daren yang sejujurnya lebih tinggi dariku dengan dark light di tangan. Akhirnya kulihat sang kegelapan berdiri didepang gang itu, menghalangi akses keluar, kami terjebak. Ia melangkah mendekat, seringaiannya tersiram sinar bulan, membuat bulu kuduk kami menegang melihat lawan kami yang ternyata seorang strigoi buruk rupa berbau menyengat dengan tatapan memangsa yang kentara.

“Serahkan bocah Voda itu.” Titahnya kasar merujuk ke saudaraku. Aku menggeleng tidak setuju dengan tangan mengacungkan dark light kearahnya. Setengah mati kucoba menghalangi tubuh Daren dari sorotannya. Daren mencicit dibalikku, suaranya serak karena seram. Aku sendiri berperang dengan rasa putus asa yang menggorogoti jiwa dua belas tahun-ku. Kau bisa, Azra, kau harus bisa, pikir rasionalku.

Strigoi itu tiba-tiba menatap kami dengan pelototan tak percaya, disusul badannya yang tumbang perlahan dengan pasak perak yang tertancap di punggungnya. Bersamaan itu, aku melihat sosok jangkung lain muncul dengan mata setajam elang yang menyihir aku dan Daren diam. Tak sampai disitu, seorang malaikat berambut panjang berlari kearah kami, wajahnya menyerupai bidadari. Aku jatuh berlutut karena lemas, sebelum merasakan tangan hangat menangkup pipiku yang kedinginan. Raut manik coklat itu cemas, samar-samar kudengar ia bertanya apa aku baik-baik saja.

Daren dibelakangku merangkul bahuku protektif, tapi malaikat itu mengusap wajahku.

“Aku Aline Castille, kalian aman sekarang.” Dan aku bersumpah melihat senyum yang paling indah sebelum semuanya menjadi gelap.

–