Notes

[ 15 ]
Hari silih berganti. Sosok Bilhuda Kim tak henti bekerja di balik counter kedai kopinya, mengolah dan menyuguhkan kopi terbaik untuk para pelanggan setia. Meski dari luar tampak tidak ada yang berbeda, tentu orang-orang terdekat beliau dapat merasakan kalau Bilhuda seolah memaksakan diri dengan bekerja lebih keras dari biasanya. Terutama hari ini, hari yang tak terasa datang lebih cepat dari dugaan.

Ya. Hari di mana Bilhuda akan terpisah dari Nana, putri semata wayangnya.

Dari pojok ruang kedai, Nana memandangi sosok ayahnya itu dengan nanar. Minyoung yang sedikit tahu tentang kondisi Bilhuda hanya bisa menutup mulut dan menepuk-nepuk punggung Nana, agar gadis itu dapat lebih tenang. "Minyoung-ssi, apa benar kamu tidak tahu mengapa sifat Ayah berubah tiba-tiba?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir ranum Nana berhasil membuat Minyoung salah tingkah dan menarik tangannya untuk ia lipat di atas pangkuan. "Minyoung-ssi?" Nana kembali memanggil nama Minyoung, yang semakin membuat pegawai kedai tersebut panik karena Nana sudah menggunakan bahasa formal kepadanya. "A-aku–"

CRING!

Ucapan Minyoung terinterupsi kala lonceng tanda ada yang membuka pintu kedai terbuka. Sontak Minyoung bangkit berdiri, apalagi saat menyadari bahwa sosok yang baru tiba adalah Early yang merupakan ibu dari Nana dan mantan istri Bilhuda. Dengan sigap Minyoung menghampiri wanita itu dan membungkukkan badannya sekilas. "Selamat datang. Saya akan memanggilkan Pak Bil–"

"Tidak perlu," tukas Early, "saya ke sini hanya untuk menjemput Nana, bukan bertemu dengan pria itu."

Wanita anggun itu berjalan melewati Minyoung dan menghampiri sang putri di pojok ruangan. Sekali lihat, Minyoung dapat menyaksikan ketidaksukaan Nana. Tetapi, saat pandangannya beralih ke Bilhuda, tak ada sedikit pun pergerakan pria itu yang menyatakan kalau beliau ingin melihat keluarganya. "Pak Bil...."

Early menarik pergelangan tangan Nana sehingga gadis itu berdiri seketika. Tatapan tajam diberikan Nana kepada sang ibu, lalu ia membungkuk untuk mengambil barang bawaanya dan berjalan menuju counter tempat sang ayah berada. Tidak ada tegur sapa, satu kata pun tak ada yang terucap baik itu dari Nana atau Bilhuda. Bahkan, dengan dinginnya Bilhuda sama sekali tidak melirik sang putri. Wajah Nana merah dibuatnya. Rasa marah, kecewa, takut, dan sedih bercampur jadi satu. Karena tak sanggup menahan buncahan emosinya lebih lama lagi, Nana pun keluar dari kedai yang langsung disusul oleh Early. Kedua wanita itu memasuki mobil yang terparkir di depan kedai dan segera berangkat menuju kediaman baru untuk Nana. Sepanjang perjalanan, gadis Kim itu terus menunduk dan melempar pandang ke luar kaca jendela. Sesekali, ia menggerakkan tangannya untuk menyeka wajah dari tetes air mata yang membasahi.