Notes

Kehangatan itu kembali tiba seperti malam-malam sebelumnya, menciptakan kenyamanan yang hanya bisa kurasakan darinya.

'Ayahku telah pulang' Batinku bersorak riang. Kedua kelopak mataku sudah tidak bisa terpejam lebih lama, karena Aku amat sangat merindukan pria yang sebentar lagi akan menginjak usia setengah abad ini.

"Ayah?" Aku bersua lirih dan serak, khas seorang yang baru saja bangun dari tidurnya. Kulihat sosok pria bergurat lelah itu berada tak jauh dari ranjangku, tengah merapikan buku-buku yang baru saja kupelajari untuk ulangan besok. Ia tersenyum menenangkan, senyum yang selalu membuatku percaya bahwa aku akan selalu aman didekatnya.

"Maaf Ayah membangunkan mu Tuan Putri" Ujarnya seraya mengulurkan salah satu tangannya untuk mengusap surai hitamku, masih dengan patrian senyumnya. Aku menghiraukan permintaan maafnya, memilih beranjak dari posisi tidurku demi memeluk tubuh tegapnya. Tubuh yang menjadi penyangga hidup keluarga kami. Tak tau seberapa banyak beban yang tengah ditanggungnya hingga membuat bahunya terasa amat keras namun terlihat rapuh karena kelelahan.

Lenganku memeluk lehernya sedikit kesusahan akibat dari tinggi tubuhku yang cukup jauh dengan Ayah , memasukkan kepalaku pada ceruk lehernya.
"Ayah, El merindukan Ayah. Kenapa baru pulang? Apa Ayah tidak merindukan El?" Aku mengubah posisiku lagi, menjadi duduk diatas pahanya. Akan tetapi tidak melepas dekapanku padanya. Tengkukku mendongak,menatap keatas. Mendapati Ayah juga tengah menatapku sembari tertawa geli.

"Bagaimana mungkin ayah tidak merinduk putri ayah yang cantik ini hm" Ia menggesek-gesekkan pucuk hidungnya ke pucuk hidungku, menggoda tawaku untuk meledak karena kegelian. Detik selanjutnya Ia telah berhenti menggoda pucuk hidungku. Mengangkat tubuhku tanpa beban lalu melangkah keluar dari kamar tidurku.

Manikku menyusuri dua kamar yang telah tertutup rapat itu berarti Ibu dan Kakak sudah terlelap saat ayah tiba.
"Ayah! kenapa tidak membangunkan Ibu?" Aku kembali bersua dalam gendongannya, menyembunyikan kepalaku diceruk lehernya.

"Ibu pasti kelelahan karena seminggu merawat kau dan kakakmu sendirian sayang. Ayah tak ingin mengganggunya" Ayah menjawab pertanyaanku dengan sorot mata teduh, entah mengapa aku merasa ada yang Ayah sembunyikan sewaktu Ia mengatakan hal itu. Atau mungkin hanya perasaanku saja?

"El, Jika Ayah pergi lagi. Apa El mau melaksanakan tugas dari Ayah?" Raut mukaku seketika menggambarkan kebingungan atas kalimat yang baru saja terlontar dari bilah bibir Ayah. Perasaanku mengatakan ada yang salah dalam dirinya, Ayah sangat berbeda hari ini. Seperti ada beban kesedihan yang ditumpunya. Meski aku baru berusia 10tahun dan tubuhku memiliki postur tubuh yang lebih kecil dari teman-temanku yang lain, tetapi aku memiliki kepekaan yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak seumuranku. Membuatku tumbuh dengan pemikiran yang sedikit lebih dewasa. Ayah masih menatapku, tatapan penuh arti yang tidak bisa kuterjemahkan. Aku mencoba menepis rasa penasaranku, segera menjawab pertanyaan berkedok permohonan yang tadi Ayah ucapkan.

"Tentu saja El akan menjaga Ibu dan Kakak sewaktu Ayah pergi bekerja. Tapi Ayah harus cepat kembali, kalau tidak El akan benar-benar marah kepada Ayah"