NotesWhat is notes.io?

Notes brand slogan

Notes - notes.io

Eight

Nana’s POV

Hari-hari berjalan seperti biasa. Namun, Nana nampak semakin akrab dengan ayahnya. Yah, walaupun hanya sekadar untuk secangkir kopi dan berbincang dengan ayahnya, ia akan selalu menyempatkan diri untuk berdiam sebentar di kedai kopi milik Bilhuda. Tak peduli betapa larutnya malam, atau betapa lelahnya hari yang ia jalani, ia akan selalu mampir ke kedai kopi milik ayahnya dan meminta ayahnya membuatkan secangkir kopi yang biasanya dihias dengan latte-art untuknya, yang membuatku semakin betah hanya untuk menikmati kopi itu dengan kedua netranya sembari bercerita tentang hari yang ia lalui kepada ayahnya.



“Ayah, aku pulang,” Nana masuk dan menyapa menyapa diiringi dengan denting bel yang tergantung di pintu masuk kedai kopi milik Bilhuda.

“Kau mau Latte?” tanya Bilhuda dari balik mesin pembuat espresso berukuran besar yang menutup seperempat konter yang berhadapan langsung dengan pembeli.

“Tentu. Apakah hari ini kedainya ramai?” tanya gadis itu sembari membuka buku pelajarannya, Berlaga ingin membaca ulang apa yang kupelajari tadi.

“Hari ini hari senin, tak begitu ramai. Namun, banyak anak sekolahmu yang datang kemari, menanyakan putriku yang cantik ini,” senyum mengembang di bibir Bilhuda. Ia nampak bahagia.

“Ayah, jangan begitu lah. Aku biasa-biasa saja kok,” alih-alih marah akan komentar ayahnya, tawa meluncur dari bibir Nana. “Aku senang banyak yang mengunjungi tempat ini,” lanjutnya.

“Kau lelah? Minyoung baru saja memanggang kue kesukaanmu,” Bilhuda berujar sembari mengeluarkan sebuah loyang berisi sponge cake vanilla buatan Minyoung.

“Wah, Eonni, terima kasih! Aku boleh mencicipinya kan?” tanya Nana sembari masuk ke konter dan menggamit lengan ayahnya, merengek meminta sepotong kue buatan Minyoung yang sudah tak diragukan lagi kelezatannya.

“Tentu boleh,” Bilhuda hanya tersenyum dan memotong kue itu dan meletakkan potongannya di atas sebuah piring dan meminta puterinya membawa baki berisi kopi dan kue itu ke meja tempat ia duduk tadi.



Sudah lama sekali Nana berharap sesuatu seperti apa yang ia alami hari ini terjadi. Menurutnya, Gadis berusia 18 tahun itu akan betah berlama-lama di tempat itu apabila hubungannya dengan ayahnya terus berjalan semulus ini.



“Nana, Kenapa melamun?” Bilhuda membangunkan puterinya dari lamunannya.

“Ayah, aku boleh minta sesuatu tidak dari ayah?” Nana bertanya sembari mengaduk latte yang berada di dalam gelasnya.

“Minta apa?” tanya Bilhuda. Sorot matanya menunjukkan ekspresi bahwa dirinya bingung akan pertanyaan yang meluncur dari mulut puterinya barusan.

“Belakangan, aku lihat ayah sering sekali merokok. Kalau bisa, dan kalau ayah mau, berhentilah merokok. Itu tak baik untuk kesehatan ayah,” ujar Nana sambil menatap ayahnya dan tanpa sadar lengan gadis itu bergerak ke saku kemeja Bilhuda dan mengambil bungkusan rokok yang hampir kosong dan menaruhnya di meja.

“Ayah akan berusaha melakukannya, anakku.” Ujar Bilhuda sembari tersenyum lembut dan membelai rambut puterinya.

“Sungguh?” tanya Nana lagi. Tak terasa, senyum terkembang di wajahnya yang bersemu merah mendengar ayahnya akan berusaha berheti melakukan kebiasaan buruknya itu.

---



Bilhuda POV



Bilhuda masih berada di tempat yang sama, kedai kopi kecil yang digarapnya semenjak beliau harus membesarkan Nana seorang diri. Belakangan ini, Nana sudah mulai bersikap terbuka dan ramah terhadap dirinya dan ia berharap kelak akan terus seperti ini. Banyak yang dibicarakan Nana dengannya ketika sekolah usai ditemani dengan segelas latte buatannya. Tak biasanya Nana mau berbincang dengan ayahnya. Bahkan mendengar lelucon buatan ayahnya pun ia tak mau. Tapi sekarang, Nana berubah. Sikapnya sangat ramah dan terbuka pada Bilhuda. Ia merasakan betapa manisnya kepribadian Nana ketika puterinya itu membuka mulutnya untuk sekedar menyapaku dan menanyakan bagaimana kabarnya hari itu.

Melihat perubahan dari diri Nana itu, Bilhuda merasa bersemangat untuk merubah gaya hidupnya. Bukan hanya untuk menyenangkan hati anak semata wayangya itu, tapi juga supaya dirinya bisa terus melihat senyum di wajah Nana hingga nanti ia membawa puterinya itu ke depan altar dan menyerahkan anak gadis semata wayangnya itu kepada orang yang akan menjadi suami Nana nantinya.



“Ayah, kok bengong?” Tanya Nana yang tengah menikmati kopi buatan Bilhuda.

“Aniya, Ayah hanya sedang berfikir,” jawab Bilhuda sembari meminum kopi hitam pekat dari dalam gelas besar yang biasa digunakannya untuk menyimpan kopinya.

“Ayah, apa Juno masih sering kemari?” tanya Nana lagi.

“Kurasa iya, aku sering melihat sosoknya,” kalimat Bilhuda terhenti. “Kenapa kau mencarinya?” tanyanya lagi.

“Aniya, hanya penasaran saja,” baru sekali ini dirinya melihat Nana salah tingkah karena seorang pria.

“Nampaknya Juno sudah mulai dekat denganmu,” Ia berniat menggoda puterinya yang tengah tersipu.

“Aniya, jangan begitu ayah,” Nana hanya memukul lengan Bilhuda pelan menanggapi candaan dari Bilhuda.



Dan malam itu mereka habiskan dengan senda gurau di dalam kedai kopi kecil miliknya. Malam yang nampak janggal tapi menyenangkan hati. Bilhuda dan puterinya semata wayang menghabiskan waktu bersama ditemani segelas kopi dan sepotong kue buatan Minyoung.



----
[ 9 ]

Situasi pagi ini tampak tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Minyoung yang datang sejak pagi buta untuk membantu Bilhuda merapikan kedai, serta sang empu yang tidak pernah diketahui apakah beliau benar pulang ke rumah atau tidak karena selalu tiba sebelum kedatangan Minyoung. Meski begitu, ada sedikit keganjilan yang Minyoung rasakan. Pagi ini, ia mendapati Bilhuda beberapa kali bolak-balik kamar mandi dalam selang waktu yang singkat. Hingga akhirnya sang dara menyadari bahwa wajah Bilhuda terlihat begitu pucat, disertai pula dengan bulir-bulir peluh di kening yang mengalir mengikuti garis wajahnya.

Tepat sepuluh menit sebelum kedai dibuka, dapat Minyoung lihat kalau langkah kaki Bilhuda terseok serta beliau yang terus membungkuk sambil menekan bagian perut. Alih-alih tetap diam, gadis ini pun menghampiri sang pria untuk sekadar menanyakan kabar. "Pak, istirahat dulu saja biar saya yang─" Belum selesai Minyoung mengucapkan kalimatnya, Bilhuda terlebih dulu tumbang bersama cangkir kosong yang baru saja diambilnya. Tubuhnya gemetar, layaknya sosok yang tengah menggigil. Manik mata Minyoung membulat sempurna, ia memekik terkejut akan apa yang dilihatnya. "PAK?! PAK BIL?!"

Di saat yang sama, pintu kedai terbuka dan mengakibatkan adanya suara khas dari lonceng yang terpasang di sana. Sosok yang tak lagi asing karena sudah lama menjadi pelanggan tetap berdiri terpaku kala mendengar jeritan Minyoung. Ia adalah Juno, yang dengan sigap menghapiri sumber suara hingga mendapati kedua insan yang tengah berada di lantai itu. "Minyoung-ssi, ada apa ini?" tanya Juno yang tak kalah terkejutnya dengan Minyoung, ditambah jawaban berupa gelengan kepala dari sang gadis. Kuasa tangan Juno merogoh ke dalam mantel untuk mengeluarkan ponselnya, ia pun langsung menekan angka 119 untuk memulai sambungan telepon. "Tenanglah sebentar, aku akan menghubungi ambulans," ucap Juno yang kini berjongkok di sisi Minyoung sembari menggenggam lengan Bilhuda dengan kuasa tangan lainnya.

Waktu yang masih cenderung pagi membuat ambulans tiba lebih cepat. Dengan menggunakan tandu, petugas kesehatan pun memindahkan tubuh Bilhuda ke dalam mobil. Juno turut serta ikut menuju rumah sakit, sementara Minyoung tetap berada di kedai untuk bekerja seperti biasa. Di perjalanan, pertolongan pertama segera diberikan kepada Bilhuda. Keram perut yang tiba-tiba menyerang adalah alasan mengapa beliau bisa tumbang. Sementara itu, di waktu yang sama, Minyoung terduduk lemas di salah satu kursi kedai. Ia baru saja selesai menghubungi Nana mengenai situasi dan kondisi yang baru saja terjadi.

Dengan kondisi jalan yang masih cukup kosong, ditambah dengan kecepatan laju kendaraan, hanya dalam waktu sepuluh menit ambulans yang membawa Bilhuda dan Juno sudah tiba di rumah sakit. Tubuh Bilhuda dipindah dari tandu ke troli pasien, lalu dengan sigap di dorong oleh para petugas kesehatan menuju IGD untuk ditangani. Juno menunggu di lorong IGD dengan sedikit rasa sesak di dada karena ia masih terkejut. Selang beberapa menit, sebuah suara menginterupsinya. "Adakah wali dari Bilhuda Kim di sini?" Atas dasar pertanyaan itu Juno bangkit berdiri dan mengangkat tangannya. "Saya! Saya wali dari Bilhuda Kim."
Setelah mengaku sebagai wali dari pria pemilik kedai kopi langganannya, dokter yang menangani beliau menyatakan bahwa Bilhuda Kim mengalami obstruksi usus dan harus dirawat untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Juno yang pada saat itu tidak dapat benar-benar berpikir jernih pun mengiyakan saran dari dokter dan langsung ditemani seorang perawat menuju resepsionis guna melengkapi data, serta administrasi agar Bilhuda dapat dipindahkan ke kamar rawat.

***

Di kamar rawat, Bilhuda Kim tampak sudah sadarkan diri. Bertepatan dengan itu, pintu kamar terbuka dan mempertunjukkan figur Nana yang berdiri dengan wajah sembab dan napas yang beradu. "Appa...." Panggilan itu turut mengusik Juno, meski begitu Bilhuda justru tersenyum lebar dan memandangi Nana sehangat biasanya. Putri tunggal Kim itu berjalan mendekati sang ayah dengan tatapan tak percaya. "Appa...." Panggilnya lagi karena tak mampu berkata-kata. "Hm? Appa baik-baik saja, Na. Kamu gak perlu khawatir, besok atau lusa juga Appa sudah dibolehkan pulang. Ya, kan, Juno?" Bilhuda mengulurkan tangannya, berusaha menggapai kepala Nana untuk ia belai lembut rambutnya. Sementara itu, Juno tampak kikuk atas penuturan sepihak oleh Bilhuda. Alhasil, Juno hanya dapat menunjukkan senyuman yang sangat tidak natural.

Tiba-tiba, tangan yang tadi membelai Nana berpindah ke lengan Juno. Bilhuda menggenggam pergelangan tangan Juno dan memandanginya dalam. "Boleh tolong antarkan Nana pulang? Besok dia masih ada ujian," pinta Bilhuda yang tak mungkin dibantah Juno. Pemuda jangkung itu pun menganggukkan kepalanya dan menghadap ke Nana, "Biarkan Ahjussi istirahat dulu, kita bisa menjenguknya lagi besok sepulang sekolahmu." Ajakan dari Juno itu direspon Nana dengan decakan dan hembusan napas berat, hingga akhirnya Nana setuju untuk pulang.

------------------------
[ 10 ]

Hari kembali berganti. Nana yang notabene adalah seorang pelajar tengah menjalani ujian di sekolahnya. Keseriusan serta tingkat konsentrasi yang tinggi saat ini tak tampak pada dirinya, berkebalikan dengan bagaimana ia biasanya. Nana terlihat sangat tidak tenang akibat diselimuti rasa khawatir terhadap sang ayah. Selain itu, ia juga memiliki firasat kurang baik yang mengambil peran besar sebagai pengganggu konsentrasinya.

Enam puluh menit berlalu, selesai sudah ujian untuk hari ini. Saat hendak memasukan kembali perlengkapannya ke dalam tas, ponselnya bergetar tanda ada sebuah pesan masuk. Nana meraih benda elektronik itu dan mendapati SMS dari Minyoung yang menyatakan bahwa ayahnya sudah kembali ke kedai dan sendang membuat pesanan kopi untuk pelanggan seperti biasanya. Tanpa sadar, kedua sudut bibir Nana terangkat sebagai senyuman pertama yang ia pertontonkan hari ini. Perasaan lega kini jauh mendominasi dan dia pun mempercepat pergerakannya karena sudah tidak sabar untuk bertemu sang ayah di kedai.

Setibanya Nana di kedai kopi, ia tidak langsung menuju 'singgasananya' di pojok ruang melainkan menghampiri Bilhuda Kim untuk melihat sendiri bagaimana kondisi sang ayah. "Appa!" Sopran milik Nana terdengar nyaring, hingga ada beberapa pengunjung kedai yang ikut menoleh ke arahnya. "Appa sudah baik-baik saja? Apa sudah tidak sakit?" Nana mengajukan berbagai macam pertanyaan sambil menundukkan kepala untuk meneliti tubuh sang ayah.

Pemandangan ini membuat Bilhuda tersenyum lebar, ia pun memanggil barista lain untuk melanjutkan pekerjaannya agar ia dapat berbicara sejenak bersama Nana. Kini, kedua tangan Bilhuda ada di atas bahu Nana. Sorot matanya menatap lekat sang anak gadis, hingga perlahan ia mulai menggerakkan kedua tangannya untuk menyusun kalimat ucapan. "Appa baik-baik saja, Nana tidak perlu khawatir. Sekarang, Nana makan dulu, ya? Kamu pasti lapar habis ujian." Bahasa isyarat yang diberikan sang ayah dapat dimengerti dengan mudah oleh Nana, ia pun menggelengkan kepala sebagai respon. "Aku tidak lapar," bantahnya, namun sayang perutnya berkata lain karena langsung mengeluarkan sedikit gemuruh yang berhasil membuat wajah Nana merona kemerahan. "Hm, Appa tidak pernah mengajarkanmu untuk berbohong. Nana harus makan. Habis ini kamu juga harus masuk bimbingan belajar seperti biasa, tidak boleh bolos karena besok masih ada ujian." Bilhuda kembali menyampaikan pesannya kepada Nana, lalu memutar balik tubuh sang putri untuk ia tuntun ke meja yang biasa Nana tempati agar putrinya itu dapat segera makan sebelum kembali berangkat untuk belajar.

***

Meski sempat merasa kesal karena sang ayah mengingatkannya tentang bimbingan belajar di saat Nana ingin berada dekatnya, Nana tetap menuruti ucapan beliau untuk tidak membolos. Selain itu, rupanya ungkapan menganai waktu akan terasa lebih cepat berlalu saat sedang bahagia benar adanya. Setidaknya, untuk Nana saat ini. Ia merasa proses belajar terasa begitu cepat hingga tak terasa hari pun berganti malam, menandakan bimbingan telah berakhir. Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, Nana segera bergegas pergi menuju kedai kopi ayahnya.

CRING!

Suara lonceng tanda kalau pintu kedai terbuka pun terdengar. Minyoung menyapa pengunjung tersebut yang merupakan anak dari Bilhuda Kim, Nana. "Sudah selesai bimbingannya? Aku akan panggilkan Pak Bil untuk membuatkan kopi untukmu." Ujaran dari Minyoung disambut dengan anggukkan kepala Nana.

Seraya menunggu di pojok ruangan, Nana terus memperhatikan gerak-gerik Bilhuda karena masih tak percaya bahwa tubuh itu kembarin terbaring di rumah sakit. Tak lama, sosok yang ia perhatikan pun menghampirinya bersama dua cangkir kopi panas. Kini, ayah dan anak Kim tengah duduk berhadapan dan memandangi satu sama lain. "Kamu terlihat sangat riang, apa ada sesuatu yang menyenangkan?" Bilhuda lebih dulu melakukan pergerakan dan membuka interaksi, yang kemudian dibalas dengan gerakan kepala Nana yang menggeleng. "Tidak ada. Aku hanya senang karena Appa sudah tidak lagi di rumah sakit," aku Nana dengan jujur sembari menundukkan kepala untuk menyeruput kopi buatan sang ayah.

Seolah tidak percaya, Bilhuda kembali mengajukan pertanyaan yang kali ini sengaja ia berikan untuk menggoda Nana. "Benarkah? Apa tidak ada kaitannya dengan Juno?"

Nana nyaris tersedak kopi saat mendengar pertanyaan tersebut. "Appa!" rengeknya dengan nyaring. Melihat Nana yang cemberut dan merengek seperti itu membuat Bil tertawa sampai membungkukkan tubuhnya. "Nana kan sudah bilang kemarin kalau Juno oppa itu hanya teman baik saja," cibirnya lagi guna menguatkan ucapan kalau dirinya dan Juno memang tidak seperti apa yang sang ayah pikirkan.

Bilhuda pun mengangguk-anggukkan kepala sambil membuat gestur 'oke' dengan jari tangannya. Setelah menenangkan diri agar tidak tertawa lagi, Bilhuda kembali membuka topik pembicaraan. "Bagaimana ujianmu tadi? Apa soalnya sulit?"
"Mana mungkin ada soal yang sulit untuk seorang Nana!" Gadis pelajar itu tampak begitu bangga kala mengucapkan kalimat tersebut, hal yang sangat jarang dilihat Bilhuda sehingga lagi-lagi pria itu menyunggingkan senyuman lebar.
Dengan gerakan tangan dan ekspresi wajahnya, Bilhuda pun menyampaikan pesan untuk Nana agar sering tersenyum karena itu membuatnya terlihat semakin cantik.
Mendapati hal itu, Nana tersipu malu dan kembali menyesap kopi kesukaannya. Ada rasa hangat yang tersalurkan dari cairan pekat yang minum, entah memang karena rasanya yang nikmat atau karena rasa cinta dan kasih sayang yang ayahnya berikan saat membuat kopi tersebut.

Bilhuda mengetuk meja untuk menarik atensi Nana, membuat gadis itu mengangkat kepalanya untuk memandang sang ayah. "Kemarin Appa sudah sedikit tahu tentang teman-teman Nana, sekarang Appa juga ingin tahu lebih dalam tentang Nana. Apa ada mimpi yang ingin Nana capai?"

Bohong kalau Nana tidak terkejut dengan penuturan ayahnya. Meski begitu, Nana berusaha tetap bersikap tenang dan menjawab pertanyaan sang ayah yang ia yakini betul akan menjadi perbincangan panjang malam ini. Selain itu, Nana juga merasa ini adalah waktu yang tepat untuk semakin mendekatkan diri dengan ayahnya.

"Tentu ada, Appa. Nana ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi agar kelak bisa membantu dan meringankan pekerjaan Appa."
     
 
what is notes.io
 

Notes.io is a web-based application for taking notes. You can take your notes and share with others people. If you like taking long notes, notes.io is designed for you. To date, over 8,000,000,000 notes created and continuing...

With notes.io;

  • * You can take a note from anywhere and any device with internet connection.
  • * You can share the notes in social platforms (YouTube, Facebook, Twitter, instagram etc.).
  • * You can quickly share your contents without website, blog and e-mail.
  • * You don't need to create any Account to share a note. As you wish you can use quick, easy and best shortened notes with sms, websites, e-mail, or messaging services (WhatsApp, iMessage, Telegram, Signal).
  • * Notes.io has fabulous infrastructure design for a short link and allows you to share the note as an easy and understandable link.

Fast: Notes.io is built for speed and performance. You can take a notes quickly and browse your archive.

Easy: Notes.io doesn’t require installation. Just write and share note!

Short: Notes.io’s url just 8 character. You’ll get shorten link of your note when you want to share. (Ex: notes.io/q )

Free: Notes.io works for 12 years and has been free since the day it was started.


You immediately create your first note and start sharing with the ones you wish. If you want to contact us, you can use the following communication channels;


Email: [email protected]

Twitter: http://twitter.com/notesio

Instagram: http://instagram.com/notes.io

Facebook: http://facebook.com/notesio



Regards;
Notes.io Team

     
 
Shortened Note Link
 
 
Looding Image
 
     
 
Long File
 
 

For written notes was greater than 18KB Unable to shorten.

To be smaller than 18KB, please organize your notes, or sign in.