Notes

[ 20 ]
Sementara seluruh kerabat Bilhuda Kim tengah berkumpul dan berkabung atas kematiannya di rumah duka, di tempat lain ada Nana yang lebih memilih untuk menyendiri dan tidak menghadiri proses terakhir penghormatan kepada sang ayah. Walau sudah dihadapi dengan kenyataan bahwa sang ayah kini telah tiada, rasa sakit hati atas perlakuan yang ia terima terakhir kali belum dapat dilupakan oleh Nana.

Putri semata wayang yang sangat disayangi Bilhuda Kim itu memutuskan untuk menghabiskan waktu di tepi Sungai Han, tidak peduli dengan kondisi sekitar ataupun cuaca yang tampak kurang mendukung dengan kuatnya hembusan angin. Saat diperjalanan menuju Sungai Han, tak terhitung berapa kali Nana nyaris jatuh akibat tak sengaja menabrak warga lain yang berlalu-lalang atau sekadar tersandung kakinya sendiri. Pandangannya tampak kosong, membuat kalimat permintaan maaf juga tak terhitung sudah berapa kali terucap oleh sang gadis. (kalimat yang terakhir ini kayaknya gak efektif deh)

Hingga akhirnya ia berada di depan kedai kecil yang menjual kopi, tidak jauh dari pagar pembatas menuju tepi Sungai Han. "Tch, haruskah?" ucapnya yang diawal dengan decakan, menyuarakan isi pikiran yang menuju kepada kedai kopi tersebut. Alhasil, Nana menghampiri kedai itu dan memesan satu cup kopi hitam panas untuk menemani kesendiriannya ini. Atau ... ada alasan lain mengapa Nana memutuskan untuk membeli kopi di hari ini?

"Terima kasih," ujarnya setelah menerima cup kopi, yang lalu kembali melanjutkan perjalanannya menuju Sungai Han.

Setibanya ia, pemandangan yang disuguhkan kepada Nana adalah kelompok-kelompok orang yang tengah berkumpul. Dapat dibilang hanya dirinyalah yang sendiri di tempat ini. Buncahan emosi dan gengsi tiba-tiba saja menyeruak dan menyesakkan dada, Nana pun memutuskan untuk tidak peduli dan duduk di atas hamparan rumput liar tanpa alas apapun selain pakaian yang ia kenakan. Cup kopi yang masih belum ia minum diletakkan tepat di samping tubuhnya, dibiarkan begitu saja.

"Apakah kau sekarang senang, Ayah?" Kalimat itu tiba-tiba saja diucapkan oleh Nana, tatapannya masih kosong meski ia tampak tengah memandangi aliran sungai di depan sana. "Sebegitu tak ingin melihatku, ya? Makanya memutuskan untuk menghabisi nyawa," ujarnya lagi, yang kali ini dengan nada bicara merendahkan akibat amarah yang menyelimuti diri.

"Nana kira ayah tidak sebodoh ini, rupanya Nana salah. Untuk apa ayah menjauhkan Nana dari ibu kalau akhirnya Nana pun dibuang oleh ayah," ia mendengus dan menundukkan kepalanya, "tch, apa justru ayah terlalu pintar ya sampai bisa mempermainkan anaknya seperti ini?"

"Ah...." Sang gadis pun mengembuskan napas panjang sembari merebahkan tubuhnya, hal ini membuat cup kopi miliknya bergeser dan berakhir dengan menumpahkan seluruh isinya ke atas rumput. Ia yang sadar akan hal itu hanya melirik sekilas dan kembali bersikap tak peduli. Seakan ia sudah memprediksikannya, membiarkan kopi itu terbuang sebagaimana dengan kondisi dirinya. "Nana salah karena sempat berpikir bahwa Nana sudah dapat mengerti ayah."