NotesWhat is notes.io?

Notes brand slogan

Notes - notes.io

“Oh Papa!” By: Olivia Arian

Bentangan langit biru mulai memudar, tergantikan oleh langit senja berwarna jingga yang amat indah. Suara tawa girang disekitar area lapang pun sudah meredup, karena sebagian anak yang bermain disana telah kembali kerumah mereka masing-masing. Akan tetapi tak sedikit pula yang masih betah bertahan disana hanya untuk sekedar bercengkrama maupun menikmati angin sore. Elina Argaputri, atau kerap disapa sebagai El adalah contohnya. Gadis mungil berusia 12tahun itu nampak masih betah menyusuri tanah lapang yang terselimuti oleh rerumputan kering. Atensinya sedari tadi hanya tertuju kebawah, pandangnya bergerak liar mengamati setiap inchi tanah lapang tersebut. Entah apa yang sedang Ia cari-cari dibawah sana. Akan tetapi apabila dilihat dari mimik gusar gadis bersurai hitam legam itu, nampaknya Ia tengah kehilangan sesuatu yang berharga miliknya sewaktu Ia sibuk bermain bersama kawannya tadi.
"Ish dimana kalungku!" Gerutuan kesekian kalinya kembali terlontar dari delima El. Hatinya cemas, pikirannya kalut membayangkan jika kalung kesayangannya itu tidak dapat kembali melingkari lehernya. Hal itu tak boleh terjadi, karena hanya itu satu-satunya barang peninggalan Ibunya yang diberikan kepada dara kecilnya didetik-detik sebelum kematian menjemput ibu dari dua anak tersebut. Mengingat wajah damai sang ibu sewaktu memberikan kalung tersebut, membuat manik El tergenang cairan bening yang tertahan disana. Hal itupula yang membuat langkahnya semakin gencar menjelajahi bagian lapang yang belum terjamah olehnya. Namun, baru beberapa langkah Ia melaju. Sepasang kaki terbalut sepatu coklat usang menghalangi akses jalannya, sepatu yang sudah tidak asing lagi diingatannya.
"Ayah!" Pandangnya terangkat, menatap rupa si pemilik sepatu usang yang tak lain dan tak bukan adalah ayah El. Kedua lengan gadis itu terangkat, lalu melingkari lengannya pada pinggang sang ayah untuk memeluk pria paruh baya yang jauh lebih tinggi darinya. Simon Argaputra, nama dari Ayah El. Pria yang kini usianya hampir menuju setengah abad itu tertawa geli, melihat tingkah anaknya. Meskipun El sudah memasuki tingkat remaja, tapi sikapnya manjanya masih belum berubah sama sekali. Tetap kekanak-kanakan dan manja terhadapnya.
"Tuan putri kenapa tidak pulang? Waktu bermainmu sudah habis 30menit yang lalu bukan?" Simon bersua pada anaknya. Mengusap surai legam itu dengan penuh kasih sayang. Berbanding balik dengan El yang kini raut mukanya berubah lebih pucat, akibat ketakutan yang mendera.
'Bagaimana reaksi ayah jika mengetahui kalungnya hilang?' Mungkin pertanyaan seperti itulah yang sedang menghinggapi batin sang dara muda ini. Tetapi, Ia tidak mungkin membohongi ayahnya. Sama sekali tidak mungkin, karna sejak Ia lahir kedua orang tuanya melarang keras anak-anaknya untuk berbohong. Bahkan, apabila El dan kakaknya telah melakukan kesalahan baik besar maupun kecil, kedua dara itu harus mengakui secara jujur pada Ayah maupun kepada Ibu mereka yang masih hidup dulu. El tau Ayahnya tidak akan menghuku, akan tetapi El hanya tidak takut sang ayah marah dan kecewa sebab kecerobohannya ini.
"El? Ada apa sayang? Ceritakan kepada ayah" Suara lembut Simon mengetahui gelagat aneh putrinya. Yang dipanggil tersentak sadar dari lamunannya, kemudian mencoba menenangkan pikirannya yang mulai penuh akan prasangka buruk.
"Ayah... Kalung Ibu hilang" Maniknya kembali berkabut, cairan bening yang daritadi Ia bendung akhirnya tumpah menjadi bulir-bulir airmata yang jatuh melewati pipi gembilnya. El memandang takut manik hitam ayahnya, mempersiapkan hatinya untuk mendengar bentakan marah Simon. Namun, yang didengarnya bukanlah bentakan atau pekikan marah. Melainkan kekehan geli yang memenuhi gendang telinganya. Bibir El seketika terkatup rapat mendapati sang ayah tengah menertawakannya. Bulir-bulir bening itu telah berhenti mengalir saat itu juga, terganti oleh sedikit rasa kesal dan sisanya adalah rasa lega karena sang ayah tidak memarahinya.
"Ayaaaah! El benar-benar serius, kalung pemberian ibu hil-" Kalimat rengekan itu terpotong, begitu melihat sebuah kalung berbandul liontin kecil ditengahnya menggantung tepat didepan matanya. Kedua pipi El tertarik berlawanan arah, mematri senyuman lebar mendapati kalung yang dicari-carinya sejak tadi kini sudah ada ditangan ayahnya.
"Bagaimana bisa Ayah??" cuap El seraya meraih kalung tersebut. Onyx hazelnya menatap penuh binar benda berkilau yang ada dalam genggamannya. Menggenggamnya sangat erat, seolah-olah jika Ia melemahkan genggaman itu maka benda tersebut akan lepas dan hilang lagi.
"Dasar anak ayah yang ceroboh. Kau tau ayah menemukannya ditepi lapangan itu, ayah mencoba memanggilmu apa benar ini kalungmu atau bukan. Tapi kau sama sekali tidak mendengar teriakan ayah, El." Simon menjawab pertanyaan anak bungsunya, sembari mengangkat tinggi telunjuknya menuju pada sisi kiri lapangan. Menunjukkan posisi letak dimana Ia menemukan kalung anaknya.
"Maafkan El, ayah. El tidak akan ceroboh lagi." Tutur El penuh penyesalan.
"Hey sayang, bukan masalah untuk ceroboh sesekali. Tapi lain kali kau harus lebih waspada dan hati-hati dengan dirimu serta lingkungan sekitarmu, mengerti?" Nasehat yang lebih tua, yang hanya dibalas oleh tiga kali anggukan kepala tanda anak dara itu mengerti.
"Anak pintar. Sekarang biar ayah memasangkan kalungmu,lalu kita segera pulang. Kasihan kakakmu menunggu dirumah sendirian" Tanpa menunggu persutujuan maupun jawaban dari sang anak. Simon langsung meraih kalung tersebut, memasangkan benda peninggalan istri tercintanya pada leher El. El tersenyum melihat lehernya tersemat kalung indah itu lagi, lengannya memeluk erat tubuh besar ayahnya yang kini sama tingginya dengan tinggi tubuhnya. Menggumam terima kasih sebanyak mungkin.
"Sama-sama tuan putri. Sekarang ayo kita pulang ke istana kita. Dan, apa kau lelah tuan putri El? Ingin ayah gendong?" Simon berbalik badan, berjongkok membelakangi El yang masih setia mematri senyumnya. Gadis mungil itu tertawa ringan melihat bagaimana tingkah sang ayah yang sangat menyayanginya seperti Ia menyayangi pria paruh baya itu. Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, El menabrakkan tubuhnya pada punggung sang ayah. Melingkarkan tangan dan kakinya agar Ia tidak terjatuh dari gendongan ayahnya.
"Ayah memang yang terbaik! El sayang ayah" Tutur El ketika Simon mulai melangkahkan kedua tungkainya meninggalkan lapangan. Tak lupa memberi kecupan kecil diatas pipi kanan Simon. Mengundang pria berkepala empat itu untuk terkekeh geli.
"Memang ayah yang terbaik" ujar Simon bangga dibalas gumaman setuju dari El. Selepas pujian singkat, tak ada yang menjadi bahan obrolan antar ayah dan anak itu. Bukan karena mereka kehabisan bahan obrolan atau apa, melainkan keduanya tenggelam dalam lamunan pikiran masing-masing sembari menikmati apa saja yang mereka lihat selama perjalanan pulang. Entah apa yang mereka pikirkan, sampai salah satu diantara mereka kembali bersuara.
"Ayah, tadi sewaktu aku bermain. Ada seorang anak perempuan yang diam saja saat bermain. Dia hanya duduk dibawah pohon, lalu menatap terus kearah kami" El, si anak yang memecah keheningan diantara mereka. Ternyata, semenjak El terdiam. Ia tengah memikirkan salah satu teman barunya yang cukup menarik rasa penasarannya. Sedangkan Simon terhenyak dari lamunannya, begitu El bersuara.
"Apa kau tidak pernah melihatnya sebelumnya El?" Tanya Simon sembari terus melangkah tanpa henti. Tak ada keluhan lelah lolos melewati bibirnya, bahkan raut senang sangat terpancar pada wajahnya sekarang. Sajaknya, menghabiskan waktu bersama anak bungsunya seperti saat ini merupakan hal yang menyenangkan baginya.
Simon menyadari pergerakan kecil yang dilakukan sang anak sewaktu menggelengkan kepalanya, memberitahu bahwa gadis dibelakangnya itu belum pernah melihat anak yang sedang mereka perbincangkan.
"Sama sekali El belum pernah melihatnya Ayah. Ia sangat cantik, tapi mungkin bila Ia tersenyum akan terlihat lebih cantik. Karena sejak Ia tiba dilapangan, wajahnya selalu muram Ayah. Bahkan El sudah mengajaknya berkenalan, tetapi apa Ayah tau yang dilakukannya?? Ia malah meninggalkan El tanpa berkata apapun. Huh bukankah itu sangat menyebalkan?" untaian kalimat panjang terlontar lancar dari bilah delima El, hanya dalam satu tarikan nafas. Membuat Simon harus menahan tawanya agar tidak pecah menertawakan sang anak. Pasalnya, El akan sangat marah jika Ia yang sedang kesal malah ditertawakan. Maka dari itu Simon tak mau El semakin kesal dan memekik sebal didepan telinganya. Oh tidak Simon masih sayang kepada indra pendengarannya, juga pada suara melengking anaknya.
"Sayang bukankah dulu ayah pernah berkata untuk tidak mudah kesal pada seseorang? Apalagi seseorang itu adalah orang yang baru kita kenal. Tidak perduli bagaimana responnya sewaktu kita mengajak mereka berbicara, baik itu respon positif maupun negatif. Kita tidak boleh menyimpan kesal apabila usaha baik kita direspon tidak sesuai keinginan kita, siapa tau memang begitu sikapnya beradaptai dengan orang baru bukan?" Simon berucap bijak, menolehkan wajahnya sedikit demi melihat raut wajah anaknya yang tertekuk. Masih kesal dengan teman barunya tersebut.
Simon berdeham pelan, sebelum menyuarakan lagi isi hatinya. "El kau mendengar ayah bukan?" tanyanya penuh ketegasan. Dibagian belakang sana, El memasoki pipinya dengan udara, membuat pipi gembilnya menggembung layaknya balon udara. Pertanda bahwa Ia tengah merajuk, rupanya gadis belia ini belum mau memaafkan teman baru yang bahkan belum diketahui nama dan asal usulnya itu. Simon menghela nafas sejenak, memahami sikap El yang jauh dari kata dewasa. Jangan anggap pria itu sedang marah terhadap anaknya, tidak. Ia menghela nafas bukan karena itu. Simon menghela nafas karena dirinya merasa kurang dalam mendidik anaknya. Ia hanya ingin kedua putrinya tumbuh menjadi anak-anak yang baik serta disayangi semua orang, menjadi garam dan terang dunia. Lebih tepatnya kedua hal itu yang Ia ingin untuk anak-anaknya.
"El, bukankah kau pernah berjanji pada ayah untuk menjadi anak baik hm? Ayah sedih karena El sudah tidak menuruti perkataan ayah" Suara berbinar kesedihan yang dibuat-buat oleh sang pemilik suara ternyata berhasil melemahkan sifat keras kepala seonggok gadis mungil dalam gendongannya. Dengan penuh penyesalan El bersua,
"Ayah- Ayah maafkan El. El tidak bermaksud menghiraukan nasehat Ayah tadi" Dipeluknya adam yang selama ini merawatnya penuh kasih sayang itu. Membatin dalam hati bahwa Ia akan berusaha menjadi anak baik yang tidak merepotkan ayahnya.
"Nah, itu baru putri ayah yang pintar. Beri ayah 'stampel' perjanjian El?" tutur Simon seraya menyodorkan pipinya pada El. El terkikik senang, ayahnya selalu seperti ini. Mengingat semua hal-hal yang mereka buat atau janjikan, contohnya kecupan sebagai stampel perjanjian ini. Apabila stampel telah diberikan maka artinya Ia dan Ayahnya harus menjalani segala isi perjanjian tersebut. Itu artinya, selepas El mengecup pipi ayahnya. Ia besok harus kembali menyapa teman barunya itu, jika mendapat respon baik maka Ia mengajaknya untuk bertemu dengan Sang ayah. Membuktikan bahwa gadis belia itu tidak ingkar akan janjinya, yaitu menjadi anak baik dan patuh.
CUP!
Sati kecupan telah melekat dipipi Simon, menghasilkan senyum cerah pada masing-masing rupa anak dan ayah itu.
"Anak Ayah yang pintar, sekarang eratkan pelukanmu sayang. Karena kuda tua ini akan membawamu melesat seperti kilat" Simon mengeratkan jepitan lengannya pada kaki El, menjaga agar sang anak tidak terjatuh sewaktu Ia berlari. Tak berbeda pula dengan El, Ia semakin erat melingkari leher serta pinggang ayahnya. Jangan sampai tulang ekornya mencium jalanan yang keras ini. Didetik selanjutnya saat Simon telah memastikan keamanan anaknya, Ia segera melebar serta mempercepat gerak langkahnya. Membuat mereka melaju lebih cepat dari sebelumnya memasuki salah satu gang yang akan menghantar mereka pada istana kecil keluarga bahagia tersebut.
     
 
what is notes.io
 

Notes.io is a web-based application for taking notes. You can take your notes and share with others people. If you like taking long notes, notes.io is designed for you. To date, over 8,000,000,000 notes created and continuing...

With notes.io;

  • * You can take a note from anywhere and any device with internet connection.
  • * You can share the notes in social platforms (YouTube, Facebook, Twitter, instagram etc.).
  • * You can quickly share your contents without website, blog and e-mail.
  • * You don't need to create any Account to share a note. As you wish you can use quick, easy and best shortened notes with sms, websites, e-mail, or messaging services (WhatsApp, iMessage, Telegram, Signal).
  • * Notes.io has fabulous infrastructure design for a short link and allows you to share the note as an easy and understandable link.

Fast: Notes.io is built for speed and performance. You can take a notes quickly and browse your archive.

Easy: Notes.io doesn’t require installation. Just write and share note!

Short: Notes.io’s url just 8 character. You’ll get shorten link of your note when you want to share. (Ex: notes.io/q )

Free: Notes.io works for 12 years and has been free since the day it was started.


You immediately create your first note and start sharing with the ones you wish. If you want to contact us, you can use the following communication channels;


Email: [email protected]

Twitter: http://twitter.com/notesio

Instagram: http://instagram.com/notes.io

Facebook: http://facebook.com/notesio



Regards;
Notes.io Team

     
 
Shortened Note Link
 
 
Looding Image
 
     
 
Long File
 
 

For written notes was greater than 18KB Unable to shorten.

To be smaller than 18KB, please organize your notes, or sign in.