Notes

Mengenalmu, seperti menatap matahari keluar dari peraduannya. Mengganti gelap dengan terang, mempersembahkan kemolekan semburat warna dalam spektrum kuning-jingga yang sejenak bercampur indigo.
Cantik, memesona pula. Setelah proses itu berakhir, hari pun dimulai. Riuh rendah manusia memenuhi bumi. Cerah. Sepertimu.

Mengenalmu, seperti berjalan di tepian pantai. Tempat bertemunya lautan dengan daratan, yang sering diromantisasi anak adam.
Hati serasa turut lapang, menatap pepasir dan segara yang seolah tanpa batas. Butiran pasir membubuh raga yang telah setengah basah oleh percikan air asin. Beriring tawa yang tergelak.
Perih kulit yang terbakar tak akan mengalahkan rasa dalam langkah yang menjejak di pasir basah. Bebas, lepas, kata mereka. Sepertimu.

Mengenalmu, seperti mengembara di rimbun hutan. Beratap kanopi rapat hingga cercah sinar mentari hanya hadir dalam garis-garis tipis.
Tenang, terlampau tenang. Dari kejauhan terdengar bebunyian yang dicipta para penghuni belantara. Terkadang geraman karnivora, terkadang nyanyian kawanan burung. Damai, meski mengesankan kehati-hatian. Sepertimu.

Mengenalmu, seperti menari dalam hujan. Tidak banyak yang memahami sensasi hujaman air langit pada tubuh yang terbalut pakaian lengkap.
Mereka yang cukup berani menembus hujan dan menari di tengahnya, umumnya membaur tangis serta tawa; aman tersembunyi dalam riuhnya hasil kondensasi yang ditumpahkan langit. Tak tertebak. Sepertimu.

Mengenalmu, seperti mempelajari lagu lama pada gitar akustik. Penikmatnya telah mendengar nada yang sama, namun ingin dapat mendentingnya sendiri.
Mudah? Tentu saja. Rasanya seperti pulang ke rumah. Melodi yang ringan dan sederhana, tapi mampu menghangatkan setiap hati yang mendengarnya. Nyaman, familiar. Sepertimu.