Notes

Seorang pemuda pirang dengan dasi Ravenclaw menduduki kursi kosong di sebelah gadis Gryffindor; Biru. Buku-bukunya berdebam riuh di atas meja, membuat keempat kawan semejanya menoleh. Dave menunjukkan cengiran khasnya sebagai penjelasan.

Eddart menghela napas sambil memutar bola mata. Murid Hufflepuff itu seolah sudah hafal kelakuan Dave, meski sepercik khawatir masih terpancar dari sorot matanya. Keheningan kembali melingkupi meja di sebuah sudut perpustakaan Hogwarts; lima remaja di meja itu kembali menenggelamkan diri dalam buku masing-masing.

Pekan ujian akan berlangsung dalam 3 hari, menjadikan sebagian besar murid sekolah sihir tertua di Britania Raya itu sibuk mengejar ketertinggalan materi. Tak terkecuali lingkaran kecil pertemanan Dave, yang kini memelototi halaman demi halaman bendel pelajaran.

"Dave." Biru menyikut si pirang, meminta atensinya.

"Mm?"

Sambil melekatkan sebuah post-it kuning, si empunya nama menoleh pada gadis di sebelahnya. Biru tengah mempelajari Herbologi—tentu saja.

"Materi yang itu memang bersentuhan dengan sastra muggle," ujarnya.

Conor, pemuda berdasi hijau-perak, mengangkat kepalanya dari buku yang sejak tadi ditekuri.

"Bagaimana?"

Kini Dave dikelilingi dua murid Slytherin, Conor dan Alea, yang memandang ingin tau. Kelima bersahabat itu memang keturunan penyihir berdarah-murni. Hanya Dave saja yang menghabiskan masa kecilnya di dunia muggle. Karena itu, dia memiliki cukup pengetahuan tentang hal yang berbau non-sihir. Sementara itu, Eddart terlihat tidak tertarik; dia masih berkutat dengan buku Arithmancy.

Dengan bantuan buku dan catatan yang ditulisnya sekitar minggu lalu, Dave menjelaskan ulang mengenai materi Herbologi itu. Raut Biru bertransisi dari bingung menjadi cerah.

Senyum kecil terlengkung di bibir si pemuda pirang; senang karena bisa membantu teman-temannya, meski tak akan pernah diakuinya.

"Dave," panggil Eddart. "Aku tidak paham yang ini."

Sementara kedua pemuda itu mengkaji ulang materi Arithmancy, tiga yang lain mulai mempelajari Pemeliharaan Satwa Gaib. Kelimanya memang mengambil mata pelajaran pilihan yang berbeda, meski pada akhirnya selalu saling belajar.

"Otakku rasanya akan meledak."

Celetuk yang bersumber dari Conor membuat empat yang lain terkekeh. Sudah hampir dua jam mereka mempelajari berbagai materi; mungkin sudah saatnya beristirahat.

"Ayo ke dapur. Ku tunjukkan cara mendapat cemilan di luar jam makan." Eddart menunjukkan cengiran.

Oh, siapa yang bisa menolak ajakan Hufflepuff yang baik hati, kan? Sebuah keberuntungan bagi mereka yang berasrama di sebelah dapur. Terlebih lagi, bagi mereka yang bersahabat dengannya.