Notes

—Belum ada judul.—

Kebahagiaan memiliki makna yang berbeda bagi setiap orang. Kebahagiaan bisa berarti kita menyenangkan hati orang lain, atau ketika orang lain menyenangkan hati kita.

Begitu pula untuk Kiandra, namun baginya kebahagiaan berarti berjuang melawan kesakitan demi menunjukkan arti ketegaran pada seseorang yang dicintainya.

***

Bau mint maskulin menyapa indera penciumannya seiring dengan kelopak mata yang perlahan terbuka. Otot-otot jantung memompa lebih cepat dari biasanya, membuat pembuluh darah di area wajah sang dara melebar, hingga rona merah kini menghiasi pipinya.

Gadis itu bimbang, entah harus mengutuk keadaan ini atau berterima kasih kepada Tuhan. Berada di sisi lelaki itu membuat hatinya menghangat, seperti hangatnya punggung yang saat ini menjadi sandaran bagi Kiandra.

Ya, gadis satu-satunya dari keluarga Brown itu bernama Kiandra. Si bungsu yang sedang diam-diam menikmati ciptaan Tuhan yang paling indah. Walau mengamati dari belakang, maniknya sama sekali tidak teralih dari objek yang sejak tadi menjadi tujunya.

Ia mengulas senyum lalu mengeratkan pelukan. Terdengar helaan napas diseberang sana. Sudut bibir gadis itu semakin terangkat. Ia pun semakin menelusupkan kepalanya pada punggung ternyaman itu.

"Kau sudah bangunn, hm?" Suara berat khas lelaki itu bagaikan nyanyian terindah yang pernah ia dengar di dunia.

Sebuah gumam pelan menjadi jawaban atas pertanyaan sang adam.

"Apa masih pusing?" Lagi-lagi hanya sebuah gumam kecil lah yang menjadi jawaban.

"Ah–pasti masih pusing, bertahanlah sebentar lagi kita sampai di rumah." Liquid bening meluncur dari ujung mata  gadis itu. Ada perasaan tidak rela jika ini cepat berakhir.

‘Tolong berjalan lebih pelan lagi,’ batinnya.

Perlahan ia menyeka liquid bening itu.

"Kak...Kian berat ya?" Ada seperti getaran pada suaranya.

Langkah sang adam kini memelan, bahkan berhenti di detik berikutnya.
Seperti tersadar bahwa terjadi sesuatu pada adiknya. Devandra berbalik menatap manik kecoklatan yang kini nampak berkaca dihiasi cairan bening yang sedikit membasahi.

"Kenapa?" Devandra menurunkan Si Bungsu yang sejak tadi digendongnya. Berbalik lalu mendaratkan kedua telapak tangannya pada bahu gadis nomor dua setelah sang ibunda.

Tanpa berkata apapun, Kiandra menghambur dipelukan sang Adam. Merasakan tubuh hangat seorang Kakak. Seakan ini adalah pelukan terakhir, tak ada hari esok. Ingin rasanya mencurahkan semuanya. Menguluarkan sesuatu yang memenuhi benaknya.

Tangan Devandra menyentuh surai kecoklatan itu, sebisa mungkin memberikan rasa nyaman pada Adiknya.

Sialnya, Kiandra semakin mengeluarkan tangisannya. Mengundang tatapan heran dari orang yang berlalu-lalang disekitar kedua insan itu.

"Hey..ada apa?" Suara berat itu membuat Kiandra mengangkat kepalanya hingga kedua pasang manik itu bertemu.

Gadis itu menyeka air mata sebelum mulai mengucapkan sesuatu dari mulut kecilnya.
"Aku hanya sedih, sebentar lagi kakak akan pergi." Ia menunduk sejenak sekedar menyeka air matanya kembali.

"Selamat atas pertunangan—." Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Kiandra kembali masuk kedalam pelukan erat Kakaknya.

"Walaupun aku pergi, kau kan selalu menjadi adikku."

Kiandra terdiam, mencerna kata demi kata yang diucapkan sang adam.
"Iya, apapun yang terjadi, aku akan selalu menjadi adikmu."

***

Kuncup bunga plum mulai bermekaran di ranting-ranting pohon plum. Bunganya yang berwarna merah muda bercampur dengan putih terlihat indah berpadu-padan dengan batangnya yang berwarna kecoklatan. Wangi bunganya semerbak, terbawa oleh angina yang menggoyang-goyangkan bunga berujung bundar tersebut. Membawa terbang serbuk sari menuju pasangannya.

Seakan ikut bersuka-cita atas sebuah upacara pernikahan yang sedang berlangsung di sana.

— End.