Notes

Cantik, dan pintar. Serta dihormati oleh banyak orang. Siapa yg tak ingin? Ya, mungkin itu pandangan orang-orang terhadap seorang Koizumi Mariko. Seorang gadis 25 tahun yang kini sudah menjabat menjadi salah satu patologi terkenal. Risetnya banyak diacungi jempol. Bahkan oleh senior-seniornya. Terlebih di usianya yang terbilang 'matang', ia sudah diminta pihak kepolisian untuk membantu menyelidiki mayat dari kasus pembunuhan.

Malam itu, sebuah undangan masuk kedalam kotak suratnya. Dari teman lamanya. Perihal reuni sekolah. Sebuah senyum tipis ditampakkan gadis itu. Teringat akan kenangan manis masa lalu. Tentu saja ia akan hadir. Ia rindu dengan teman-temannya.

Ia mengukir senyum sembari membaca rentetan kata demi kata di sana. Tak sabar. Mungkin itu kata yang tepat untuk seorang Koizumi Mariko yang tampak menunggu-nunggu hari itu datang.


[ 20 Juni 20xx ; 07.00 PM ]
Disebuah dress room, tampak seorang gadis tengah mematut dirinya disebuah cermin. Gadis itu tampak lebih cantik dengan riasan yang menempel pada wajahnya. Dengan lipstick berwarna merah maroon, gadis itu menyelaraskannya dengan dress miliknya, sebuah dress berwarna merah maroon setengah lengan yang panjangnya hingga menutupi pergelangan kakinya, dan bagian punggungnya terbuka sehingga menampilkan punggung mulusnya. Rambutnya ia sanggul- bantuan dari tukang salon tentunya. Anak-anak rambutnya ia biarkan tergerai. Penampilannya tampak elegant malam ini.
Setekah dirasanya penampilannya sudah cukup oke, gadis yang ternyata bernama Mariko itu tak lupa mengambil botol parfumnya dan menyemprotnya pada leher, baju, serta pergelangan tangan. Tas kecil berwarna cream ia ambil, sekaligus dengan kunci mobil. Kakinya terbalut sepasang high heels berwarna senada dengan dressnya. Kini ia siap untuk pergi.

Mariko, telah sampai di sebuah hotel. Salah satu hotel bintang lima di Tokyo, jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Mariko memakirkan mobilnya, lalu turun dari sana. Berjalan masuk ke dalam hotel, ke tempat dimana reuni di adakan. Ya, walau telat sekitar 50 menit. Tak apalah. Lebih baik telat dari pada tidak sama sekali. Bukan begitu?

“Hei, Mariko-chan!” Sebuah suara berhasil ditangkap oleh indera pendengaran sang gadis. Ia pun menoleh sambil tersenyum saat tahu siapa yang memanggilnya.
“Hei, Yumiko. Kau datang rupanya,” Mariko membuka percakapan.tak lupa menampilkan senyum menawannya.
“Tentu saja aku datang! Aku sudah menunggu saat-saat ini tahu. Ohya, kau apa kabar?”
“Baik sekali~ kau?” Keduanya terus mengobrol sembari berjalan menuju meja tamu, hendak duduk.
“Baik! Apa pekerjaanmu sekarang? Kudengar kau sudah jadi seorang Patologi ya~?” Yumiko berujar sambil mencoba menggoda Mariko.
“Ya, begitulah kira-kira,” Mariko menanggapinya dengan senyuman.
“Wah, sudah tampaknya orang-orang sudah semakin banyak yang datang?” Seorang MC mulai melakukan tugasnya. Seruan MC itu ditanggapi dengan antusias oleh orang-orang dalam ruangan.
“Hm- baiklah. Bagaimana jika kita berdansa?” Pertanyaan MC sontak disambut dengan girang.

Tiba-tiba lagu So Close milik Jon Mclaughlin terputar. Beberapa pasangan sudah berhambur menuju lantai dansa. Lagu bertempo lambat hingga sedang itu terputar dengan indah, membuat beberapa pasangan bergerak maju, mundur, mengikuti irangan music.

Mariko hanya duduk diam memperhatikan teman-temannya yang tengah berdansa. Yumiko sudah pergi berdansa dengan pacarnya. Tinggalah ia sendiri, duduk diam sambil meneguk segelas champagne.
“Hey, Mariko.” Suara seorang pria menyapa gendang telinganya. Ia menengok dan tersenyum kecil.
“Hai, Hideki. Bagaimana kabarmu?”
“Begitulah. Kau?”
“Seperti yang kau lihat. Aku tampak sangat baik.”
Sesaat lagu berganti menjadi Uptown Funk milik Mark Ronson ft Bruno Mars. Semua yang ada di lantai dansa mulai berlenggak-lenggok mengikuti alur music.
“Tolong!” Teriakan meminta tolong terdengar di aula ini. Yang lain tampak tidak mendengar karena sudah hanyut dalam suasana masing-masing.
Hideki dan Mariko yang mendengar itu akhirnya mendekat kea rah suara. Disana terdapat seorang pria, yang sudah tumbang di lantaidengan keadaan mulutnya mengeluarkan busa. Semua kaget akan apa yang mereka lihat.
“Cepat telfon ambulans!” Seseorang berseru membuat mereka panic dan segera menelpon ambulans.
“Bagaimana bisa Shu bisa begitu? Apa yang ia konsumsi?” Mariko bertanya pada siapapun yang mendengarnya. Pasalnya mulut pria bernama Shu itu berbusa. Ada kemungkinan jika ia keracunan. Tapi, kenapa bisa disaat reuni seperti ini?

Ambulans pun datang, dan segera mengangkat Shu untuk diangkut masuk ke dalam ambulans. Mariko yang merasa bertanggung jawab- karena ia seorang Patolog. Akhirnya mengikuti mereka. Mereka yang berada di dalam ruangan itu, takmenyadari jika ada seseorang yang tengah tersenyum menyeringai.
‘Mari kita mulai.’ Batin orang itu.

***