NotesWhat is notes.io?

Notes brand slogan

Notes - notes.io

25 Desember 2006

"Ibu! Lihat aku menemukan seeokor kucing mati! Hihi," Seorang gadis menghampiri ibunya yang tengah duduk di taman. Ia tampak kegirangan sambil menunjukkan anak kucing yang bersimbah darah dan sudah tak bernyawa.

Ibunya hanya menatap anaknya dengan cemas. Bagaimana bisa anaknya itu tampak girang saat mendapati seekor anak kucing yang mati? Bukankah seharusnya anaknya itu bersedih? Ia gelisah.

"Gwen, mari kita kubur anak kucing itu bersama," Sang ibu mengarahkan pada putri kecilnya, Gwen.

"Kubur? Kenapa? Aku lebih suka jika anak kucing ini ada di salah satu lemari koleksi barbieku! Itu akan tampak lucu, hihi," Ia kembali terkekeh senang.

"Tidak sayang. Kucing ini makhluk hidup, sama seperti kita. Makhluk hidup yang sudah mati, wajib kita kuburkan," Sang ibu mencoba menjelaskan.

"Kenapa?"

"Agar anak kucing ini bisa beristirahat dengan tenang, dan bisa bertemu dengan keluarganya yang lain yang sudah meninggal," Gwen hanya mengangguk mengerti saat ibunya selesai menjelaskan.

"Mari kita pulang, kita harus bersiap untuk acara natal nanti malam,"


***

"Hentikan! Berhenti mengangguku!" Jeritan seorang gadis kecil terdengar di sebuah ruangan kelas.

"Hahaha! Dasar cengeng! Makanya jangan jadi sok jagoan!"

"Dasar Gwen sok jagoan!"

"Gwen sok pintar!"

"Gwen jelek!"

"Pindah sekolah saja kau!"

"Tukang mengadu!"

Berbagai cacian terdengar dari anak-anak sebaya dengan Gwen. Gwen tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menangis. Entah apa salahnya melaporkan kelakuan teman-temannya yang suka menganggunya itu pada guru? Oh menurut mereka itu salah, karena mereka mendapat hukuman. Bukankah seharusnya mereka menyesal dan menghentikan perbuatan mereka?

"Anak-anak, hentikan!" Suara berat seorang wanita terdengar di ruang kelas itu. Membuat kelima anak yang mengganggu Gwen berhenti.

"Regina, Cheryl, Maggie, Anna, Zoe! Kalian tidak puas dengan hukuman yang aku berikan?" Wanita yang ternyata merupakan guru itu melotot ke arah kelima anak yang tadinya menganggu Gwen. Menurutnya itu sudah sangat keterlaluan untuk batasan seorang anak berumur enam tahun. Dari mana mereka belajar membully orang lain?

Kelimanya hanya menunduk terdiam. Tidak berani menjawab. Mereka takut akan terkena hukuman lagi.

"Cepat minta maaf pada Gwen. Sekarang." Pernyataan sang guru membuat kelimanya menatap wanita itu.

Sempat ragu, namun satu persatu mulai mengucapkan kata maaf pada Gwen. Gwen hanya tersenyum membalasnya.

Setelah bermaafan selesai, sang guru langsung menyuruh mereka untuk kembali ke tempat duduk masing-masing, karena pembelajaran akan segera dimulai.

"Baiklah, jadi siapa disini yang sudah punya cita-cita?" Tanya sang guru. Serempak hampir seluruh murid di dalam kelas mengacungkan tangan, terkecuali Gwen.

Sang gurupun menghampirinya, "Loh, Gwen belum punya cita-cita?" Sang anak menggeleng takut.

"Gwen tidak tahu harus jadi apa nanti,"


"Hmm.. Kalau begitu, apa yang ingin Gwen lakukan ketika besar nanti?"

Gwen tampak berpikirk, "Gwen ingin... Melihat darah,"

Sang guru yang mulanya tersenyum, kini mulai memudarkan senyumnya.

"D-darah? Ah, Gwen mau jadi dokter?" Sang anak hanya menatap gurunya itu lamat, lalu menganggukan kepalanya. Walaupun ia tidak tahu persis, apa pekerjaan yang dilakukan oleh dokter. Tapi kini ia bertekad untuk menjadi dokter. Ya, hanya untuk melihat darah.


***

25 Juli 20xx

"Gwen Simons!" Suara berat dari mikrofon menyambut setiap gendang telinga yang ada di aula tertutup itu.

Gwen yang mendengar namanya pun langsung tersenyum senang dan berjalan menuju panggung untuk penerimaan penghargaan. Ya, hari ini adalah acara wisuda, kelulusannya dari fakultas kedokteran. Impiannya sejak kecil, menjadi dokter. Sebentar lagi ia akan menggapai mimpi itu. Ya, sebentar lagi.


[ Rumah Sakit ... ]

"Akhirnya kau resmi jadi seorang Patalogis! Selamat!"

Berbagai ucapan selamat Gwen terima, kala ia berhasil mencapai tujuannya. Ya, walau agak melenceng dari tujuan awalnya, dokter bedah. Tapi tak apa. Ia cukup puas dengan apa yang ia terima saat ini.

"Gwen?" Suara seorang gadis menyapa pendengaran Gwen, membuat ia menoleh ke asal suara.

Keningnya berkerut bingung. Ia tidak mengingat kelima gadis yang tampaknya mengenal dirinya ini. Siapa mereka? Benaknya bertanya-tanya.

"Ini aku, Regina. Dan ini Maggie, Zoe, Anna dan juga Cheryl. Kau masih ingat?" Suara yang merupakan milik Regina itu berujar. Kerutan di dahi Gwen mulai menghilang dan tergantikan dengan senyuman. Sepertinya dia ingat.

"Ah iya. Kalian yang dulu suka membully-ku 'kan? Apa kabar?" Gwen tersenyum. Rupanya mereka masih hidup, kukira sudah mati jatuh dari jurang atau overdosis. Batin Gwen bersua.

Kelimanya tertawa hambar mendengar ucapan Gwen.

"Kami baik. Kau apa kabar?"

Mereka mulai larut dalam obrolan, seolah lupa akan masa lalu kecil mereka. Ya mereka berpikir, itu hanya ulah anak kecil yang belum bisa mengerti apa-apa. Jadi, ya, mari lupakan saja.

"Kalau begitu kami pulang dulu. Kapan-kapan, mari kita bertemu," Mereka pun bertukar nomer ponsel untuk bisa selalu berhubungan dalam jangka panjang.


***

25 Desember 20xx

Malam natal tiba. Cuaca begitu dingin, salju turun dengan sangat tebal, membuat beberapa anak adam dan hawa harus memakai baju yang cukup tebal saat hendak keluar dari rumah agar selalu hangat.

Disinilah seorang hawa, tampak menunggu seseorang- ah tidak. Beberapa orang untuk datang. Gwen duduk di meja yang tersedia untuk enam orang itu dengan tidak sabaran.

Ya, ia mempunyai janji dengan 'teman' masa kecilnya, Regina, Cheryl, Zoe, Anna dan Maggie. Mereka berpikir, hari natal adalah waktu yang tepat untuk bertemu dengan kerabat. Ya walaupun dalam beberapa bulan terakhir, mereka sempat bertemu dan bertukar sapa. Tapi, beda suasanannya jika sedang natal. Buka  begitu?

"Ah maaf Gwen. Jalanan licin dan aku harus ekstra hati-hati membawa mobilku," Maggie mengucapkan rasa penyesalannya. Gwen hanya tersenyum menanggapi.

Satu persatu 'teman-temannya' datang. Mereka mulai memesan dan memakan hidangan natal mereka dengan lahap. Beberapa obrolan pun terjadi diantara keenam gadis itu. Siapa yang menyangka jika dulunya mereka adalah korban dan tersangka dari kasus pembully-an di sekolah?

"Hey Gwen, apa kau masih suka melihat darah?" Sebuah pertanyaan muncul dari gadis bernama Anna. Tak lupa kekehan ia berikan. Bermaksud untuk bercanda.

"Tidak,"

"Lalu apa yang kau suka?" Giliran Zoe bertanya.

"Mungkin lelaki-lelaki tampan dan seksi, hahaha," Regina menimpali pertanyaan Zoe. Mereka tertawa menanggapi. Gwen? Ia hanya tersenyum.

Waktu mulai berjalan, kini jam tengah menunjukkan angka 12.45 dini hari, membuat keenamnya memutuskan untuk pulang. Malam ini mereka sepakat untuk menginap di apartemen milik Regina. Karena besok masih libur, dan kadang juga kan mereka bisa berkumpul begini?

Mereka memutuskan untuk menggunakan mobil milik Regina, Gwen yang mengambil alih bagian menyetir.

25 menit mereka tempuh untuk menuju apartemen Regina. Dan disinilah mereka, kamar apartemen milik Regina.

Keenamnya menghempaskan bokong masing-masing di kasur dan juga sofa. Mencoba melepaskan kepenatan akibat terlalu lama berada di mobil. Padahal hanya sebentar.

Gwen berjalan menuju toilet.

"Darah ... Hahahahaha," Ia tertawa kencang. Membuat kelima gadis yang ada di luar mengernyitkan dahi bingung.

Rasa ingin membunuh timbul di benak Gwen. Ia ingin membunuh. Ingin melihat darah.

Darah Regina.

Darah Maggie.

Darah Zoe.

Darah Anna.

Darah Cheryl.

Ugh. Pasti akan harum sekali. Dan manis.

Tapi, ini terlalu beresiko. Untuk membunuh mereka dalam keadaan sadar. Ia sadar jika ia kalah jumlah. Oleh karena itu, ia harus melakukan hal lain terlebih dahulu.

"Hey, minumlah vitamin ini. Ini sangat bagus untuk kebugaran kita. Ayo kita begadang malam ini," Gwen berujar sambil menggoyang botol yang berisi 'vitamin'. Kelimanya mengagguk setuju dan langsung menerima tawaran Gwen.

Satu persatu mulai meminum vitamin yang Gwen berikan- oh tidak. Itu bukan vitamin. Itu obat bius.

Gwen duduk di sofa, sambil menyaksikan 'teman-temannya' tumbang satu-persatu.

"Mari kita mulai. Fufufufu~"

***

Kelimanya terikat. Terikat dengan kuat. Satunya terikat terlentang di atas kasur. Yang lainnya terikat di tempat yang terpisah. Ia tidak mau menaruh mereka di satu tempat. Bisa-bisa mereka akan lolos. Cukup pintar.

Tebak siapa pelakunya?

Ya.

Gwen.

Hahahaha.

"Oh, sudah bangun rupanya, eh, Maggie?" Gwen sudah memakai sebuah hoodie, celana panjang, berwarna hitam. Rupanya ia menunggu saat-saat ini.

"G-gwen?"

"Ya? Kenapa memanggilku, Maggie sayang?"

"Kenapa aku diikat?"

"Hmm.. Kenapa ya? Ayo tebak kenapa?"

"Gwen! Lepaskan! Jangan bodoh!" Suara Maggie mulai mengeras. Gwen menoleh kebelakang saat beberapa suara mulai terdengar, walau tidak jelas. Ya, karena Gwen sudah mengikat kain pada mulut masing-masing dari mereka. Gwen tidak ingin aksinya diketahui siapapun. Ia tidak ingin berbagi keseruan. Ia hanya kngin sendiri. Menikmati indahnya darah.

"Ouch Maggie, ucapanmu menyakiti hatiku," Gwen memasang tampang seolah-olah ia bersedih.

"Brengsek! Kau jangan main-main!"

"Hey hey, calm down. Aku tidak akan menyakitimu. Ya, jika kau berisik, itu sebuah pengecualian."

"Brengsek kau! Lepaskan!"

"Hoam. Lepas saja sendiri kalau biasa," Gwen menyaksikan Maggie yang berusaha melepaskan diri.

"Susah kan? Makanya diam! Seenaknya saja kau mengataiku bodoh. Apa kau pandai, hah? Lihat aku! Aku sudah menjadi seorang Patologis yang terkenal! Semua orang mengenal aku. Karena aku pandai, bukan bodoh! Hahahaha,"

Gwen menangkup kedua pipi Maggie, "Jaga ucapanmu jalang. Aku ini jauh lebih baik dari pada kau," Gwen mulai mengeluarkan sebuah pisau silver, tampak mengkilap. Membuat siapa saja yang melihatnya hendak tertikam oleh ketajaman pisau ini.

"Regina, maaf. Aku pinjam pisaumu," Ia tersenyum ke arah Regina.

"Nah sekarang, kita mulai dari sini," Gwen mulai menggoreskan pisau itu pada pipi kiri Maggie. Membuatnya mengeluarkan darah.

"Darah, hahaha!" Gwen tersenyum senang melihat darah yang menetes dari pipi kiri Maggie.

"Bukankah kau sudah tidak suka m-melihat darah?" Maggie bertanya takut-takut. Gwen tampak berpikir.

"Hmm.. Aku memang sudah tidak suka melihat darah. Tapi..." Gwen mendekatkan bibirnya ke arah telinga Maggie. Bermaksud untuk berbisik.

"Tapi aku suka menjilat darah. Manis." Gwen lalu mulai menjilati darah yang menetes dari pipi Maggie. Membuatnya hilang tak bersisa. Tapi ia belum puas. Ia ingin lebih.

"Tadi kalian bertanya apa yang kusuka? Kalian ingin tahu?" Gwen mulai menyayat pipi Maggie hingga daging dari pipinya keluar, dan darah kembali menetes. Maggie hanya menjerit kesakitan.

"Aku suka ... Darah, jeritan, dan kematian." Sesaat kemudian Gwen menusuk dada Magie. Menusuk tepat di arah jantungnya lalu ia menggoyang-goyangkan pisaunya. Mencoba agar lebih dalam lagi. Maggie berteriak kesakitan. Keempat temannua lain hanya menjerit takut. Entah apa yang akan terjadi pada mereka selanjutnya. Tapi satu yang pasti. Mereka, akan mati malam ini.

Gwen mencabut pisau yang tadinya menancap pada jantung Maggie, ia mulai membedah dada Maggie. Oh Maggie yang malang, ia telah tewas sekarang.

"Wah, jantung. Sudah lama aku tidak melihatnya," Gwen berujar. Ya, ia pernah diikutkan dalam dalah satu operasi pencakokan jantung beberapa bulan lalu, walaupun ia bukan merupakan dokter ahli jantung. Tapi, siapa yang meragukan kepintaran Gwen? Tidak ada.

Gwen menatap jantung yang sudah tidak berdetak itu dengan senang. Gwen mengeluarkan jantung itu dari tempatnya, lalu mulai menusukkan pisau tadi ke atasnya, dan mulai menggoyak-goyakan isinya.
     
 
what is notes.io
 

Notes.io is a web-based application for taking notes. You can take your notes and share with others people. If you like taking long notes, notes.io is designed for you. To date, over 8,000,000,000 notes created and continuing...

With notes.io;

  • * You can take a note from anywhere and any device with internet connection.
  • * You can share the notes in social platforms (YouTube, Facebook, Twitter, instagram etc.).
  • * You can quickly share your contents without website, blog and e-mail.
  • * You don't need to create any Account to share a note. As you wish you can use quick, easy and best shortened notes with sms, websites, e-mail, or messaging services (WhatsApp, iMessage, Telegram, Signal).
  • * Notes.io has fabulous infrastructure design for a short link and allows you to share the note as an easy and understandable link.

Fast: Notes.io is built for speed and performance. You can take a notes quickly and browse your archive.

Easy: Notes.io doesn’t require installation. Just write and share note!

Short: Notes.io’s url just 8 character. You’ll get shorten link of your note when you want to share. (Ex: notes.io/q )

Free: Notes.io works for 12 years and has been free since the day it was started.


You immediately create your first note and start sharing with the ones you wish. If you want to contact us, you can use the following communication channels;


Email: [email protected]

Twitter: http://twitter.com/notesio

Instagram: http://instagram.com/notes.io

Facebook: http://facebook.com/notesio



Regards;
Notes.io Team

     
 
Shortened Note Link
 
 
Looding Image
 
     
 
Long File
 
 

For written notes was greater than 18KB Unable to shorten.

To be smaller than 18KB, please organize your notes, or sign in.