Notes

“Tidak.”
Satu kata itu meluncur dari bibir merah muda Nicole Rowan, seorang gadis dengan blazer biru terang yang tengah menyedekapkan kedua tangannya di depan dada. Kedua alisnya bertaut, menunjukkan mimik wajah tak suka.
“Ayolah, Nicole. Coba sekali saja. Tidak akan ada yang tahu soal ini, percaya padaku. Kita aman.” Di sisi lain, seorang gadis berambut pendek dengan wajah lebih santai tengah membujuknya. Kedua tangannya didekatkan, terlihat seperti seseorang yang tengah memohon.
“Tidak bisa, Jul. Kau tahu, risikonya besar sekali. Jika kepala sekolah sampai tahu hal ini… kita bisa didetensi. Bahkan dipermalukan di depan khalayak!” Masih kokoh dengan pendiriannya, Nicole menggeleng tegas.
Julianne Bliss memasang wajah memelas. Berharap sahabat yang sudah dikenalnya semenjak menginjakkan kaki di sekolah ini mau bekerja sama dengannya.
Selama bermenit-menit tadi, hanya satu hal yang dibicarakan mereka; penggunaan sihir yang melampaui batas level mereka sendiri.
Julie, yang baru saja menginjak level empat, ingin menggunakan oculto—mantra sihir di sekolah ini—yang dikhususkan untuk siswa level lima. Sementara Nicole menolak keras. Mereka baru saja naik ke level empat, masih banyak hal yang perlu dipelajari. Namun Julie justru ingin melangkahi batas. Dalam otak seseorang dengan logika tinggi semacam Nicole, tidak mungkin dia membiarkan hal itu terjadi.
“Sudah kubilang, Jul. Itu juga bisa membahayakan keselamatan kita,” Nicole mendesah jengah, berusaha menekan kemauan sahabatnya yang dia anggap gila ini.
Julie menaikkan sebelah alisnya. Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas. Pelan, ia menggumamkan sebuah mantra oculto, “Humano-manigua.”
Jari telunjuknya naik, sementara suara pekikan terdengar dari balik punggung Nicole. Refleks gadis berkacamata itu berbalik. Kedua netranya yang biru terbelalak tatkala melihat seorang gadis naik begitu saja sambil berteriak meminta pertolongan.
“Julie! Hentikan!” Nicole segera menepis tangan Julie. Seketika itu juga, sang gadis yang menjadi ‘korban’ kenakalan Julie kembali turun menyentuh tanah. Napasnya tampak terengah, seakan-akan semua energinya terserap begitu saja.
Julie terkekeh, merasa puas akan atraksinya. “Sudah kubilang, Nicole, aku ini pintar. Tidak masalah jika kau tak mau bergabung denganku… tapi jangan heran jika suatu saat kau akan bernasib sepertinya.”
Bagai petir yang menyambar di kala siang hari yang cerah, Nicole Rowan merasa sahabatnya sudah berubah 180 derajat. Tubuhnya hanya dapat mematung saat melihat figur Julianne Bliss berlalu dari lorong lantai dua, meninggalkannya dengan penuh pertanyaan di sana.
“Julie…. Apa yang kau inginkan dengan semua itu?” gumamnya dengan perasaan gundah.