Notes

I

“Ashadualla ilahailallah wa Ashaduanna Muhammad rosulullah”. Itulah kata yang ku ucapkan didepan seorang Ustadz dan didalam sebuah Masjid ini. Aku, yang sekarang telah sah menjadi seorang Muslim merasakan kedamaian didalam diri setelah mengucapkan kalimat tersebut, aku merasa seperti disinilah seharusnya aku berdiri, di jalan inilah seharusnya aku berjalan, dan di agama inilah seharusnya aku berada. Selama 30 tahun aku hidup didunia ini, aku telah melewati berbagai pengalaman yang cukup menarik, aku sudah pernah menganut lebih dari 5 agama, memang itu terdengar sangat rumit, bagaimana seorang manusia fana bergonta-ganti kepercayaan. Sebagian dari kalian yang membaca ini pasti akan menganggap ku gila, tapi seperti itulah kehidupan ku, ini semua terjadi belasan tahun yang lalu…
Namaku Thomas Jaeger, aku merupakan seorang berketurunan Jerman, ibuku asli Indonesia sedangkan ayahku berasal dari Jerman. Aku dilahirkan di sebuah keluarga yang sepenuhnya tidak percaya dengan “Tuhan”, atau yang biasa disebut Atheis. Kami sekeluarga percaya bahwa alam semesta ini terjadi secara alami, tanpa adanya campur tangan Tuhan. “Apa itu Tuhan? Apakah Tuhan itu ‘Sesuatu’, atau ‘Seseorang’? Apakah dia seorang Pria atau Wanita? Mengapa orang-orang Islam menyembah Tuhan yang sama sekali tidak terlihat? Mengapa orang-orang Kristen menyembah seseorang yang tertancap di sebuah salib?” Pertanyaan tersebut selalu melewati pikiranku setiap kali aku mendengar orang berbicara tentang keagamaan.
Sejak kecil aku sudah diajarkan oleh kedua orangtua ku untuk tidak mempercayai Tuhan, memang kedua orangtua ku adalah ilmuwan yang sangat tergila-gila dengan Sains, mereka selalu mengatakan bahwa Tuhan itu hanyalah ucapan untuk orang-orang yang mudah putus asa, “apa yang menyebabkan terjadinya gempa bumi, gunung meletus dan tsunami?” orang-orang yang percaya dengan Tuhan akan dengan gampang dan mudah untuk mengatakan “karena Tuhan menghendakinya”. Itulah mengapa kedua orangtua ku membenci orang-orang yang percaya dengan Tuhan, sebagian besar dari mereka tidak pernah mencoba untuk mencari tahu apa yang menyebabkan terjadinya hal-hal tersebut, berbeda dengan ilmuwan-ilmuwan Atheis seperti kedua orangtua ku, mereka akan berusaha mencari tahu apa penyebab hal-hal tersebut tanpa harus mengatakan adanya campur tangan Tuhan.
Kami sadar bahwa kami tinggal di sebuah Negara yang mayoritasnya Islam dan di sila pertama pada Pancasila tertuliskan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, tapi orangtua ku tetap pada pendiriannya bahwa Tuhan itu hanyalah sebuah omong kosong, dan aku sebagai seorang anak yang masih polos akan dunia yang sebenarnya hanya menuruti perkataan orangtua ku, tetapi jika sekarang mengingat masa-masa itu kembali, terasa seperti ada sebuah lubang yang amat besar didalam kehidupan masa laluku. Aku tidak percaya aku pernah menjalani masa lalu yang sangat berbeda dengan anak-anak seumuranku. Setiap petang, aku selalu melihat seorang anak bergandengan tangan dengan ayahnya menuju ke Masjid, mereka terlihat begitu dipenuhi rasa kasih sayang, begitu pun disaat mereka pulang. Setiap hari Minggu, aku selalu melihat satu keluarga yang begitu harmonis pergi menuju Gereja. Sedangkan aku hanya bisa melihat mereka dibalik kaca dan terali rumah ku.
Kami tinggal di sebuah kompleks perumahan mewah yang berada di sebuah kota besar. Kami sekeluarga hampir tidak pernah pergi keluar rumah kecuali untuk pergi liburan. Tetangga-tetangga kami menganggap bahwa keluarga kami ini sangat aneh, bahkan aku sendiri yang hanyalah seorang anak kecil yang masih penuh dengan rasa penasaran juga menganggap keluarga ini aneh. Jika aku sedang bermain di halaman, aku sering mendengar orang-orang lewat membicarakan keluarga kami, ada yang mengatakan bahwa keluarga kami ini menganut sebuah ajaran sesat, disaat itu aku bahkan tidak mengerti apa yang dimaksud dengan kata “sesat”.