NotesWhat is notes.io?

Notes brand slogan

Notes - notes.io

Di bawah langit berbintang, angin dingin terus berhembus tanpa henti, membekukan tulang-tulang. Meski diterangi dengan cahaya bulan-bintang dan lampu jalanan yang terang, diriku yang berbalut berlapis baju tak mendapat kehangatan lebih. Tapi aku tak peduli dengan hal itu. Asal aku bisa menyelesaikan urusanku denganmu kali ini, itu sudah cukup.

“Gakushuu, apa kau sudah lama menungguku?”

Tak lama, kau pun datang menghampiri dengan napas yang sedikit terengah. Ah, aku mengerti ini. kau yang seorang putri dari negara sana memiliki banyak pengawal dan penjaga yang bersedia berjaga di hotel yang kau tinggali, jadi menyelinap keluar pasti susah.

Tanpa niat membuang-buang waktu, aku mencoba menenangkanmu dengan sekaleng kopi hangat yang kubeli di mesin penjual minuman terdekat. Namun, sebelum membukanya, kau melirik ke arah mesin yang berada di dekatmu itu. Aku yang mengikuti arah pandangmu pun mengerti apa yang kau inginkan. Lagi, aku mengeluarkan koin yen dalam saku celana, dan membeli sekaleng soda.

Kuberikan padamu itu, dan kau terlihat senang, seperti anak-anak. Sekaleng kopi yang tak diminum pun menjadi milikku. Kebetulan, setelah ini aku bermaksud untuk bergadang semalaman untuk mengerjakan banyaknya urusan yang terabaikan sesaat.

Setelah membuang kaleng tak berisi pada tempatnya, kita pun berjalan menyeberangi sungai kecil, melewati jembatan yang berada di atasnya. Menelusuri kota yang mulai sepi. Wajar, karena saat kumemeriksa arloji perakku, aku melihat waktu telah menunjukkan bahwa hari sudah cukup malam, pukul 10 kurang beberapa menit.

Melewati banyaknya lampu berkelap-kelip dengan nyanyian yang semua orang tahu, ‘Twinkle Twinkle Little Star’ yang kau senandungkan dengan merdunya. Tak ada yang memerhatikan, dan tak ada yang peduli, jadi aku hanya memutuskan untuk mengikuti langkahmu yang tampak tak sabar menuju tempat yang dituju.

Begitu kita sampai di tanah lapang, yang sepertinya lapangan tersebut, kau segera menginjakkan kaki ke bagian tengah, kemudian mendongak ke atas. Rasa kagum terlihat jelas di wajahmu saat kau melihat ke atas. Langit biru gelap yang dilengkapi oleh hamparan bintang-bintang yang jutaan jumlahnya, ditambah dengan bulan purnama yang terlihat menyelinap di antaranya membuat seluruh pandanganku dipenuhi oleh keindahan langit malam yang luas.

Aku sudah beberapa kali melihat ini bersamamu yang entah untuk apa selalu memaksa melihat bintang. Dan setiap kali kuluangkan waktu untuk melirik, kulihat raut wajahmu berubah—tidak seluruhnya, hanya ujung alismu yang turun ke bawah, membuat kesan sedih. Dan setiapnya, meski aku tak berniat bertanya, kau selalu mengatakannya padaku,

“Hei, kenapa kita harus menjadi dewasa?”

Takut.

Aku tahu itulah yang kau rasakan. Kau takut menjadi dewasa. Dan rasa kekhawatiran itu menggerogotimu hingga memunculkan emosi baru. Cemas akan apa yang akan terjadi nanti.

Namun, saat kita bimbang akan hal itu, orang dewasa selalu meminta kita—mengambil waktu kita untuk menjadi lebih baik ke depannya, hanya untuk meneruskan dan mengharumkan nama baik mereka. Orang dewasa memang sering kali tak mendengarkan kita. Begitu pula dengan ayahku sendiri.

Selalu mengingatkan kita tanpa henti. Waktu telah berjalan, begitu kata mereka. Tapi apa boleh buat, bukan? Kita memang hanya seperti boneka hidup yang dikendalikan oleh orang dewasa. Dan untuk pertanyaanmu, aku selalu menjawab, “… Entahlah?”

“Asano-kun, kau sudah dewasa, ya.”

Pujian biasa yang selalu diucapkan sebagai basa-basi dari para kumpulan orang tua yang hanya mengincar harta. Mual rasanya jika terus menerus aku harus menyapa mereka. Haah… rasanya dalam hal seperti ini aku mirip denganmu, tuan putri Lea. Sayangnya aku tak bisa sesabar kau, jadi sering kali aku meminta izin untuk pergi bersama teman. Ren misalnya.

Kalau diingat, setelah kehadiran Lea, banyak sekali gosip-gosip dusta tentang kami. Terutama dari lalat-lalat kelas E. Ini mengingatkanku pada Akabane dan Nakamura yang menjadi sainganku UAS kemarin. Meski otak mereka begitu encer, namun tidak dengan sikap. Mereka benar-benar bertindak seperti anak-anak, aku berharap mereka bisa menjadi dewasa—ah, tak seharusnya aku bilang begitu mengingat diriku sendiri pun menolak untuk menjadi dewasa.

Aku tahu aku harus menjadi dewasa untuk keperluanku. Namun jika harus menjadi salah satu di antara 'mereka', aku menolak. Meski kuyakin ada salah seorang dari para orang dewasa ada yang menolak akan perlakuan ini, namun kita tetap dipaksa untuk menjadi dewasa. Seakan hal itu adalah kewajiban bagi kita.

"Memangnya apa salahnya jadi anak-anak?" kau berkata.

Aku yang berada di sampingmu sedikit terkejut saat kau mengatakan kalimat yang sama persis dengan yang kupikirkan. Menerjapkan mata sesaat seraya melihat ke arahmu yang menunjukkan raut wajah sedih, lagi. Namun hanya netramu saja. Bibir merah muda-mu membentuk kurva membuat senyuman di sana.

“Menjadi dewasa berarti harus siap mengorbankan hal yang disukai, bukan? Begitu banyak yang kusukai, dan aku belum siap untuk mengorbankannya. Bagaimana, ya… itu wajar, kan? karena kita masih anak-anak,” ucapmu seraya menoleh ke arahku.

Aku yang berada di sampingmu, mendelik sinis. Namun segera kusingkirkan wajah yang tak disenangi itu, menolehkan kepala ke arah lain.

“Tapi, asal kau tahu, meski kau mencoba untuk bertahan, kau tak akan pernah bisa menghindar dari kedewasaan. Karena kita, diharuskan untuk dewasa.”

Tuturku, dengan sempat menggigit bagian bawah bibir; mencoba menenangkan diri di saat itu. Karena meski aku berkata demikian, dalam lubuk hati terdalam, aku menginginkan ucapan setuju atau setidaknya satu kali anggukan kepala dariku sendiri. Tapi, faktanya diriku yang sudah terlalu sering mendapat titah untuk persiapan menjadi dewasa, mendengar ucapanmu yang menginginkan untuk tinggal dengan polos tak membuatku senang.

Padahal kita memiliki kewajiban yang sama, tapi kenapa hanya kau, yang bisa dengan entengnya berkata seakan kau bisa.
Muak.

Aku muak dengan ini semua.

Sejak saat itu, entah karena ego-ku semata atau apa, aku mulai menghindarimu. Aku yakin ucapanmu malam itu akan mengiang-ngiang di kepalaku bila kubertemu denganmu, dan aku tak menginginkannya. Hanya karena itu, aku sering menolak—tidak, bahkan aku tak mengangkat teleponmu sama sekali dengan alasan sedang mengurus dokumen-dokumen OSIS. Memang, setiapnya, aku selalu mendapat tugas-tugas yang menumpuk, namun biasanya aku selalu bisa meluangkan waktu sesaat untuk menjawab teleponmu.

Di siang ini pun, aku terduduk dalam diam di ruang OSIS. Ketukan jari telunjuk pada permukaan meja mahoni coklat berkali-kali terdengar. Di sampingnya, terdapat tumpukan kertas-kertas dokumen yang telah selesai dikejakan, dan sebuah cangkir porselin putih dengan corak sederhana memiliki isi kopi hitam yang tinggal setengah. Netraku terjatuh entah kemana, yang tak begitu kupedulikan.

Bosan, mungkin itulah yang dapat digambarkan oleh keadaan saat ini.

Masih ada sisa pekerjaan yang masih belum mendapatkan tanda centang selesai dalam daftar, namun aku hanya mengurusinya dengan santai. Tanganku mengambil lembar kertas teratas dalam tumpukan ‘belum tuntas’. Kulihat isinya, hanya laporan kegiatan kelas seperti biasa. Piket dan surat keterangan lainnya tak ada masalah seperti yang sewajarnya. Laporan kelas E yang tidak berubah.

Belum lama waktu berlalu, sebelumnya diadakan rapat pertemuan kelas di selang jam istirahat kedua. Berjalan lancar seperti yang seharusnya, hanya ada sedikit kendala saja. Itu pun hanya masalah sepele di mana seorang lelaki sebaya bersurai hitam yang menjadi perwakilan kelas E, Isogai belum selesai menuliskan laporan karena flu.

Karenanya, aku meminta dia untuk menyelesaikan laporan di akhir rapat. Kemudian menyerahkannya padaku jika sudah selesai. Entah, aku bingung kenapa orang sepertinya bisa terkena flu. Bagi seorang pelajar yang bekerja sambilan memiliki banyak tenaga hampir tak mungkin terserang penyakit. Yah, siapa tahu? Aku bukan orang yang suka menyelidiki sesuatu yang tak perlu.

Tidak, mungkin lebih tepatnya aku berpura-pura untuk penasaran atas hal itu. Aku pun menutup mataku. Ya, aku hanya berpura-pura. Agar aku tak kerepotan saja. Bahkan tentang Lea pun, aku tak peduli.

Namun, saat telingaku menangkap suara gaduh yang cukup kecil di luar jendela di belakangku, aku menoleh untuk melihat. Dan, apa pun itu yang mataku berhasil lihat, Lea sedang dipojokkan oleh 3 orang perempuan yang terlihat tak suka. Aku yang berada di lantai tiga ini, menerjapkan mataku saat melihatnya. Kepalan tangan yang berada di samping badan mengerat begitu melihat Lea yang terlihat kesulitan dengan keringat dingin yang bercucuran.

Kakiku sudah gatal ingin melangkah turun ke bawah, dan menyelamatkan Lea? Tunggu sebentar, memangnya aku ini apa? Pahlawannya?

Memikirkan hal itu membuat kakiku kaku, lidahku kelu ingin berkata, hatiku pun bimbang karenanya.

Bukannya aku sudah memutuskan untuk tak peduli?

Meski rasa ragu telah menggerogotiku, entah kenapa kakiku terus melangkah cepat ke tempatnya. Tak mempedulikan panggilan dari para teman, atau pun tatapan aneh dari semuanya, aku langkah kakiku tak berhenti hingga berada di belakangmu.

“Tolong hentikan!”

Suaramu yang lembut keluar dengan sedikit penekanan untuk melawan. Dan begitu aku pastikan itu adalah dirimu, entah kakiku menolak untuk mendekat. Tubuh disandarkan ke tembok terdekat, mengintip dari ruang kosong. Kuping disiapkan untuk menangkap sesuatu yang bisa didengar dari radar.

“Gakushuu tak seperti yang kalian katakan!”

Eh?

Apa ini? mereka berbicara tentangku?

“Hah? Jelas-jelas dia hanya melihatmu! Kalau saja kau ikut dalam rapat tadi! Dia bahkan mengampuni kelas E yang lupa membuat laporan!”

Diriku yang bersembunyi hanya terdiam mendengar ini.

Benar juga, kenapa aku membiarkan begitu saja Isogai tanpa memberikan hukuman sama sekali? Jikalau aku memberinya sanksi, aku bisa saja mendapat rahasia kelas E untuk menjatuhkan ayah, dan aku bisa menguasai satu sekolah ini.

“Ini pasti pengaruhmu!”



“Dia bukan orang yang seperti itu!”

Ya…

“Dia itu dewasa dalam bertindak! Selalu berpikir panjang!”

… Dia ben-

“Bukan!”

Suaramu yang memecah keheningan batinku, terdengar begitu keras, membuatku terbelalak karenanya. Dengan alis yang bertaut hingga dahi mengerut, aku kembali melirik ke arahmu yang terlihat agak terbawa emosi pada lawan bicara.

“Mungkin saja! Karena Gakushuu masih anak-anak!”

Mataku terbelalak begitu mendengar ini.

“Dia bukan orang dewasa seperti yang kalian katakan. Dia hanya terobsesi untuk menjadi dewasa karena pengaruh sekitar.

“Gakushuu itu egois. Dia juga masih bisa menunjukkan emosinya. Buktinya, dia masih bisa marah, dan tersinggung. Bahkan saat ia marah pun, ia suka mengabaikan dan ngambek seperti anak-anak. Sikapnya yang tidak mau kalah juga . Bukankah semua itu masih termasuk golongan anak-anak?”

Entah apa reaksiku sekarang. Aku tak tahu. Aku hanya terdiam dengan mulut yang tertutup.

“Berisik! memang kau tahu apa tentangnya!?” seru pemimpin dari kelompok itu, mengangkat tangan kanannya keras, dan bersiap untuk diayunkan pada wajahmu yang siap-tidak siap.

PLAK!

Satu tamparan pun lepas, namun bukan padamu. Tapi padaku yang langsung berdiri di antara kalian.

“Haah… apa tindak kekerasan pada teman seangkatan yang merupakan murid berprestasi penting dilanggar di sini?” ujarku, membuat mereka mundur dengan wajah yang terlihat takut. Tak lama, aku menarik sudut bibirku, menyunggingkan senyum sinis dengan aura berat yang menyindir.

“Dan lagi, apa yang akan dilakukan’nya’ bila tahu anak didiknya ini memukul seorang ketua OSIS yang sangat berpengaruh di sini, ya?” lanjutku, mengangkat wajah sembari menyeka lebam yang diakibatkan tamparan tadi. Dan dengan auraku yang semakin memberat dan penuh penekanan, mereka segera berlari ketakutan dengan berkali-kali meminta maaf sambil menangis.

“Ck,” aku mendengus singkat dan mendecih sesaat. Kemudian, meletakkan kembali tangan kanan ke samping badan. Aku pun berbalik menghadapmu yang menunjukkan wajah bingung yang sedikit pula bercampur dengan rasa takut. Kupejamkan mataku, dan tanganku langsung memeluk tubuh mungilmu dengan erat. Membuatmu bertanya-tanya dengan nada yang semakin terheran, “Gakushuu?”

Dengan nada penuh penyesalan, kusampaikan padamu, "Maaf."

"Maaf waktu itu aku mengatakan hal yang tidak sopan padamu.

Ya, sekarang kutahu kenapa kau mengatakan hal itu. Hal di mana kau bilang bahwa masih ingin menjadi anak-anak. Bukan karena kau tidak mau menjadi dewasa, tapi kau tahu bahwa tekanan yang dibawa akan lebih berat hingga kau ingin melepasnya. Seharusnya aku tahu, bahwa kau pun bukannya bisa, tapi justru karena tidak mungkin, kau berharap. Kau sengaja menyimpan keinginanmu itu, agar kau tidak melupakan kewajibanmu. Seharusnya aku yang memiliki pemikiran yang sama bisa mengerti hal itu.

Tapi kenapa… aku…?

“Gakushuu, kau benar-benar minta maaf?” kau bertanya dengan raut wajah yang telah berubah. Aku melonggarkan genggaman tanganku, dan menatapmu, “Ya… aku tahu kau mungkin tidak akan memaafkanku yang seenaknya, tapi—“

“Kalau begitu, bagaimana kalau kau mentraktirku parfait lagi? Sepertinya itu akan enak dimakan di siang hari seperti ini~” kau mengucapkan permintaanmu dengan wajah dan nada bicara yang riang, seratus delapan puluh derajat berbeda dengan yang tadi. Dan hal itu berhasil membuatku tercengang selama beberapa saat.

Aku terdiam. Tidak bermaksud berkata apa pun saat melihatmu tersenyum menunggu jawabanku. “Puh—“ tawaku hampir lepas melihatnya. Kumenutup mulutku dengan tangan untuk menutupi itu. “Daar. Saat kupikir kau anak-anak, ternyata kau sudah dewasa. Saat kupikir kau dewasa, kau malah terlihat seperti anak-anak. Kau ini apaan, sih?”

“Eh? Apa itu pantas ditertawakan?”

“Tidak juga, sih. Tapi rasanya aku ingin tertawa saja.”

“Benar juga, ya. Aku juga ingin tertawa jadinya,” ucapmu, membuatku berhenti menahan tawa dan menatapmu.

“Hei, Gakushuu. Kupikir ini bukan saatnya kita bimbang tentang anak-anak ataupun dewasa. Soalnya kita, kan ‘remaja’ yang berpikiran labil dan suka plin plan.”

Mataku membulat mendengarnya. Mulut pun kelu untuk berbicara dan berakhir dengan terdiam terpaku. Oh ayolah, untuk berapa kali aku harus terkagum dengan pernyataanmu?

Sekali lagi, aku tersenyum padamu.

Benar apa katamu. Untuk apa aku memusingkan tentang hal itu? Sejak tahu aku bukan berada di keduanya—tidak, lebih tepatnya aku berada di antara keduanya, aku jadi malas untuk membandingkan dan berpikir panjang lagi.

Ah, aku teringat akan langit yang kita lihat tiap malamnya. Ribuan bintang yang ada di sana membuatku rindu melihatnya. Ingin kutidur di bawah langit itu, dan menutup mata akan dunia yang mulai membingungkan ini—atau mungkin aku? Yah, apa pun itu aku tak peduli lagi. Sebab,

“Kita adalah dua remaja perempuan dan laki-laki yang masih dini untuk bimbang akan hal-hal yang merepotkan.”
     
 
what is notes.io
 

Notes.io is a web-based application for taking notes. You can take your notes and share with others people. If you like taking long notes, notes.io is designed for you. To date, over 8,000,000,000 notes created and continuing...

With notes.io;

  • * You can take a note from anywhere and any device with internet connection.
  • * You can share the notes in social platforms (YouTube, Facebook, Twitter, instagram etc.).
  • * You can quickly share your contents without website, blog and e-mail.
  • * You don't need to create any Account to share a note. As you wish you can use quick, easy and best shortened notes with sms, websites, e-mail, or messaging services (WhatsApp, iMessage, Telegram, Signal).
  • * Notes.io has fabulous infrastructure design for a short link and allows you to share the note as an easy and understandable link.

Fast: Notes.io is built for speed and performance. You can take a notes quickly and browse your archive.

Easy: Notes.io doesn’t require installation. Just write and share note!

Short: Notes.io’s url just 8 character. You’ll get shorten link of your note when you want to share. (Ex: notes.io/q )

Free: Notes.io works for 12 years and has been free since the day it was started.


You immediately create your first note and start sharing with the ones you wish. If you want to contact us, you can use the following communication channels;


Email: [email protected]

Twitter: http://twitter.com/notesio

Instagram: http://instagram.com/notes.io

Facebook: http://facebook.com/notesio



Regards;
Notes.io Team

     
 
Shortened Note Link
 
 
Looding Image
 
     
 
Long File
 
 

For written notes was greater than 18KB Unable to shorten.

To be smaller than 18KB, please organize your notes, or sign in.