Notes

Tidak lekas membuka suara untuk menanggapi, ia biarkan gemerisik dedaunan memecah keheningan. Tatapannya kembali tertuju kepada dua nisan di penghujung gundukan tanah yang mengebumikan tubuh tak bernyawa kedua orangtuanya. Kesunyian tidak pernah mengganggunya, sebaliknya kesunyian kerap menawarkan kenyamanan kepadanya. Akan tetapi, suasana di area pemakaman yang sarat akan duka sedikit banyak mengusiknya. Bukan sunyi yang mengganggu, melainkan duka. Oleh karenanya, tanpa beranjak dari tempat, sang dara kembali membuka suara.
“Apa dia sama seperti kita?” Tatkala menyadari pertanyaan yang ia ajukan mengandung ambiguitas, lekas ia mengimbuhkan, “pejuang, seperti kita.”

To: Chris
Tindakan antisipatif yang dilakukan sang pemuda tertangkap jelas oleh indera penglihatannya. Ia tidak melayangkan proses, pun menganggap tindakan tersebut sebagai sesuatu yang tidak wajar. Sebab, ia pun akan bersikap demikian tatkala dihampiri sosok yang tidak dikenal secara tiba-tiba. Gerak refleks hasil dari latihan serta pengalaman, demikian konklusi yang ia tarik. Sang dara tidak bergeming dari posisi, ia hanya menatap sang pemuda dalam diam sampai pedang dikembalikan ke tempat semula.
Ketika sebuah jawaban atas pernyataannya ia dapatkan, bibirnya membuka untuk memberi tanggapan, namun lekas menutupnya kembali. Nyaris saja ia mengatakan tidak ada satu penghuni semesta pun yang pantas tewas secara mengenaskan. Akan tetapi, retrospeksi terhadap kekejaman serta kebiadaban yang pernah tertanggap oleh indera penglihatannya, membuatnya bungkam. Pikirnya, para pendosa pantas tewas dengan mengenaskan. Ironis. Bukankah pikirannya tersebut membuatnya tidak berbeda dengan para pendosa?
Lantas ia suarakan kemelut pikirannya.
“Apa menurutmu ada manusia yang pantas untuk tewas secara mengenaskan?”

To: Saya
Ketika ia perhatikan dengan saksama, nampaknya seseorang yang ia coba ajak bicara merupakan seorang gadis belia. Gelebah menyeruak, sekelebat bayangan masa lalu menghantui, namun lekas ia abaikan. Kehilangan serta kedukaan rupanya tidak pandang bulu. Bahkan gadis sebelia ini telah mengalami kehilangan, terlepas dari seberapa erat ikatannya dengan yang telah berpulang.
“Apa yang terjadi padanya?” Tanpa maksud membuka luka, ia ajukan pertanyaan tersebut. Bukan maksud pula untuk mencampuri urusan orang lain, akan tetapi jika semua ini berhubungan dengan musuh dari aliansi tempatnya mengabdikan diri, masalah tersebut akan menjadi urusannya.
Lantas untuk menjawab pertanyaan sang gadis, Titania hanya menjawab dengan sebuah kata “kerabat”. Ia tidak mengerti pula mengapa ia tidak secara gamblang menjawabnya dengan ‘orangtua’. Menafikan fakta, barangkali.