Notes

Kini aku berada di halaman belakang rumah duka, duduk mengistirahatkan diri ditemani seorang wanita paruh baya yang merupakan ibu darinya. Beliau adalah orang yang kuhormati. Rasa bersalah sekarang menghantuiku begitu teringat kalau akulah orang yang menyingkirkan beliau dari anaknya sendiri di saat-saat terakhir raga itu masih terbentuk. Setiap kali aku mengucap maaf, tepukan juga usapan akan kudapatkan darinya di punggungku. Juga beberapa kalimat menenangkan walau suaranya terdengar serak sehabis menangisi putra satu-satunya.

"Aku.. benar-benar tidak menyangka kau akan menjadi seberantakan ini hanya karena anakku yang satu itu." beliau kembali membuka suara setelah selang beberapa menit dari ucapan maaf terakhirku.

Lalu dapat kurasakan tatapannya yang semula memperhatikan air mancur di depan, kini beralih melihatku yang kuyakin sangat berantakan dengan rambut bangun tidur, wajah sembab, dan pakaian tidur dibalut mantel yang setengah basah terkena hujan. Salah satu tangannya yang sudah sedari awal menggenggam tanganku mengerat, bermaksud memberi sebagian kekuatan padaku. Padahal aku yakin, beliau pun sama membutuhkannya sama sepertiku atau bahkan lebih.

"Kau adalah orang yang berharga baginya, aku sebagai ibunya sudah mengakui itu semenjak keseriusannya untuk menaikkan status ikatan kalian menjadi sepasang tunangan." beliau terlihat mengambil napas panjang dan aku mengalihkan padangan, menatap kedua mata beliau yang memiliki pancaran yang identik dengannya.

"Maafkan segala kesalahannya, ya? Aku sangat tahu anakku itu pasti sudah sangat banyak.. banyak.." isakan kembali terdengar dengan genggamannya yang semakin mengerat, "Maafkan dia, ya nak?" dan permintaan itu diajukan dengan sebuah senyum pahit yang terbentuk pada wajah beliau.

Aku melihatnya dengan getir, berusaha untuk memberikan senyuman untuk beliau yang kuharap dapat membantunya untuk kembali tegar karena posisi kita yang sama-sama menjadi pihak yang ditinggalkan.

"Ibu jangan khawatir," aku memulainya dengan suara bergetar, menahan tangis yang mendesak, "Aku sudah memaafkan semuanya, semua perbuatan konyolnya yang menyebalkan.."

Termasuk perbuatannya yang meninggalkanku di dunia ini.

Kedua tanganku yang semula digenggam, kini balik menggenggam. Aku yang semula dikuatkan, kini balik mencoba untuk menguatkan. Walau aku sendiri pun tidak tahu apakah yang kulakukan sudahkah cukup atau belum.

Lalu kami terdiam, menenangkan diri masing-masing dari emosi yang meluap.

"Hiduplah, Jien. Seperti hari-hari biasamu." beliau kembali membuka suaranya, "Tak perlu mengenang anakku pun tak apa, asalkan kau bisa menjadi dirimu yang seperti biasanya. Dan jika kau ingin, kau boleh berkunjung ke rumah kami kapanpun yang kau mau."

Kucoba menatap wajah beliau yang benar-benar tersenyum kepadaku, "Pintu rumah kami selalu terbuka untukmu, untuk dirimu yang bahkan sudah kuanggap putra sendiri."

Dan aku berakhir memeluk beliau dengan janji untuk selalu mengunjungi mereka setiap waktu longgarku.