Notes

Ketika matahari sudah berada di sudut empat puluh lima derajat, itulah saat baginya untuk beranjak dari tempat tidurnya, kamarnya, asramanya. Menuju ke sebuah tempat suci penuh magis, yang diberkati oleh para dewa berikut tuhan. Tempat yang menjadi sumber kekuatan bagi orang-orang sejenisnya, yang mengikrarkan diri atas nama yang dibawa untuk menjadi ksatria tuhan yang mendapat keberkatan dan perlindungan dari-Nya.

Kegiatannya ini hanya dilakukan olehnya di dua hari yang menjadi penghujung minggu, dan hari ini salah satunya. Hari sabtu.

Setelah sebelumnya membersihkan diri, ia kembali mematut penampilannya di hadapan sebuah cermin. Sekadar memastikan penampilannya layak hanya dengan memakai celana berbahan jeans, kaus lengan panjang berwarna putih, jaket hitam tebal, dan kaki beralaskan sepatu kets hitamnya.

Lalu ia menyambar pedang berbahan stainless steel miliknya yang tentu mempunyai kekuatan tersendiri. Pedang yang kalau dirinya kini adalah dirinya di tiga minggu lalu, ia tidak akan bisa untuk sekadar mengayunkannya karena level kekuatannya masih belum memenuhi pra-syarat sebagai pengguna pedang tersebut.

Ia beranjak dari posisinya. Membuka pintu kamarnya dan menutupnya kembali. Berjalan melewati lorong-lorong dan menuruni tangga. Sampai benar-benar keluar dari kastil melalui pintu utama.

'Semoga tidak hujan.' batinnya merapal doa. Payung bukanlah teman baiknya, tapi hujan-hujanan juga bukan hal yang disukainya. Ia menyukai awan sebagai benda langit yang memberi keteduhan, bukan untuk mebasahinya dengan air yang menyusunnya.

Kakinya mulai menapaki rute jalan yang dihapalnya. Beberapa puluh langkah dilalui sampai ia melihat deretan torii—gerbang tradisional Jepang, seperti gapura—yang menaungi sepanjang jalan menuju kuil. Dan ia pun melanjutkan langkahnya, memasuki deretan torii yang tidak terlalu gelap berhubung hari masih pagi.

Ia pun sampai di ujung jalan dengan torii terakhir dan disambut jalan terbuka namun diapit tebing yang masih berhiaskan torii. Masih puluhan—bahkan ratusan—langkah lagi sampai ia sampai di awal tangga panjang menuju kuil.

Helaan napas lolos dari kedua belah bibir penuhnya. Walau sudah kunjungan yang ke-empat, ia masih belum terbiasa. Lelah sudah mulai dirasakannya, walau masih belum membuatnya menyerah. Cicitan-cicitan dari para burung yang mengiringinya selama perjalanan, terasa seperti memberinya sedikit suntikan semangat.

Dan sampailah ia di depan anak tangga yang terhampar seperti karpet tanpa ujung. Ia menghembuskan napasnya sekali, untuk mempersiapkan dirinya sejenak. Lalu kakinya mulai menapaki anak tangga tersebut satu per satu.

Hanya hening yang melingkupi. Tak ada suara yang berarti. Angin berhembus sesekali, membawa udara pagi. Namun begitu halusnya sampai tak mengisi.

Waktu serasa berjalan lambat, berdampak pada jalan yang semakin terasa jauh. Tetap dinikmati olehnya detik demi detik yang berlalu sembari merilekskan diri dari hiruk-pikuk kehidupan akademinya—melupakannya sejenak.

Tak terhitung berapa detik yang sudah terlewati, kakinya sudah menapaki anak tangga terakhir. Pemandangan kuil sudah tersaji di hadapannya, membuat lega batinnya. Dan dengan segera ia memasuki area kuil.