Notes

Ketika pertama kali mendegar kalimat "Hidup adalah Pilihan" ada sedikit pertanyaan yg tertinggal di benak, "Apakah benar?" " Siapa yang berhak menentukan pilihan tersebut dan kenapa pilihan tersebut harus dipilih?" Terkadang dalam hidup, yg ada hanyalah pilihan. "Baik atau Jahat" "Benar atau Salah" Iya atau Tidak" dan masih banyak lagi pilihan yang tersedia, tergantung pada situasi yg sedang dihadapi. Bahkan, berserah kepada Tuhan adalah bagian dalam pilihan, yaitu "Berkeras melanjutkan atau Berserah kepada Tuhan". Itu semua pilihan. Setelah memilih, semua tidak berakhir begitu saja, ada konsekuensi yang masih harus dihadapi, dan itu juga pilihan yang kembali harus dipilih. Seakan hidup ini hanyala kumpulan pilihan yang tak akan habis hingga nantinya kita mati. Siapa yang menciptakan pilihan tersebut? Tuhan? Manusia? Situasi?, aku tak bisa menjelaskan. Yang aku tau, sejak aku nulai berdiam lebih banyak, merenung lebih banyak, dan berfikir lebih banyak dari yg biasanya aku lakukan dalam kehidupanku sehari hari, yg bisa aku pahami adalah semua akan berujung kemauan kita untuk menjalani saja. Penerimaan memang sangatla sulit. Menerima pilihan pilihan terbatas dan kemudian menerima untuk memilih salah satu, hingga pada penerimaan terhadap konsekuensi yang harus dijalani, sadar atau tidak sadar. Hanya itu. Aku tidak bisa melihat adanya celah dimana aku bisa memilih pilihan yang aku buat sendiri untuk kepentingan ku sendiri, yang konsekuensinya bisa aku atur sendiri. Terkadang, aku belum siap atau tidak siap akan segala kemungkinan, sehingga untuk melewatinya, aku harus memiliki kesempatan untuk memilih pilihan lain, dan pilihan itu harus sesuai dengan keinginan yg aku mau, agar aku juga bisa siap menjalani konsekuensi yang ada. Namun, hal itu tidakla mungkin, aku sadar, jika konsekuensi itu bersifat konstan, berubah sesuai dengan pilihan yang kita pilih dan proses yang kita lewati setelah memilih.

Contoh kecilnya adalah ketika kita dihadapkan pada situasi sulit, dimana kita harus memilih antara "Diam saja atau Katakan yg sebenarnya".
Untuk mengulur waktu, agar aku siap dan yakin, aku harus diam. Namun konsekuensi dari diam tersebut adalah tekanan yang akan aku hadapi sampai waktunya tiba untuk berbicara yang sebenarnya. Kemungkinan lain jika aku diam adalah kegagalan, dan kegagalan tersebut akan berujung pada rasa malh yang belum tentu siap aku pertanggung jawabkan. Namun, jika aku memilih untuk berbicara, konsekuensi pertama, adalah kemungkinan keonsekuensi dinpilhan pertama akan terjadi lebih cepat dari yang bisa aku bayangkan. Kedua, tekanan di pilihan pertama akan jauh lebih besar dari yang bisa aku tahan. Intinya adalah, pilihan diam saja, konsekuensinya akan baik sekarang, namun tidak baik untuk waktu kedepan. Pilihan sampaikan yg sebenarnya, konsekuensinya sama, hanya lebih cepat, sehingga akan lebih cepat pula untuk melupakan kejadian tersebut dan lebih cepat pula pulih. Selain itu, jika semakin cepat selesai, itu akan jauh lebih baik dari penunndaan yang terjadi pada konsekuensi pilihan pertama.

Benar, pilihan kedua jauh lebih baik. Akan jauh lebih baik dari yg pertama. Apakah pilihan kedua benar benar akan menghasilkan hal yg jauh lebih baik? Salah? Belum sampai kepada pertanyaan tentang keyakinan untuk memilih pilihan yang mana, namun ada pilihan lain lagi setelahnya, yaitu "Siap atau Tidak".

Apa kalian melihat lingkarannya? Karena aku iya.

Ditengah kemelut itu, ada pilihan lain lagi, yaitu "Berserah kepada Tuhan". Apa kalian berfikir itu pilihan yg benar? Karena aku tidak. Karena pilihan "Berserah kepada Tuhan" adalah hal yg sama seperti memupuk keyakinan. Itu sama saja dengan memilih pilihan kedua, namun menggambil unsur pertimbangan pilihan pertama, yaitu menunggu waktunya untuk mengatakan yg sebenarnya, sementara waktu itu belum datang, berdiam saja sudah cukup. Sekarang aku tanya, "Siap atau Tidak" jika waktu tersebut akhirnya datang?