Notes

Hujan sempat turun, inilah alasan mengapa tiap langkah yang kubuat di sepanjang lorong rumah duka tercetak begitu jelas. Bentuk dari relief alas sandal rumah milikku benar-benar menodai lantai yang kuyakin sudah dibersihkan sebelumnya oleh petugas kebersihan. Namun tidak ada waktu bagiku untuk sekedar memikirkan hasil kerja dari mereka. Pengebumian raga milik orang yang dua hari lalu masih beradu argumen denganku itu tidak boleh kulewat barang sedetik pun.

Ia, sewaktu bernyawa, adalah orang yang bawel masalah waktu. Sindiran berbentuk sarkasme akan selalu terdengar darinya bagi siapa saja yang membuatnya menunggu lebih dari waktu yang disepakati, tak peduli mau itu presiden sekalipun. Prinsip waktu-adalah-uang sudah mendarah daging dan menjadi adat batunya yang paling khas.

Aku pernah membuatnya menunggu selama sekitar tujuh menit dari waktu yang disepakati—errr sepuluh pagi? Aku tak yakin tepatnya, tapi ia benar-benar membuat kuliah singkat dengan tajuk 'menghargai waktu' begitu aku sampai di tempat. Menyebalkan memang, wajah angkuhnya saat itu benar-benar ingin kutinju.

Namun aku tahu, tidak akan pernah ada kuliah singkat dengan wajah angkuh seperti itu lagi mulai dari saat ini. Padahal waktu menunggu kali ini tidak main-main durasinya. Empat jam, aku membuatnya menunggu selama empat jam! Entah apa yang akan aku dapat nanti, yeah, itupun kalau ia masih berdiri dengan kedua kakinya dan bernapas melalui hidung yang sering mendarat di puncak kepalaku ketika ia merengkuhku.

Kasar, aku membuka pintu. Dan itu membuat perhatian semua orang tertuju padaku. Lalu hening setelahnya. Padangan mereka semua terlihat iba melihat penampilanku yang benar-benar berantakan. Tapi persetan dengan mereka semua! Aku ingin melihatnya! Melihat dia, sebelum dia benar-benar berubah menjadi serbuk yang mudah hilang ketika bertemu angin ataupun air.

Maka dengan tidak santainya aku menyingkirkan orang-orang yang berada pada radius beberapa centi dari kasur tempat dia dibaringkan. Aku bahkan tak peduli mau itu kedua orangtuanya yang kini saling berangkulan dan sibuk menghapus air mata mereka. Dan tepukan kurasakan di punggungku, mereka benar-benar prihatin dengan keadaanku yang kini menangis histeris di atas dada yang dulu selalu menjadi sandaran melepas penat.

Ia pernah bilang padaku, untuk selalu memberitahukan apapun yang membuatku terbebani. Hanya karena dengan berbagi cerita aku bisa mengurangi beban tersebut, katanya, ditambah senyum dan dimple yang terbentuk karenanya. Kalau saat aku bercerita posisi kami duduk bersebelahan di atas sofa ruang tengah, rangkulannya akan menjadi hal terbaik bagiku.

Apakah aku bisa mendapatkan itu semua nanti?

"Hey, kau tahu?" aku mencoba untuk melakukan apa yang biasa kulakukan.

"Aku telat hari ini, aku membuatmu menunggu. Tidak kah, tidak kah kau beri aku wajah mengesalkanmu itu alih-alih wajah damaimu sekarang? Aku benar-benar membuatmu menunggu, lho!"

"Dan untuk informasimu saja, aku mengalami hari yang sangat berat belakangan ini."

"Apa? katamu. Ceritakan sedikit padaku? katamu lagi. Ya, ya, aku akan membaginya sedikit padamu seperti biasanya."

"Aku akan memulainya dari kepergianmu yang kali ini tak akan pernah terjamin kepulangannya. Itu, kau tahu? Itu benar-benar membebaniku.."

"Hey, beri aku solusi. Beri aku jawaban sok bijakmu itu. Beri aku saran—"

Dan aku pun tercekat, tak bisa lagi menahan ledakan durja dalam diriku.

"—saran untuk melanjutkan hidupku tanpamu.."

Entah sudah berapa lama aku bertahan pada posisi ini, berbicara padanya, dan tahu-tahu aku sudah ditarik mundur menjauhinya. Tentu, berontak adalah hal yang pasti kulakukan. Tidak lagi, tidak, tidak.

"Lepaskan aku! Kumohon, lepaskan aku! Aku belum selesai!"

Dan begitu ia menghilang di balik pintung ruang kremasi, kuharap aku masih bisa menggenggam tangannya satu kali lagi walau dingin yang akan kuterima nanti.