NotesWhat is notes.io?

Notes brand slogan

Notes - notes.io

     Jihoon benar-benar datang keesokan harinya. Dari jendela kamarnya, sebenarnya Vienna sudah melihat Honda Civic milik Mbak-nya Jihoon itu terparkir di depan rumahnya, bahkan sosok Jihoon yang nampak ragu untuk masuk ke rumahnya. Jihoon nampak terlihat menggunakan celana selutut berwarna gelap dengan atasan kaus putih yang terlihat nyaman.

    Dia tampak merogoh saku celananya dan mengeluarkan iPhone miliknya.

    Heh, paling-paling mau suruh aku ke depan, begitu pikir Vienna, yang kemudian terbantahkan dengan Jihoon yang kembali mengantongi handphone-nya tersebut, dan melangkah ke arah pintu depan dengan mantap.

     Pagi ini, Vienna sudah minta izin dengan Jeffrey karena minta tolong diantarkan Jihoon untuk belanja. Dan belum dibalas sampai saat ini. Tapi yang jelas, Vienna sudah minta izin.

     Lamunannya kemudian terpecah oleh suara Bunda yang menginstruksi agar segera turun. Setelah keluar dari kamarnya, Vienna menyempatkan diri untuk menyelinap masuk ke kamar adiknya, yang terlihat masih terbaring di tempat tidurnya. Ia mengguncang badan si bongsor itu dengan pelan--itupun kalau sampai membuat kasur mengeluarkan suara decitan termasuk pelan—sampai terdengar raungan malas dari Echan.

     "Can, nanti jam sebelas ke rumah Rara, anterin ke radio kampusnya Kak Jeff. Mark gak bisa anter," perintah Vienna sambil menarik selimut Haechan dan menyibak tirai kamarnya. Sebelum benar-benar pergi, dia meninggalkan sebuah pukulan di pipi Haechan yang disusul dengan lantunan sederet kata kasar dari yang dipukul.

* * *

     "Vin?"
     "Eh iya iya?"

     Vienna yang tadinya sibuk memandangi antrian restoran sate taichan yang baru saja mereka lewati menoleh ke arah Jihoon yang baru mengalihkan pandangannya kembali ke depan.

      "Gapapa, heheh."

      Kemudian keduanya kembali hening. Sebagai informasi saja, ini kali kedua Jihoon memanggil Vienna yang entah apa maksudnya, lalu kembali fokus pada kegiatannya.

      Oh ya, setelah beberapa kali bertemu, Vienna baru kali ini benar-benar memerhatikan figur Jihoon. Ia jauh lebih kurus dari apa yang bahkan tidak berani ia harapkan mengingat bagaimana Jihoon kecil kerap minder karena berat badannya. Rahangnya tajam, memperlihatkan lehernya yang secara mengejutkan terlihat cukup jenjang. Oh, ditambah jakunnya yang mulai terlihat... hah, Vienna, ngapain sih.

     Meski begitu, pukulan pubertasnya masih menyisakan onggokan daging di kedua pipinya. Dan sedikit di bawah matanya. Apa sih kalau yang disebut orang Korea... aegyo sal? Secara umum, penampilan fisiknya "menggemaskan".

    "Belajar bawa mobil dari kapan, Hun?" Tanya Vienna, selang lima menit, memecah kesunyian. Suaranya serak, karena dinginnya AC dan itulah kalimat obrolan pertama yang ia keluarkan sejak masuk mobil Mbak-nya Jihoon.

    "Udah—ehem, udah dari awal kelas dua belas, Vin. Kamu bisa bawa?" Suara Jihoon ternyata sama seraknya. Ah, lucu.

    "Udah pernah belajar sama Kak Jeffrey—"
    "Kak Jeffrey?" Putus Jihoon.
    "—iya, pacar gu—aku."

     Kembali hening, kali ini suara Blackbear dari music player yang disambungkan dengan kabel aux dari iPhone Jihoon yang mengisi keheningan. Ah, gemas-gemas begini tipe lagu yang didengarkan Jihoon sangat bertolak belakang.

     "Terus bisa, Vin?"
     "Hah?"
     "Bawa mobilnya?"
     "Oh, heheh, waktu itu pakai mobilnya Kak Johnny, matic, jadi bisa. Mobilnya Kak Jeff pakai gigi, jadi masih canggung buat ganti giginya."

     Obrolan mereka akhirnya berlanjut, menjadi hal yang Vienna akui sangat melegakan. Entah bagaimana rasa canggung itu menguap, mereka kini bahkan dapat berdebat soal rasa mie instan yang paling enak. Agak sulit dipercaya, bukan? Kita membicarakan Jihoon yang dulu tidak mau ditinggal Ibunya selama dua semester tahun pertamanya di sekolah, lho.

     Mobil yang dikendarai Jihoon akhirnya memasuki pelataran parkir, tepat di luar bangunan Mall. Gampang masuk, gampang keluar.

     "Early bird gets the worm banget, ya, Vin."
     "Heheh."

      Sesuai tujuan, mereka menuju ke lantai bawah, ke supermarket alias Carrefour, membeli keperluan Bunda. Karena sudah hafal letak barang yang dicari, Vienna menyelesaikan daftar belanjaan dalam dua puluh menit. Oh, ditambah lima menit untuk Jihoon yang kelabakan mengikuti Vienna dengan trolinya.

     Begitu menunggu perhitungan barang di kasir, mata Vienna menangkap sesuatu di rak snack yang segera ia ambil.

     "Hun," ucapnya sambil menggoyang-goyangkan sebuah Kinder Joy di tangannya ke wajah Jihoon yang tampak menerawang langit-langit dengan tatapan kosong. Kecapekan.

     Senyum Jihoon terbit, kemudian menaikkan kedua alisnya sambil meraih benda berbentuk telur itu dari tangan Vienna.

     "Dulu Tante Lina suka beliin itu, ya."
     "Mana ada, kamu yang minta makanya Ibu beliin."
     "HEH."

     Jihoon tertawa, kemudian mengangkat tiga plastik yang berada di ujung kasir dengan satu tangan, sementara tangan yang lain meraih dua butir Kinder Joy.

    "Yang ini dipisah ya, Mbak."
   
    Vienna mulai cengengesan. "Makasih, ya, Hun."
    "Hah?"
    "Itu, makasih Kinder Joy-nya."
    "Dua-duanya buat aku, kok," sahut Jihoon dengan tampang serius.

    Vienna tidak sempat protes. Takut tengsin. Dan Jihoon benar-benar tidak memberikan barang sebutir pada Vienna saat mereka mulai berjalan.

     Jihoon membawa tiga plastik sementara Vienna membawa dua plastik yang mati-matian Vienna pertahankan karena merasa tak enak.

     "Vin, ini aku taro mobil dulu, kamu nunggu di kursi situ aja," ucapnya, kali ini benar-benar meraih plastik-plastik belanjaan Vienna tanpa bujukan, kemudian menunjuk deretan kursi di depan Calais. Mau tak mau Vienna menurut.

     Dia merelakan kedua plastiknya, berjalan ke arah kursi yang dimaksud sambil sesekali menoleh ke arah Jihoon—yang ternyata juga sedang melempar pandang ke Vienna. Seulas senyum [TAU KAN SENYUMNYA JIHOON YANG GIMANA, yang kecil, giginya keliatan semua, rada-rada canggung gak ikhlas itu, Mah] muncul di wajah Jihoon yang kemudian menunduk. Ia mempercepat langkahnya. Vienna baru saja menimbang untuk membeli segelas Calais untuk Jihoon sampai akhirnya handphonenya bergetar. Oh, betul. Hampir lupa punya pacar. Dasar Vienna.

    "Iya, Kak?"
    "Udah di MBK*?"
    "Udah, Kak. Kak Jeff lagi di kampus atau di mana?"
    "Jadi sama Jihoon? Ini lagi siap-siap berangkat, makan dulu gak tadi sebelum berangkat?"

    Vienna menjepit handphone-nya di antara pipi dan bahunya, mengeluarkan dompet dari ransel kecilnya. "Iya, sama Jihoon. Makan koook, tadi pagi aku disuruh beli bubur ayam sama Bunda yang samping rumahnya Rara itu lho, Kak."

    "Oh ya, nanti kayanya ujian selesainya cepet, dosennya udah kasih tugas aja kemarin—bentar, MAAAA, berangkat! Hooh, hooh. Iya Vin, jadinya nanti aku jemput ya?"

    Vienna yang kini berada di antrian paling terakhir—dengan hanya seorang Ibu muda yang berada di depannya menimbang-nimbang. Oh ya, menimbang apa yang harus dipesan dan apa yang ditanyakan Kak Jeffrey.
 
    "Iyaaa nanti Kak Jeff yang ngomong sama Jihoonnya aja. Aku gak enak."
    "Iya, sayang. Bentar, aku mundurin mobil dulu."
   
    Tepat saat itu, sebuah sendok plastik dengan bola cokelat dengan krim putih di atasnya muncul di depan wajah Vienna. Vienna menoleh ke belakang, mendapati Jihoon dengan Kinder Joy-nya yang terbuka.

     "Apaan Jihoon Jihoon?"
     Vienna menggeleng ke arah Jihoon sambil mengerutkan kedua alisnya. "Gak apa-apa kok—iya, Kak, hati-hati."

     Jihoon menaikkan kedua alisnya, paham siapa yang Vienna telepon. Raut wajahnya terlihat sedikit... kesal?

     Setelah wanita paruh baya di depan Vienna selesai memesan, Vienna yang mengira Kak Jeffrey masih menyetir segera memesan dengan posisi handphone di depan mulutnya, menyambut salam yang dituturkan gadis di depannya.

     "Iya, Mbak. Honeydew Milk Tea yang Medium satu, toppingnya mango boba, sama Mango Smoothies—"
     "Toppingnya pudding ya, Mbak," potong Jihoon yang menyondongkan kepalanya ke depan, setelah sebelumnya menyendokkan sebuah bola cokelat lainnya pada Vienna. Iya, sendok yang baru saja dipakai Jihoon. Vienna baru saja mau menumpahkan protes sampai terdengar suara Kak Jeffrey dari ujung sana.

    "Dua? Buat aku atau Jihoon, Vin?"
    Hadeh. "... buat Jihoon, Kak. Lagian dia udah nganterin,  nAN—"
    "Ooooh gitu ooooh."
    "IH ENGGAK KAK. Nanti aku kirimin Go-Food, deeeeh."
    "Idih, cemburuan."
    "APAAN SIH HUN—"
   
     Terdengar suara tawa Jaehyun dari seberang. 'Ah, kirain marah beneran.'

     "Ih Kak beneran aku kirimin, mau apa nih? Aku ada Go-Pay, kok."
     "Gak, gak usah. Nanti kelar kelas juga aku langsung ke sana. Udah dulu, ya? Dah."
     "Iyaaa Kak." Vienna menunggu hingga lawan bicaranya memutus sambungan telepon tapi hinga lima detik, sambunganya tak kunjung terputus.

      "Vin ...?"
      "Eh iya iya, kok belum dimatiin, sih, Kaaaak."
      "Matiin duluan aja, Vin?"
      "Heheh, Kak Jeff aja."
      "Cih."

      Vienna menoleh ke arah Jihoon yang mendengus sambil meraih struk dari gadis kasir.
     
      "Kok dibayarin, sih?"
      "... beneran udah dulu ya, Vin? Dadah."
      "Eh Kak—"

      Tut tut tut.

     Jihoon sudah terlebih dahulu duduk di salah satu meja yang menghadap dinding. Ah, bagus. Setidaknya ia tak perlu duduk di kursi yang saling berhadapan dan membuat siapapun yang lewat salah sangka.

     "Kok dibayarin, sih, Hun."
     
      Jihoon yang masih asik dengan Kinder Joy lainnya hanya mengangkat kepalanya sekilas, lalu mengedikkan bahunya ringan.

     "Habis ini ke ACE ya, Vin."
     "Heeh."
     "Mau nonton sekalian juga?"
     "WOI."
     "... ya kenapa?"

     Vienna pokoknya menggeleng. Kak Jaehyun nanti ke sini, pikirnya. Kalau ketahuan sempat-sempatnya melakukak sesuatu yang di luar jadwal, Vienna belum siap menghadapi amarah Kak Jeffrey yang sejujurnya belum pernah ia lihat.

     "Kan tujuan kita Carrefour, ACE," tuturnya, final.
     "Artinya ke Calais udah bukan jadwal juga? Jadi kita sekarang lagi ngapain, nih?"
     "...."
     "Atas nama Kak Jihoon!"

      Jihoon berdiri setelah namanya dipanggil, meraih dua gelas pesanannya dan dua sedotan, kemudian memberi kode pada Vienna untuk segera keluar.

     Di ACE, Jihoon mencari beberapa pengharum mobil. Vienna menyarankan yang beraroma vanilla, sementara Jihoon lebih suka yang Jasmine. Vienna agak bingung, karena keduanya tercium sama baginya. Setelahnya mereka membeli beberapa ekstrak aromaterapi, katanya titipan Ibunya Jihoon. Setelahnya, mereka berencana membeli segelas Caramel Popcorn di XXI, dan bertemu Mark dan Yeri secara kebetulan yang tengah mengantri di antrian tiket.

     "Loh, Vin?"

     Vienna yang entah bagaimana kesal karena tak sempat diantar hanya mendengus, lalu kembali fokus pada mesin popcorn yang berputar.
    
      "Kok sama Jihoon, Vin?" Tanya Mark yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya.

      "Ya lu juga, kok sama Yeri?"

       Baik Jihoon maupun Yeri hanya saling bertukar pandang, masing-masing menahan rasa kesal yang mulai terbit. *Dilema second main lead.*

     Setelah popcorn-nya selesai, Vienna memicingkan matanya ke arah Mark secara berlebihan, lalu menggumankan beberapa kata ketika sudah berada di sampingnya, "Gua tadi gak suruh Echan jemput Rara, jadi jemput, kaya biasa." Kemudian melenggang pergi. Oh, setelah Jihoon menangkup kedua tangan Mark dan mengungkapkan rasa terima kasihnya entah karena apa, yang dibalas tatapan bingung dari Mark, bahkan Yeri.

     "Oh, Hun, ke Gramed dulu, ya?"
     "Mau lama-lama sama aku dulu ya, Vin?"
     "...."
     "HAHA iya iya, kenapa?"

     Sudut bibir Vienna melengkung sebelum berucap, "Anu, kayanya Conan nomor 91 udah keluar, mau kasih Kak Jeff."

     Dari sudut matanya, Vienna melihat Jihoon sempat melengos, namun kemudian mengangguk kecil.

     Setelah masuk, Vienna dengan cepat mencari komik yang dimaksud, setelah sempat melirik sebuah literatur yang harganya melebihi isi dompetnya. Ia segera menuju kasir, setelah meyakinkan Jihoon kalau Vienna bisa membayar sendiri.

    Handphone-nya kembali bergetar, Kak Jeffrey kembali menelepon via LINE.

    "Ya, Kak?"
    "Vin, ini ternyata Dosennya belum dateng, kayanya kelasnya diundur jadi aku gak bisa ke sana, takutnya Dosennya dateng pas aku ke sana. Gimana?"
     "Oh jadi aku pulangnya sama Jihoon aja?"

     Jihoon menoleh, sedikit mengerutkan alisnya heran. Setelah Vienna selesai menelepon, Jihoon mendekati Vienna, berbicara dengan suara pelan, "Pulangnya memang sama aku, kan?"

     "Hah? Iya Hun... tadinya Kak Jeff mau jemput tapi kelasnya diundur jadi gak bisa."
     "... ngapain minta jemput dia, sih?"
     "Hah?" Vienna menoleh ke arah Jihoon sekilas, kemudian melanjutkan, "ya dia pacar aku terus tadi di—"
     "Lepas dari dia sebagai pacar kamu, deh." Kali ini Jihoon agak melambatkan langkahnya, sehingga Vienna yang masih berjalan berada di depannya. Vienna bingung, jadi ia bergeming.

     "Hari ini, 'kan, aku yang jemput kamu. Aku yang pinjem kamu ke Bunda. Masa si Jeffrey-Jeffrey itu yang balikin?"

      Wajah Jihoon tampak berusaha terlihat serius, tapi wajah itu malah terlihat lucu dibanding menakutkan. Jadi Vienna yang mati-matian berusaha menahan senyumnya sehingga malah menampilkan raut wajah aneh, mendekati Jihoon dan meraih tangannya.

     "Iya, maaf, ya? Kamu yang balikin aku ke Bunda, kok."

     Tangan Jihoon yang semula berada di genggamannya diambil alih oleh Jihoon sehingga kini tangan Vienna yang berada di genggamannya. Jihoon tidak mengatakan apapun, tapi terserah, deh. Hari ini harinya Jihoon, Vienna ikut saja.
     
 
what is notes.io
 

Notes.io is a web-based application for taking notes. You can take your notes and share with others people. If you like taking long notes, notes.io is designed for you. To date, over 8,000,000,000 notes created and continuing...

With notes.io;

  • * You can take a note from anywhere and any device with internet connection.
  • * You can share the notes in social platforms (YouTube, Facebook, Twitter, instagram etc.).
  • * You can quickly share your contents without website, blog and e-mail.
  • * You don't need to create any Account to share a note. As you wish you can use quick, easy and best shortened notes with sms, websites, e-mail, or messaging services (WhatsApp, iMessage, Telegram, Signal).
  • * Notes.io has fabulous infrastructure design for a short link and allows you to share the note as an easy and understandable link.

Fast: Notes.io is built for speed and performance. You can take a notes quickly and browse your archive.

Easy: Notes.io doesn’t require installation. Just write and share note!

Short: Notes.io’s url just 8 character. You’ll get shorten link of your note when you want to share. (Ex: notes.io/q )

Free: Notes.io works for 12 years and has been free since the day it was started.


You immediately create your first note and start sharing with the ones you wish. If you want to contact us, you can use the following communication channels;


Email: [email protected]

Twitter: http://twitter.com/notesio

Instagram: http://instagram.com/notes.io

Facebook: http://facebook.com/notesio



Regards;
Notes.io Team

     
 
Shortened Note Link
 
 
Looding Image
 
     
 
Long File
 
 

For written notes was greater than 18KB Unable to shorten.

To be smaller than 18KB, please organize your notes, or sign in.