Notes

Penampakan bangunan mewah yang terpampang di hadapanku lantas membuatku melongo. Taksi yang baru saja kutumpangi langsung kembali melaju begitu aku mengeluarkan diri dari sana—sementara aku masih terpaku diam di pinggir jalan. Keningku berkerut samar, mencoba mengingat-ingat alamat yang kudapat kemarin kemudian menilik rumah besar yang berdiri tepat di depanku dengan seksama.

Benar, kok. Aku tidak salah alamat. Nomor rumahnya juga sama persis kecuali kalau memang ada kesalahan dalam penomoran di sini—yang, sayangnya, betul-betul terjadi. Aku mencoba bertanya pada ibu-ibu tua yang sedang menyapu jalan sambil terbungkuk-bungkuk dan beliau bilang rumah besar itulah yang seharusnya kumasuki; nomor seratus satu, terletak bersebelahan dengan rumah sembilan puluh sembilan tanpa angka genap yang menjadi pemisah antara keduanya. Rupanya aku bukan satu-satunya orang yang hampir tersesat karena kesalahan yang diperbuat oleh petugas. Aku membungkuk sopan, lalu mengucapkan terimakasih padanya sebelum menyeret barang bawaanku melewati gerbang yang dibiarkan terbuka.

Tentu saja aku tidak bisa menahan mataku untuk tidak bergerak ke sana ke mari. Salah satu sudut bangunan tersebut dihiasi dengan lampu temaram yang malah terasa cantik dibandingkan seram, dinding luarnya yang berwarna putih terlihat kontras bersandingan dengan langit malam. Seluruh bagian depannya dihiasi dengan jendela kaca besar dengan tirai yang saat itu kebetulan sedang terbuka, sehingga aku bisa dengan mudah menyaksikan dua anak laki-laki—sepertinya seumuranku—sedang makan sambil mengobrol di dapur. Aku terus berjalan, menyongsong ruang tamu yang dihuni oleh perempuan berambut panjang dengan wajah kebarat-baratan yang begitu kukenal.

"Woo-hoo!" kudengar Somi berseru setelah menggeser tirai kemudian membuka pintu kaca dengan brutal, "akhirnya sampai juga! Kupikir kau tersesat atau apa!"

*