Notes

"Memangnya, kamu sudah cukup umur?"

Pertanyaan retoris yang tercetus dari bibirku lantas membuat Woo-Jin mendongak dari kertas lirik yang sedang dipegangnya. Dia nampak berpikir sebentar, namun sejurus kemudian langsung meletakkan benda tipis tersebut ke atas meja dan mengalihkan seluruh atensinya padaku yang duduk di samping jendela sambil menyilangkan tangan di depan dada.

"Memangnya, kalau mau menaruh perasaan suka harus cukup umur dulu, ya?" kata Woo-Jin sambil balas menatapku.

Sial. Bocah itu malah membalik pertanyaanku.

Aku membiarkan suara hujan untuk mendominasi barang sejenak. Bunyi rintik yang jatuh menimpa sebagian belahan bumi terdengar kian keras—kurasa aku dan Woo-Jin akan terjebak di sini untuk waktu yang cukup lama. Mungkin akan melewatkan makan malam di rumah juga.

"Tidak juga," aku menggeleng pelan, lalu mengeluarkan napas berat melalui mulut sehingga menghadirkan uap kecil di udara. "Tapi, ini sudah bulan ketiga aku bersedia menjadi pelatihmu dan kamu belum menunjukkan kemajuan yang memuaskan."

"Oke. Lalu?"

Ini gila. Berbicara dengan anak SMP yang sedang menjalani masa pubertas seperti Woo-Jin sering membuat emosiku meledak-ledak seolah ada yang sengaja membakar berondong jagung di rongga dadaku. Eun-Sung sering bilang padaku kalau Woo-Jin yang terlihat kalem dan tak banyak bicara hanyalah sampul belaka. Namun sampai detik ini pun, aku masih melihat anak yang harus kuberi bimbingan vokal untuk beberapa bulan ini dengan cara yang sama.

"Maksudku, Lee Woo-Jin," jawabku seraya menegakkan tubuh. "Bisa-bisanya kamu bercerita dengan santainya kalau kamu sedang menyukai seseorang?"

Mendengar hal itu, Woo-Jin hanya tersenyum kecil dan kembali meraih kertas putih yang penuh dengan coretan; perpaduan dari tulisan cakar ayam Woo-Jin beserta goresan asalku yang sibuk mengoreksi di sana-sini. "Semua akan baik-baik saja, yang penting Kakak tidak boleh membocorkannya pada siapapun."

"Kamu pikir aku sudah tidak waras?" tanyaku tak terima. "Karir-mu itu masih seumur jagung, The EastLight. akan comeback—"

"Dan aku tidak akan bergabung dengan mereka," potongnya tiba-tiba.

"—dua bulan la—Apa?!" aku memekik kaget lantaran berpikir betapa sia-sianya latihan kami selama ini kalau pada akhirnya dia tidak akan debut sebagai salah satu anggota. Beruntung, suara air yang terhempas ke kaca jendela membantu untuk meredam jeritanku secara tidak langsung. "Kupikir kamu sudah setuju untuk bergabung! Memangnya kamu mau ke mana lagi?"

Woo-Jin tak langsung menjawab. Dia sibuk dengan pensil mekaniknya untuk beberapa sekon sebelum kembali mendongak dan membuat pandangan kami saling bertubrukan, lagi. Aku mengangkat sebelah alis dengan raut ingin tahu.

"Kuriositas dapat membunuh seekor kucing."

Cengiran lebar kemudian tercetak di wajah polosnya. Well, Woo-Jin baru saja menyebutkan peribahasa yang selalu kuutarakan padanya setiap kali dia mengajukan pertanyaan tidak penting padaku. Dia mendapatkan dengusanku sebagai timbal balik.

Walau demikian, belum genap satu menit kami saling berdiam diri karena aku tidak mengeluarkan sepatah katapun untuk diajukan, Woo-Jin mengetuk-ngetuk kertas di hadapannya—otomatis dia juga menyentuh meja bundar berukuran sedang yang tentu saja menghasilkan bunyi cukup menganggu saat ujung kukunya bersentuhan dengan alas kaca. Aku menoleh, mendapati bahwa Woo-Jin sedang menunjukkan gambar yang baru saja dibuatnya: Logo segitiga yang amat sangat kukenal.*)

Keningku berkerut semakin dalam. "Kamu serius?"

Yang ditanya mengangguk mantap kemudian tertawa kecil. "Kurasa Baby tidak terlalu buruk, 'kan?"

"As expected. Fanboy, huh?"

Selepasnya hujan mulai berhenti mengguyur kota—menyisakan tetesan-tetesan kecil yang biasanya masih berpotensi untuk menusuk tulang. Aku menyelempangkan tas kecil yang kelewat ringan melewati bahuku dan cepat-cepat menyuruh Woo-Jin kembali ke asramanya. Senang rasanya, bisa terbebas dari beban. Aku mengedikkan bahu, terlepas dari anak bimbinganku yang akan mendapat pelatih baru, tanggung jawabku untuk beberapa bulan akan segera gugur.

"Tapi, Kak," panggil Woo-Jin, masih dengan nada kaku seperti biasanya. "Soal aku yang sedang menyukai seseorang ..."

Aku mendesah, jelas-jelas menandakan bahwa aku sudah begitu lelah dengan pembahasan konyol ini. Ayolah, ada banyak kegiatan yang jauh lebih bermutu dibanding mendengarkan curahan hati bocah empat belas tahun yang sedang kasmaran.

"Ya?" tanyaku selembut mungkin. Mau bagaimanapun, aku tetap harus menjaga tingkat kesabaran agar tidak habis termakan amarah. Karena terus terang saja, menghadapi Lee Woo-Jin memang tak semudah itu.

"Aku cuma pernah dekat dengan satu perempuan—selain ibu dan keluargaku."**)

Dan semenjak saat itu, hujan menjadi salah satu saksi bisu bahwa aku tidak pernah lagi memandang Lee Woo-Jin sebagai adik kecil atau bahkan seorang murid.

— — —

*) Logo khas Produce 101.
**) Woojin secara tidak langsung mengatakan kalau dia menyukai tokoh ’aku’, satu-satunya perempuan yang dekat dengannya.

2017,

SINNBABE