Notes

Aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana bisa apa yang sudah kulalui beberapa hari lalu disangkal dengan keberadaan dia yang sekarang tengah merengkuh tubuhku dari belakang di atas sofa ruang tengah apartemen kami. Hangatnya tidak bisa kuragukan lagi, terlebih detakan konstan jantungnya yang sampai di punggungku.

Ya, setelah kejadian tadi, dia langsung membawaku ke sini dan mendudukkanku di atas pangkuannya, membelakanginya. Cara yang biasa dia gunakan untuk meredam emosiku, entah itu sedihku atau amarahku. Dia selalu berhasil menenangkanku yang sedang tidak stabil dengan beberapa obrolan kecil yang sebenarnya tidak sebegitu 'wah' namun terbukti dapat membuatku kembali tersenyum.

"Jien, kenapa kau masih termanyun, hm?" tanyanya. Suaranya begitu jelas terdengar di telinga sebelah kiriku, membuatku otomatis menoleh padanya dan melihat senyum dengan dimple khas miliknya.

Aku hanya diam, memperhatikan bentuk iris miliknya. Mencoba menjelaskan kebingunganku lewat pandangan. Bagaimana eksistensinya lebih dari sekedar mimpi yang membuatku masih tidak bisa percaya bahwa aku ada di sini, bahkan duduk di pangkuannya seperti hari-hari sebelumnya.

Aku tidak bisa menceritakannya—aku pikir belum? Tetapi hal ini begitu sensitif karena bersinggungan dengan hukum alam yang bahkan aku sendiri pun tidak tahu-menahu bagaimana persisnya. Ini sudah menjadi urusan yang di atas, dan aku hanyalah orang biasa yang tak mengerti apa-apa. Bahkan akupun yakin, otak jenius milik dia pun sama halnya denganku yang tak dapat menalar kejadian-kejadian seperti ini.

"Ayolah, katakan padaku. Apa aku melakukan kesalahan?" Ia kembali bertanya, wajahnya pun sarat akan tuntutan kejelasan mengenai keanehanku pagi ini—baginya.

Kutatap sekali lagi kedua iris yang selalu saja berhasil menarikku ke dalam dasarnya sehingga terkadang aku tak akan bisa melawan pesonanya. Apakah tidak apa untuk menceritakannya? Apakah aku benar-benar bisa? Kalau pun nanti dia akan menimpalinya dengan tawa menyebalkan miliknya dan berkata kepadaku bahwa aku hanya berimajinasi—seperti biasanya—aku tak mengapa. Tetapi kalau nanti yang akan menimpali ceritaku adalah rentetan pertanyaan kritisnya, aku yakin, aku tak akan sanggup. Dan lagipula..

Bagaimana perasaanmu ketika orang terdekatmu mengatakan bahwa kemarin kau sudah mati dan tak seharusnya ada di hadapannya kini?

Jadi aku memutuskan untuk tersenyum sewajarnya agar dia tidak menaruh curiga, memutuskan untuk menyimpan semuanya sendiri dan menjalani semuanya sebagaimana mestinya.

Mengecup pipinya sekali, aku mencoba menjawabnya, "Tidak, bukan karenamu. Aku benar-benar tidak apa-apa." dan berusaha agar suaraku tidak terdengar bergetar.

Raut wajahnya berubah menjadi sedikit tidak senang, dan dia mengalihkan pandangannya dariku. Aku tahu betul, jawabanku tadi bukanlah jawaban yang diinginkannya. Jadi apakah dia marah?

"Gil?" aku memanggilnya, mengubah posisiku menjadi menyamping agar aku dapat melihatnya dengan jelas.

Dan diam adalah hal yang kudapatkan sebagai respon darinya. Ah, apakah dia benar marah?

"Hey," aku memanggilnya sekali lagi, "Apa kamu marah padaku? Tapi sungguh, aku sudah tidak apa-apa. Kamu tidak melakukan kesalahan apapun padaku. Tadi aku hanya.. Hanya bermimpi buruk."

Kulingkarkan kedua tanganku pada tengkuknya, mencoba membuatnya kembali menatap ke arahku. Dan usahaku berhasil.

Lalu kubuat wajahku sememelas mungkin, "Kamu gak marah, kan?" dengan harapan dia akan luluh. Karena menghadapinya yang merajuk seharian penuh setara dengan mengurangi umur satu tahun.

Dan aku bersyukur, dia sudah kembali menunjukkan senyumnya yang biasa, "Iya, aku tidak marah padamu, sayang." ucapnya, menarik main-main hidungku. Ah, aku benar-benar ingin yang kemarin itu hanya mimpi karena buktinya, sekarang dia bersamaku.